Simak! Sederet 'Dosa' Bank Indonesia & LPS di Mata BPK

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
19 September 2019 13:02
Simak! Sederet 'Dosa' Bank Indonesia & LPS di Mata BPK
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa laporan keuangan tahunan Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Semester I-2019. BPK melakukan audit laporan keuangan periode 2018.

Hasilnya cukup baik, BPK memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi keduanya.

Namun ada sederet permasalahan terkait laporan keuangan BI dan LPS.

Mau tahu? Berikut hasil laporan BPK seperti ditulis CNBC Indonesia, Kamis (19/9/2019).

Simak diawali dengan Laporan Keuangan 2018 BI

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Dosa' Bank Indonesia di Mata BPK (NEXT)



BPK memberikan opini WTP atas Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia (LKTBI) Tahun 2018.

Dengan demikian, LKTBI memperoleh opini WTP dalam 5 tahun terakhir.

Dalam opini atas LKTBI Tahun 2018, BPK memberikan penekanan bahwa BI mencatat Penghasilan dari sanksi administratif devisa hasil ekspor (DHE) berbasis kas.

BI belum mencatat Tagihan dan Penghasilan atas sanksi administratif DHE yang belum dibayar sejak tahun 2012 sebagai Tagihan dan Penghasilan, serta nilai Tagihan dan Penghasilan atas Sanksi Administratif DHE tersebut belum dapat dipastikan.

Berdasarkan LKTBI Tahun 2018 (audited), nilai Aset dan Liabilitas BI per 31 Desember 2018 masing-masing sebesar Rp2.285,65 triliun, sedangkan nilai surplus setelah pajak adalah sebesar Rp48,01 triliun.

Selain memberikan opini, hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan 15 temuan yang memuat 25 permasalahan yang terdiri atas 22 permasalahan kelemahan SPI dan 3 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Permasalahan tersebut tidak memengaruhi secara material terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, di antaranya:

Pencatatan belum dilakukan atau tidak akurat


Penatausahaan sanksi denda DHE belum memadai, di antaranya: (1) surat sanksi denda DHE belum dibukukan sebagai Pendapatan dan Piutang; (2) pencatatan nilai sanksi denda dalam Aplikasi Monitoring DHE tidak sesuai dengan surat sanksi denda; dan (3) adanya sanksi denda yang telah dibebaskan tetapi ditetapkan kembali.

Hal ini mengakibatkan Piutang (Tagihan dalam Rupiah kepada Pihak Lainnya) dan Pendapatan Sanksi Administrasi atas sanksi denda DHE belum sepenuhnya menggambarkan kondisi yang sebenarnya.


Permasalahan ini disebabkan Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan (DPKL) tidak mengakui sanksi denda DHE sebagai Pendapatan dan Piutang, serta belum menatausahakan sanksi denda DHE dengan tertib, dan Sistem Aplikasi Monitoring DHE belum dapat mencatat transaksi DHE secara lengkap dan sistematis. 


Sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai


Kelemahan pengendalian sistem aplikasi yang mendukung penyusunan LKTBI, di antaranya: (1) kelemahan pengendalian back up dalam sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS); (2) adanya perincian saldo pinjaman pegawai yang tidak terdapat dalam database Bank Indonesia Sistem Informasi Penggajian (BISAP); dan (3) Bank Indonesia Sistem E-Procurement (BISPro) belum mengakomodasi proses penunjukan pemenang yang menggunakan preferensi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Hal ini mengakibatkan antara lain: (1) data transaksi berpotensi hilang dan tidak sesuai dengan database utama; (2) perincian tagihan kepada pegawai tidak dapat ditelusuri; dan (3) belum sepenuhnya tercipta tata kelola yang baik (good corporate governance) dalam pelaksanaan dan pengelolaan perencanaan proyek investasi, pengadaan, dan pemantauan kontrak.

Permasalahan ini disebabkan antara lain: (1) BI tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memastikan hasil back up; (2) Departemen Sumber Daya Manusia (DSDM) tidak cermat dalam menatausahakan perincian pinjaman kepada pegawai; dan (3) kelemahan Aplikasi BISPro.

