
Competitiveness Report 2019
Peringkat Kompetitif RI Turun Ke-50, Omnibus Law Solusinya?
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
10 October 2019 10:01

Jakarta - CNBC Indonesia - World Economic Forum (WEF) merilis laporan, bahwa tahun ini Indonesia berada dalam posisi ke-50, turun 5 peringkat dari tahun 2018. Apa yang akan dilakukan pemerintah ke depannya?
WEF menilai bahwa budaya bisnis Indonesia cukup dinamis dan sistem keuangan juga stabil. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kekuatan utan Indonesia masih dari sisi pangsa pasar (market size) yang mendapat skor 82,4 serta kestabilan makroekonomi dengan skor 90 dari 100.
Kendati demikian, pada tingkat adopsi teknologi juga terbilang tinggi, tapi kualitas akses relatif rendah. Yang menjadi catatan adalah kapasitas inovasi masih rendah.
"Kapasitas inovasi (innovation capacity) tetap terbatas, meski meningkat dengan skor hanya 37,7 dan menempati ranking 74 sedunia," tulis WEF.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa merosotnya peringkat Indonesia itu karena regulasi soal perizinan investasi di Indonesia terlalu rumit.
"Itu lebih karena regulasi yang terlalu rumit dan institusi yang disusun pemerintah, terutama yang masih belum terlalu ramah investasi," ujar Bambang saat ditemui di Hotel Fairmont, Rabu (9/10/2019).
Hal itu jelas, mengakibatkan daya tarik investor untuk berinvestasi di Indonesia berkurang, karena sulitnya regulasi yang diterapkan di dalam negeri. Maka, menurut Bambang, tak heran bahwa peringkat Indonesia dalam soal berdaya saing turun.
"[Regulasi yang rumit] membuat daya tarik orang untuk berinvestasi berkurang, akibat dari kerumitan. Ditambah saingan kita juga semakin agresif menawarkan kemudahan," kata dia melanjutkan.
Dalam keterangannya, WEF juga menegaskan bahwa perang dagang dan geopolitik akan memicu ketidakpastian dan menekan pertumbuhan sebagian besar ekonomi dunia.
"Namun, beberapa pemain yang lebih baik tahun ini tampaknya mendapat manfaat dari perseteruan perdagangan melalui pengalihan perdagangan," tulis WEF
Kemudian pada akhirnya, dalam paket kebijakan ekonomi ke-16 itu, pemerintah merevisi, hanya 25 bidang usaha yang boleh dimiliki sepenuhnya oleh asing.
Nampaknya, paket kebijakan ekonomi ke-16 itu belum mujarab untuk menghadapi persoalan berinvestasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih terus mengeluhkan proses perizinan investasi.
Jokowi sempat mengungkapkan kekecewaannya lantaran regulasi investasi masih 'gemuk'. Alhasil, investor menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia, bahkan lebih memilih ke negara-negara tetangga seperti Malaysia hingga Vietnam.
Awal bulan September 2019, akhirnya Presiden melakukan rapat terbatas dengan para menteri kabinetnya.
Hasilnya, sejumlah perizinan saat ini sedang ditinjau ulang untuk dirampingkan melalui penerbitan omnibus law atau menggabungkan beberapa ketentuan berbeda dalam satu payung aturan. Ada 72 UU yang bakal direvisi untuk membangun ekosistem investasi.
"Kita ingin membangun ekosistem investasi sehingga aspek makro paling tidak (bisa) kita selesaikan. Sesuai arahan Bapak Presiden kita konsen di ekspor dan investasi," kata Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono dalam konferensi pers seusai rapat omnibus law di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Tim Perumus Omnibus Law, Ahmad Redi memastikan bahwa dalam aturan Omnibus Law ini akan menerapkan Risk Based Approach (RBA) yang fokus pada aturan investasi sehingga diharapkan dapat menata regulasi dan efektif memangkas ongkos investasi.
Ahmad Redi menyebutkan ada lima alasan munculnya Omnibus Law.
"Ada 74 regulasi yang saling mendistorsi, lambatnya proses bisnis, jumlah perizinan yang masif, regulasi dan permasalahan kelembagaan, sehingga Omnibus Law ini akan menjadi UU sapu jagat yang akan mempermudah investasi di Indonesia," Ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/10/2019).
Selain omnibus law, pemerintah juga menyiapkan pembahasan mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI), reformasi perizinan berusaha, dan reformasi perizinan ekspor-impor.
