Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana divestasi 20% saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) telah dikirimkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat yang ditujukan kepada Dirjen Mineral dan Batu Bara, Bambang Gatot Aryono Januari lalu. Rencananya divestasi akan dilakukan pada Oktober bulan ini.
Divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebesar 20% merupakan salah satu kewajiban yang tertuang dalam Kontrak Karya (KK). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7/2014, Vale harus mendivestasikan 40% sahamnya. Sebelumnya, divestasi saham Vale sebesar 20% sudah dilakukan. Kini sisanya 20% akan didivestasikan ke pemerintah Indonesia.
Kemungkinan besar MIND ID ,dulunya Inalum, akan membeli 20% saham divestasi tersebut. Namun dalam hal ini, MIND ID masih menunggu lampu hijau Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Kalau Vale divestasi, memangnya apa sih untung dan ruginya? Apa juga pengaruhnya ke perusahaan yang mendivestasikan, yang membeli dan juga ke ekonomi Indonesia secara umum?
Tentu sebelum mendivestasikan atau membeli aset divestasi, masalah untung dan rugi harus dikalkulasikan dengan matang terutama untuk pihak-pihak yang terkait.
Divestasi atau penjualan aset suatu perusahaan akan meningkatkan arus kas perusahaan. Terutama pada pos arus kas dari aktivitas investasi. Dana tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk ekspansi/investasi atau bisa juga untuk menyokong aktivitas operasional hingga membayar utang.
Namun divestasi juga berarti menjual kepemilikan terhadap suatu perusahaan yang berdampak pada kemungkinan hilangnya hak suara dalam menentukan kebijakan perusahaan. Besarnya jumlah saham yang didivestasikan mempengaruhi seberapa besar hak suara para pemegang saham.
Hak suara ini tentu mempengaruhi segala kebijakan perusahaan seperti penentuan direksi, target capaian performa keuangan hingga yang paling ekstrem perubahan model bisnis suatu perusahaan.
Sejauh ini komposisi pemegang saham mayoritas PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) masih dikuasai oleh Vale Canada Ltd yang memegang 58,73%. Pemegang saham terbesar kedua adalah perusahaan tambang asal Jepang Sumitomo Metal Mining Co Ltd mencapai 20,09%.
Publik juga memegang saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sebesar 20,49%. Namun karena masing-masing memegang kurang dari 5% maka hak suara publik tergolong kecil.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Jika sebanyak 20% saham Vale didivestasikan maka komposisi pemegang saham otomatis berubah dan porsi hak suara dalam menentukan kebijakan perusahaan pun berubah.
Kalau dilihat dari sisi si pembeli maka BUMN/BUMD/Pemerintah Pusat/Pemda harus benar-benar cermat dalam mempertimbangkan aspek fundamental perusahaan yang mendivestasikan asetnya.
Pada semester I 2019, PT Vale Indonesia Tbk. mencatatkan kerugian bersih sebesar US$ 26,2 juta atau sekitar Rp. 371,74 miliar dengan asumsi rata-rata kurs rupiah 14.189 sepanjang semester I.
Jika dibandingkan dengan semester I tahun lalu, performa Vale tahun ini menurun. Tahun lalu Vale berhasil membukukan kentungan bersih sebesar US$ 29,4 juta atau setara dengan Rp. 407,36 miliar dengan asumsi rata-rata kurs rupiah berada di 13.856.
Kerugian yang dibukukan oleh PT Vale Indonesia Tbk. pada semester I tahun ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penurunan produksi nikel hingga 14,4% yoy akibat adanya aktivitas maintenance dan juga melemahnya harga nikel global di kuartal pertama tahun ini.
Namun menurut analis, kerugian tersebut tidak akan berlanjut pada kuartal selanjutnya karena ada peningkatan produksi dan menguatnya harga nikel global sebagai dampak dari pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia yang menyebabkan pasokan bijih nikel dunia berkurang drastis. Selain itu juga divestasi ini juga sudah tertuang dalam kontrak karya (KK) jauh-jauh hari.
Apabila ditinjau dari segi valuasi, saham PT Vale Indonesia Tbk. masih tergolong relatively overvalued dibandingkan dengan saham emiten lain di sektor yang sama seperti PT Timah Tbk. (TINS), PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), dan PT Central Omega Resources Tbk. (DKFT). Pasalnya nilai valuation multiple PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok industrinya. Semakin kecil nilai valuation multiple maka semakin murah harga sahamnya. Berikut ini adalah nilai valuation multiple yang diperoleh dari data IndoPremier dengan acuan performa semester I tahun 2019.
 Sumber : IndoPremier, CNBC Indonesia Analysis, diolah |
(BERLANJUT KE HALAMAN KE 3)
Menurut studi yang dilakukan oleh IndoPremier Sekuritas Indonesia, divestasi saham Vale akan berdampak pada kemungkinan adanya sentimen negatif. Sentimen negatif tersebut tentu akan berdampak pada harga saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO).
Studi lain yang dilakukan oleh Willis Towers Watson yang bekerja sama dengan Cass Business School menunjukkan bahwa perusahaan yang membeli aset hasil divestasi cenderung naik harga sahamnya. Sedangkan untuk perusahaan yang mendivestasikan sahamnya cenderung turun harga sahamnya. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa besarnya aset yang didivestasikan mempengaruhi harga saham perusahaan yang mendivestasikan asetnya. Perusahaan yang mendivestasikan asetnya di bawah 5% harga sahamnya cenderung turun 0,8 persentase poin (pp) dibandingkan performa pasar.
Penurunan harga saham lebih dalam hingga 6,9 pp jika yang aset yang didivestasikan mencapai 5-15%. Untuk aset divestasi yang melebihi 15% harganya cenderung turun 6,3 pp dibandingkan dengan performa pasar. Studi tersebut dilakukan pada semester I tahun ini.
Artinya ada kemungkinan harga saham PT Vale Indonesia Tbk. turun dan harga saham yang membeli aset divestasi tersebut naik dalam jangka waktu yang pendek. Signifikan atau tidak naik turunnya harga saham yang terlibat dalam transaksi ini tentu sangat ditentukan oleh sentimen dan reaksi pasar. Fenomena turunnya harga saham perusahaan yang mendivestasikan asetnya ditanggapi oleh Jana Mercereau, Head of Corporate M&A for Great Britain. Menurutnya hal itu terjadi karena perusahaan biasanya dituntut untuk membeli aset bukan menjualnya.
Selain dari sisi performa keuangan dan dampak terhadap harga saham perusahaan yang dibeli, pembeli juga harus mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan dan darimana uang tersebut berasal.
Masalah besarnya uang yang harus dibayarkan tergantung dari metode valuasi yang digunakan dan negosiasi antara kedua belah pihak. Untuk saat ini nilai kapitalisasi pasar PT Vale Indonesia Tbk. kurang lebih di kisaran US$ 2 miliar dolar. Untuk berapa harga yang harus dibayarkan masih dikaji oleh pihak tim tiga kementerian.
Selanjutnya, BUMN/BUMD/Pemerintah Pusat/Pemda yang membeli juga mempertimbangkan darimana sumber pendanaan tersebut berasal. Apakah dari arus kas perusahaan atau melalui mekanisme lain seperti pinjaman sindikasi/penerbitan surat utang. Jika biayanya terlalu besar maka akan mengganggu arus kas dari perusahaan sehingga alternatif pembiayaan dengan cost yang relatif murah diperlukan. Opsi pembiayaan lain melalui hutang seperti pinjaman sindikasi atau penerbitan surat utang juga jangan sampai terlalu membebani karena bisa saja tidak untung malah buntung. Jadi harus hati-hati benar.
Selain faktor di atas, hal lain yang juga diperhatikan adalah sinergi antar entitas. Sinergi yang dimaksudkan adalah apakah dengan membeli aset hasil divestasi tersebut dapat meningkatkan efisiensi sehingga dapat menekan biaya dan meningkatkan pendapatan. Atau mungkin ada nilai tambah lain seperti technology transfer.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
PT Vale Indonesia Tbk merupakan salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi lebih dari 70.000 ton nikel dalam setahun. Selain itu ke depan perusahaan bersama partnernya Sumitomo Metal Mining Co Ltd berencana mengembangkan proyek baterai nikel senilai US$ 5 miliar. Selain PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) juga memiliki smelter nikel.
Dengan sumber daya yang dimiliki oleh PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) tentunya Pemerintah harus mempertimbangkan secara matang siapa yang akan membeli aset divestasi tersebut dan bagaimana mengintegrasikannya agar simbiosis mutualisme untuk kedua entitas akan terjalin dan sinergi dapat terwujud.
Ditinjau dari segi ekonomi, pelarangan ekspor bijih nikel yang dimajukan ini berdampak pada peningkatan harga nikel. Harga nikel dunia naik 69% sejak awal tahun. Harga nikel kembali melonjak drastis ketika Kementerian ESDM mengumumkan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel mulai Januari 2020. Harga melonjak tajam karena ada sentimen berkurangnya pasokan bijih nikel sebagai akibat pelarangan ekspor Indonesia sebagai negara eksportir bijih nikel terbesar di dunia.
Ke depannya dengan berbagai proyek smelter yang mulai rampung dan beroperasi, Indonesia dapat mengekspor produk nikel yang memiliki nilai tambah bagi perekonomian.
Kewajiban divestasi ini adalah salah satu bentuk sikap nasionalisme terhadap sumber daya alam yang Indonesia miliki. Namun adanya tidakpastian kebijakan pemerintah membuat sektor pertambangan Indonesia menjadi kurang kompetitif.
Studi yang dilakukan oleh Fitch, menyebutkan bahwa daya saing pertambangan Indonesia rendah karena regulasi yang tidak pasti. Contoh kasus ketidakpastian regulasi ini adalah ketika pemerintah melakukan negosiasi dengan Freeport McMoran.
Sebelumnya pemerintah hanya meminta divestasi 30% saham perusahaan tambang emas tersebut. Namun akhirnya Freeport harus melepas mayoritas sahamnya (51,2%) ke holding pertambangan Indonesia Inalum.
Sehingga walau berpotensi untuk memberikan nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia, proses divestasi saham Vale ini juga masih menyimpan sejumlah tanya buat para investor. Sampai saat ini, permasalahan kepastian hukum masih menjadi fokus utama di sektor pertambangan RI di mata investor. Sehingga, yang diharapkan adalah jawaban cepat dari pemerintah terkait divestasi, besaran pastinya, dan langkah ke depannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)