Pertanggungjawaban tidak lengkap/tidak valid

  • Pertanggungjawaban Surat Perintah Membayar (SPM) belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan, di antaranya ketidakjelasan dasar hukum penentuan honorarium narasumber dalam rangka Focus Group Discussion (FGD) Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) dan terdapat SPM yang belum dipertanggungjawabkan sampai dengan 31 Desember 2018. Hal ini mengakibatkan adanya realisasi anggaran yang tidak jelas dasar hukumnya dan tidak menunjukkan keadaan sebenarnya.

  • Permasalahan ini disebabkan pimpinan satuan kerja (satker) lalai dalam melakukan pengendalian atas pertanggungjawaban SPM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Jawaban BI :

Tujuan akhir penetapan sanksi denda DHE bagi BI bukan untuk memperoleh pendapatan, namun untuk meng-enforce eksportir agar segera memberikan data DHE yang akurat. DPKL akan menyesuaikan nilai sanksi denda pada Aplikasi Monitoring DHE agar sesuai dengan surat sanksi denda. Selain itu, DPKL akan menambah status yang membedakan antara sanksi denda dan perubahan sanksi denda dalam Aplikasi Monitoring DHE dan Aplikasi Monitoring DHE saat ini belum memiliki penanda (flag) yang dapat membedakan surat perubahan sanksi denda yang dikaitkan dengan surat sanksi denda sebelumnya. 


BI telah menyempurnakan Petunjuk Teknis Operasional Harian BI-RTGS/ Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System (BI-SSSS) terkait dengan monitoring data archiving BI-RTGS. Terkait dengan perincian saldo pinjaman pegawai yang tidak terdapat dalam database BISAP, BI masih dalam proses menelusuri ke mainframe SISDAM. Sedangkan untuk kelemahan pada Aplikasi BISPro, BI sedang mengembangkan Bank Indonesia Enterprise Resource Planning Human Resources Information System (BI-ERPHRIS) khususnya modul e-procurement agar dapat mengakomodasi perhitungan preferensi harga TKDN. 


BI sependapat diperlukan monitoring secara berkala untuk memastikan pertanggungjawaban SPM telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Atas permasalahan tersebut, BPK antara lain merekomendasikan Gubernur BI agar: 

  • Memerintahkan Kepala DPKL untuk mencatat seluruh penetapan sanksi denda DHE sebagai Pendapatan dan Piutang dan menyempurnakan Aplikasi Monitoring DHE sehingga mencakup semua informasi terkait dengan DHE. 

  • Memerintahkan Kepala Departemen Pengelolaan Sistem Informasi (DPSI) untuk menyempurnakan SOP Back Up terkait dengan verifikasi hasil back up apakah gagal atau sukses, Kepala DSDM untuk menelusuri perincian saldo pinjaman kepada pegawai dan Kepala Departemen Pengadaan Strategis (DPS) untuk mengakomodasi perhitungan preferensi harga TKDN pada modul e-procurement BI-ERPHRIS. 

  • Memberikan sanksi kepada pimpinan satker yang belum melakukan pengendalian yang memadai atas pertanggungjawaban SPM sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 



HALAMAN SELANJUTNYA >> 'Dosa' LPS di Mata BPK (NEXT)


BPK memberikan opini WTP atas LK LPS Tahun 2018. Dengan demikian, LK LPS memperoleh opini WTP dalam 5 tahun terakhir.

Berdasarkan LK LPS Tahun 2018 (audited), nilai aset dan kewajiban LPS per 31 Desember 2018 masing-masing sebesar Rp102,71 triliun dan Rp600,39 miliar, dengan total penghasilan komprehensif selama tahun 2018 sebesar Rp14,65 triliun.

Selain memberikan opini, hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan 3 temuan yang memuat 5 permasalahan yang terdiri atas 3 permasalahan SPI dan 2 permasalahan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang- undangan sebesar Rp41,95 juta. Permasalahan tersebut tidak memengaruhi secara material terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, di antaranya:

● Sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai

Definisi atas Aset Tetap berbeda antara pedoman akuntansi, kebijakan akuntansi, dan peraturan pengelolaan aset tetap, serta dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto Aset Tetap belum ditetapkan dalam kebijakan akuntansi setelah pencabutan ketentuan low value asset (LVA). Pedoman akuntansi LPS juga belum menjelaskan tentang kelompok kelas Aset Tidak Berwujud (ATB) dan LPS belum melakukan penelahaan periode dan metode amortisasi ATB dengan umur manfaat terbatas.