(roy/roy) Next Article Ya Ampun, Kok Bisa RI Turun Posisi ke-50 Sih? Pada Ngapain?
WEF menilai bahwa budaya bisnis Indonesia cukup dinamis dan sistem keuangan juga stabil. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kekuatan utan Indonesia masih dari sisi pangsa pasar (market size) yang mendapat skor 82,4 serta kestabilan makroekonomi dengan skor 90 dari 100.
Kendati demikian, pada tingkat adopsi teknologi juga terbilang tinggi, tapi kualitas akses relatif rendah. Yang menjadi catatan adalah kapasitas inovasi masih rendah.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa merosotnya peringkat Indonesia itu karena regulasi soal perizinan investasi di Indonesia terlalu rumit.
"Itu lebih karena regulasi yang terlalu rumit dan institusi yang disusun pemerintah, terutama yang masih belum terlalu ramah investasi," ujar Bambang saat ditemui di Hotel Fairmont, Rabu (9/10/2019).
Hal itu jelas, mengakibatkan daya tarik investor untuk berinvestasi di Indonesia berkurang, karena sulitnya regulasi yang diterapkan di dalam negeri. Maka, menurut Bambang, tak heran bahwa peringkat Indonesia dalam soal berdaya saing turun.
"[Regulasi yang rumit] membuat daya tarik orang untuk berinvestasi berkurang, akibat dari kerumitan. Ditambah saingan kita juga semakin agresif menawarkan kemudahan," kata dia melanjutkan.
Dalam keterangannya, WEF juga menegaskan bahwa perang dagang dan geopolitik akan memicu ketidakpastian dan menekan pertumbuhan sebagian besar ekonomi dunia.
"Namun, beberapa pemain yang lebih baik tahun ini tampaknya mendapat manfaat dari perseteruan perdagangan melalui pengalihan perdagangan," tulis WEF
Berlanjut ke halaman 2 >>>
Dalam kurun waktu empat tahun terkahir, Indonesia sudah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi. Dalam paket kebijakan ekonomi ke-16 itu, pemerintah menetapkan ada 54 bidang usaha yang boleh 100% menggunakan penanaman modal asing.Kemudian pada akhirnya, dalam paket kebijakan ekonomi ke-16 itu, pemerintah merevisi, hanya 25 bidang usaha yang boleh dimiliki sepenuhnya oleh asing.
Nampaknya, paket kebijakan ekonomi ke-16 itu belum mujarab untuk menghadapi persoalan berinvestasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih terus mengeluhkan proses perizinan investasi.
Jokowi sempat mengungkapkan kekecewaannya lantaran regulasi investasi masih 'gemuk'. Alhasil, investor menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia, bahkan lebih memilih ke negara-negara tetangga seperti Malaysia hingga Vietnam.
Awal bulan September 2019, akhirnya Presiden melakukan rapat terbatas dengan para menteri kabinetnya.
Hasilnya, sejumlah perizinan saat ini sedang ditinjau ulang untuk dirampingkan melalui penerbitan omnibus law atau menggabungkan beberapa ketentuan berbeda dalam satu payung aturan. Ada 72 UU yang bakal direvisi untuk membangun ekosistem investasi.
"Kita ingin membangun ekosistem investasi sehingga aspek makro paling tidak (bisa) kita selesaikan. Sesuai arahan Bapak Presiden kita konsen di ekspor dan investasi," kata Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono dalam konferensi pers seusai rapat omnibus law di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Tim Perumus Omnibus Law, Ahmad Redi memastikan bahwa dalam aturan Omnibus Law ini akan menerapkan Risk Based Approach (RBA) yang fokus pada aturan investasi sehingga diharapkan dapat menata regulasi dan efektif memangkas ongkos investasi.
Ahmad Redi menyebutkan ada lima alasan munculnya Omnibus Law.
"Ada 74 regulasi yang saling mendistorsi, lambatnya proses bisnis, jumlah perizinan yang masif, regulasi dan permasalahan kelembagaan, sehingga Omnibus Law ini akan menjadi UU sapu jagat yang akan mempermudah investasi di Indonesia," Ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/10/2019).
Selain omnibus law, pemerintah juga menyiapkan pembahasan mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI), reformasi perizinan berusaha, dan reformasi perizinan ekspor-impor.
(roy/roy) Next Article Ya Ampun, Kok Bisa RI Turun Posisi ke-50 Sih? Pada Ngapain?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular