
Penjualan Ritel Tumbuh Minimalis, Masyarakat RI Sedang Susah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran (SPE) periode Agustus 2019 pada hari ini (9/10/2019). Sepanjang bulan Agustus, penjualan barang-barang ritel tercatat tumbuh tipis sebesar 1,1% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Pertumbuhan tersebut melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan Juli yang sebesar 2,4% YoY, serta melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Agustus 2018) yang sebesar 6,1% YoY.
Untuk periode September 2019, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 2,1% secara tahunan, di bawah pertumbuhan pada September 2018 yang sebesar 4,8% YoY.
Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Lantas, apakah rendahnya pertumbuhan penjualan barang-barang ritel dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa masyarakat RI sedang susah? Apakah data tersebut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang lemah?
Untuk diketahui, anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah sebelumnya juga datang dari rilis angka inflasi.
Pada pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan.
Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.
Jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16%. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.
Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua di eranya, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Inflasi Inti Masih Bergerak Naik
Kalau diamati, rendahnya inflasi pada kuartal III-2019 disebabkan oleh terjadinya deflasi yang dalam pada bulan September. Sebagai gambaran, deflasi pada September 2019 yang sebesar 0,27% merupakan deflasi terdalam yang terjadi di kuartal III dalam setidaknya lima tahun terakhir.
Pada Juli dan Agustus 2019, terjadi inflasi masing-masing sebesar 0,31% dan 0,12% secara bulanan, sehingga jika ditotal menjadi 0,43%. Namun, kehadiran deflasi yang sebesar 0,27% pada September 2019 membuat total inflasi pada kuartal III-2019 menjadi rendah.
Pada September 2019, terjadinya deflasi praktis hanya disumbang oleh penurunan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan tercatat merosot hingga 1,97% secara bulanan. Sementara itu, pos-pos pembentuk inflasi lainnya masih mencatatkan kenaikan harga secara bulanan.
Untuk diketahui, bahan makanan merupakan kebutuhan primer dari masyarakat, sehingga tingkat konsumsinya akan cenderung stabil, kecuali pada saat periode libur panjang di mana konsumsi biasanya akan naik secara signifikan.
Lantas, kejatuhan harga bahan makanan yang signifkan pada bulan lalu patut diinterpretasikan sebagai keberhasilan dari pemerintah dalam upayanya mengontrol pasokan di seluruh tanah air.
Guna melihat secara lebih jelas posisi daya beli masyarakat Indonesia, ada satu indikator lagi yang sejatinya sudah disediakan oleh BPS, yakni inflasi inti. Inflasi inti merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga barang dan jasa yang cenderung kecil fluktuasinya. Inflasi inti mengeluarkan barang dan jasa yang fluktuasi harganya cenderung tinggi yakni bahan makanan, serta barang dan jasa yang harganya diatur oleh pemerintah.
Ketika inflasi inti terus merangkak naik, kemungkinan besar penyebabnya adalah kenaikan permintaan yang berarti daya beli masyrakat semakin kuat.
Nah, dalam beberapa waktu terakhir, inflasi inti terus menunjukkan kenaikan.
Memang, tak bisa disangsikan bahwa ada sinyal kenaikan dari daya beli masyarakat Indonesia mulai melambat. Hal ini terlihat jelas dari data penjualan barang-barang ritel.
Namun tetap saja, secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terus berada di posisi yang relatif tinggi. Sepanjang periode satu pemerintahan Jokowi, IKK tercatat hanya dua kali lengser ke bawah angka 100, yakni pada September dan dan Oktober 2015.
Untuk diketahui, jika IKK berada di bawah level 100, artinya masyarakat sedang pesimistis terhadap kondisi perekonomian. Sebaliknya jika berada di atas level 100, artinya masyarakat sedang optimistis terhadap kondisi perekonomian.
Angka IKK yang selalu berada di atas angka 100 dalam beberapa waktu terakhir mengonfirmasi bahwa secara keseluruhan daya beli masyarakat Indonesia tetaplah kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Tak Bisa Dipungkiri Lagi, RI Kena Virus Pelemahan Konsumsi