Selain itu, LPS belum melakukan penghentian dan pelepasan Aset Tetap dan ATB yang diperoleh sejak tahun 2005, serta pemutakhiran data lokasi aset setelah pemindahan ruang kantor lantai 39 Equity Tower ke Gedung PCP pada aplikasi Systeme Anwendungen und Produkte in der Datenverarbeitung (SAP).

Hal ini mengakibatkan saldo Aset Tetap dan ATB tidak mencerminkan kelompok dan nilai aset sesuai dengan batas kapitalisasi dan/atau umur manfaat ekonomisnya, biaya pemeliharaan atas aset-aset rusak yang belum dihentikan dan/atau dilepaskan, serta Aset Tetap sulit ditelusuri keberadaannya.

Permasalahan tersebut terjadi karena:

Dewan Komisioner belum melakukan penetapan pengukuran kapitalisasi Aset Tetap secara jelas dalam kebijakan akuntansi.

Kepala Eksekutif LPS belum menetapkan klasifikasi dan perincian kelompok kelas ATB dalam pedoman akuntansi.

Direktur Group Akuntansi dan Anggaran belum melakukan penelaahan atas pengelompokan kelas ATB, periode dan metode amortisasi untuk pengungkapan ATB, dan penghentian pengakuan atas Aset Tetap dan ATB yang diperoleh sejak tahun 2005 serta tidak dapat dimanfaatkan.

Direktur Group Layanan Umum dan Direktur Group Sistem Teknologi Informasi belum melakukan pemutakhiran data lokasi keberadaan Aset Tetap dan ATB.

● SOP belum disusun/tidak lengkap


Pengaturan jangka waktu pengembalian sisa dana klaim penjaminan belum diatur sehingga penutupan escrow account dan pengembalian sisa dana klaim penjaminan tidak segera dilaksanakan setelah berakhirnya jangka waktu pembayaran klaim. 


Hal ini mengakibatkan LPS tidak dapat segera memanfaatkan sisa dana klaim penjaminan. 
Permasalahan tersebut terjadi karena Kepala Eksekutif belum mengatur batas waktu penutupan escrow account dan pengembalian sisa dana klaim penjaminan dalam perjanjian kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia.


Atas permasalahan tersebut, LPS menyatakan sebagai berikut. 


● Akan merevisi kebijakan akuntansi LPS dengan: (1) menetapkan pengukuran kapitalisasi aset secara jelas; (2) merevisi pedoman akuntansi LPS dengan menambahkan perincian dan penjelasan masing-masing kelompok kelas ATB konsisten dengan periode amortisasinya; (3) melakukan penelaahan atas pengelompokan kelas, periode, dan metode amortisasi untuk pengungkapan ATB; (4) melakukan penghentian pengakuan atas Aset Tetap dan ATB yang diperoleh sejak tahun 2005 serta tidak dapat dimanfaatkan; dan (5) melakukan pemutakhiran data lokasi keberadaan Aset Tetap dan ATB dalam aplikasi SAP. 


● Akan mengamendemen perjanjian kerja sama dengan menambahkan klausul bahwa pihak ke-2 (bank pembayar) wajib menutup dan mentransfer sisa dana klaim penjaminan serta melaporkan ke LPS dalam waktu 30 hari sejak berakhirnya masa pembayaran klaim penjaminan. 


BPK merekomendasikan kepada Dewan Komisioner agar:

● Merevisi kebijakan akuntansi LPS dengan menetapkan pengukuran kapitalisasi Aset Tetap secara jelas. 


● Memerintahkan Kepala Eksekutif untuk: 
 Merevisi pedoman akuntansi LPS dengan menambahkan perincian dan penjelasan masing-masing kelompok kelas ATB konsisten dengan periode amortisasinya. 
Mengatur batas waktu penutupan escrow account dan pengembalian sisa dana klaim penjaminan dalam perjanjian kerja sama dengan bank pembayar klaim penjaminan. 


Menginstruksikan:

Direktur Group Akuntansi dan Anggaran agar melakukan penelaahan atas pengelompokan kelas, periode dan metode amortisasi untuk ATB, dan penghentian pengakuan atas Aset Tetap dan ATB yang diperoleh sejak tahun 2005 serta tidak dapat dimanfaatkan. 


Direktur Group Layanan Umum dan Direktur Group Sistem Teknologi Informasi untuk melakukan pemutakhiran data lokasi keberadaan Aset Tetap dan ATB dalam aplikasi SAP. 



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular