- Thomas Cook merupakan perusahaan perjalanan tertua di dunia. Ia berdiri di Leicestershire, Inggris tahun 1841.
Namun, perusahaan ini bangkrut dan menutup operasinya Senin (23/9/2019). Perusahaan yang berusia 178 tahun ini, meninggalkan ratusan penumpangnya yang tengah liburan di seluruh penjuru dunia dan memaksa repatriasi besar dilakukan oleh Inggris.
Meski berat, dewan direksi mengatakan terpaksa mengambil keputusan ini karena terlilit utang dan harus dilikuidasi secepat mungkin. Lalu sebenarnya mengapa ini terjadi dan bagaimana ceritanya?
Berikut rangkuman CNBC Indonesia sebagaimana dilansir dari Reuters Senin (23/9/2019).
Thomas Cook sebenarnya bukan hanya mengoperasikan maskapai penerbangan saja. Tapi juga hotel dan juga resort untuk 19 juta pengguna travel dalam setahun di 16 negara.
Di 2019, perusahaan ini membukukan pendapatan sebesar 9,6 miliar pound (US$ 12 miliar). Perusahaan yang terdaftar di bursa London ini memiliki 21 ribu pekerja, dengan komposisi 150 ribu pekerja di Inggris dan 600 ribu pekerja di luar Inggris.
Salah Strategi dan Kalah BersaingThomas Cook terkenal karena kerap memberi paket perjalanan murah bagi penggunanya. Namun, persoalan geopolitik yakni Brexit membuat perusahaan sangat terganggu.
Apalagi pusat maskapai yang berada di London Inggris. Keputusan keluarnya Inggris dari Eropa tanpa kesepakatan 31 Oktober nanti, jelas membuat perusahaan akan terbatas dalam setiap gerak gerik operasionalnya.
Namun Brexit sebenarnya bukan hal itu. Salah strategi pemasaran menjadi penyebab.
Thomas Cook menjual tiketnya ekslusif di kanal sendiri. Ini membuat Thomas Cook gagal bertahan dari rivalnya yang lain yang menggunakan jejaring online dan penerbangan murah.
Perusahaan akhirnya kehilangan pendapatan hingga 1,5 juta poun dalam enam bulan terakhir hingga 31 Maret. Bukan hanya itu, perusahaan terlilit hutang yang sangat besar.
Dalam catatan The Sun, Thomas Cook memiliki hutang 2 miliar pound atau mendekati 2,5 miliar pound. Perusahaan sebenarnya telah berupaya meminjam dana 200 juta pound untuk bertahan namun sayangnya pinjaman sulit didapat dan perusahaan pun berhenti beroperasi.
Sebelum resmi menyatakan dirinya bangkrut dan berhenti beroperasi, CEO Thomas Cook Peter Fankhauser mencoba meminta pinjaman kembali pada para kreditur di London. Namun, tidak ada kesepakatan yang dihasilkan.
Kreditor yang diketahui berasal dari China, Fason Group kecewa karena manajemen tidak mampu memberi solusi yang masuk akal. Meski demikian, Thomas Cook India, yang sahamanya dimiliki Faifax Kananda, tetap beroperasi dan tidak terpengaruh dengan kebangkrutan merek di Inggris.
Thomas Cook sempat meminta pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan dengan bail out. Namun pemerintah menolak karena takut akan bahaya moral jika langkah ini diambil, yang memicu perusahaan lain meminta bantuan pemerintah.
BERSAMBUNG KE HAL 3 >>> Penutupan Thomas Cook membawa masalah besar. Pasalnya banyak penumpang dan pengguna terlantar, terutama penumpang asal inggris yang tengah berlibur di negara lainnya.
Bahkan jumlahnya mencapai 600 ribu orang. Tersebar 150 ribu turis asing di Inggris, 140 ribu di Jerman, 10 ribu di Prancis, 35 ribu di Skandinavia, 20 ribu di Benelux, 15 ribu di Cyprus, 70 ribu di Yunani, 4500 di Tunisia dan 21 ribu orang di Turki.
Pemerintah Inggris pun meminta Otoritas Penerbangan Sipil Inggris untuk melakukan program repatriasi, hingga 6 Oktober nanti. Repatriasi merupakan kebijakan yang mengatur kembalinya warga negara asing ke tempat tinggal atau menuju tanah asal kewarganegaraannya.
Ini diperlukan untuk membawa orang-orang Inggris kembali ke negara itu. Bahkan sebanyak US$ 100 juta bakal digelontorkan untuk repatriasi, termasuk menyewa 45 pesawat jet.
"Karena skala situasi yang signifikan, beberapa gangguan tidak terhindarkan. Tetapi Otoritas Penerbangan Sipil akan mengupayakan agar semua orang bisa pulang sesegera mungkin," kata pemerintah Inggris.
Sejumlah armada bakal digunakan untuk warga negara Inggris. Dalam jumlah kecil, penerbangan komersial alternatif bakal digunakan.
Namun untuk pelanggan yang tidak terbang ke Inggris, seperti ke Jerman misalnya maskapai tengah mencoba memberi sejumlah alternatif. Mereka tidak boleh bepergian ke luar bandara sampai penerbangan alternatif terkonfirmasi.
"Ini mimpi buruk," kata seorang penumpang. "Sangat stres. Apalagi ketika memikirikan kamu ingin pulang tapi tak ada yang bisa kamu lakukan,".
[Gambas:Video CNBC]