
Dunia dalam Bayang-Bayang Resesi, Industri Penerbangan Resah
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
04 October 2019 20:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia dibayang-bayangi resesi. Beberapa negara sudah mengalaminya. Rupanya kondisi ini juga jadi hantu bagi industri aviasi di dalam negeri.
Hal tersebut diakui Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA), Bayu Sutanto. Pihaknya belakangan memang ikut menaruh perhatian bagi perekonomian dunia.
Bayu Sutanto mengutip dari data global economy growth, yang menyebut bahwa di China, Uni Eropa hingga Amerika Serikat sudah menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Diprediksi sampai dengan 2022 terjadi penurunan global economy growth," ungkap Bayu kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/10/2019).
Sejalan dengan itu, Batu masih mengutip data yang sama, pertumbuhan ekonomi RI diprediksi akan menjadi di bawah 5%. Kondisi itu bisa terjadi pada tahun 2020-2022 dengan tingkat pertumbuhan di kisaran 4,6-4,9%.
Kondisi tersebut tentu menjadi ancaman bagi industri aviasi. "Kalau economy growth turun maka dampaknya juga akan terjadi penurunan growth penumpang yang juga akan menurunkan growth flight-nya," urainya.
Saat ini, dia mengaku potensi tersebut sudah dirasakan industri aviasi di dalam negeri. Sayangnya, dia tidak menyebutkan angka penurunan yang sudah terjadi.
"Pax Growth (Penumpang) di tahun 2019 turun dibanding 2018. [...] di industri penerbangan sama harus tahan ekspansi dulu," urainya.
Dengan sederet ancaman itu, dia berharap ada 'obat mujarab' dari pemerintah. Terlebih, masa transisi jelang penetapan kabinet baru, ada harapan khusus yang perlu didengar pemerintah.
Utamanya, dia menegaskan, untuk Kementerian Perhubungan agar fokus tetap menjaga safety. Dia juga ingin pemerintah menambah bandara yang beroperasi sampai malam serta mengatur slot yang lebih transparan.
"Untuk biaya-biaya bandara, navigasi dan avtur yang pasarnya oligopolistik dan monopoli, harus diintervensi/diatur oleh badan ekonomi publik dan ikutin rekomendasi KPPU."
"Intinya mekanisme harga tiket maupun biaya-biaya bandara harus sama-sama melalui mekanisme pasar supaya terjadi keseimbangan supply dan demand," lanjutnya.
Jika sederet catatan itu mampu mendapatkan solusi, menurutnya akan terbentuk harga yang wajar dan seimbang. Selain itu, industrinya juga bisa menjaga safety dan keberlangsungan pasokannya.
(hoi/hoi) Next Article Diklaim Kinclong, Industri Penerbangan RI Sering Gaduh
Hal tersebut diakui Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA), Bayu Sutanto. Pihaknya belakangan memang ikut menaruh perhatian bagi perekonomian dunia.
Bayu Sutanto mengutip dari data global economy growth, yang menyebut bahwa di China, Uni Eropa hingga Amerika Serikat sudah menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan itu, Batu masih mengutip data yang sama, pertumbuhan ekonomi RI diprediksi akan menjadi di bawah 5%. Kondisi itu bisa terjadi pada tahun 2020-2022 dengan tingkat pertumbuhan di kisaran 4,6-4,9%.
Kondisi tersebut tentu menjadi ancaman bagi industri aviasi. "Kalau economy growth turun maka dampaknya juga akan terjadi penurunan growth penumpang yang juga akan menurunkan growth flight-nya," urainya.
Saat ini, dia mengaku potensi tersebut sudah dirasakan industri aviasi di dalam negeri. Sayangnya, dia tidak menyebutkan angka penurunan yang sudah terjadi.
"Pax Growth (Penumpang) di tahun 2019 turun dibanding 2018. [...] di industri penerbangan sama harus tahan ekspansi dulu," urainya.
Dengan sederet ancaman itu, dia berharap ada 'obat mujarab' dari pemerintah. Terlebih, masa transisi jelang penetapan kabinet baru, ada harapan khusus yang perlu didengar pemerintah.
Utamanya, dia menegaskan, untuk Kementerian Perhubungan agar fokus tetap menjaga safety. Dia juga ingin pemerintah menambah bandara yang beroperasi sampai malam serta mengatur slot yang lebih transparan.
"Untuk biaya-biaya bandara, navigasi dan avtur yang pasarnya oligopolistik dan monopoli, harus diintervensi/diatur oleh badan ekonomi publik dan ikutin rekomendasi KPPU."
"Intinya mekanisme harga tiket maupun biaya-biaya bandara harus sama-sama melalui mekanisme pasar supaya terjadi keseimbangan supply dan demand," lanjutnya.
Jika sederet catatan itu mampu mendapatkan solusi, menurutnya akan terbentuk harga yang wajar dan seimbang. Selain itu, industrinya juga bisa menjaga safety dan keberlangsungan pasokannya.
(hoi/hoi) Next Article Diklaim Kinclong, Industri Penerbangan RI Sering Gaduh
Most Popular