
Perang Dagang Bikin Boeing Terdampak, Saham pun Terus Melorot

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang yang berlangsung antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi salah satu faktor berisiko penjualan pesawat berbadan lebar atau wide-body milik pabrikan pesawat AS, Boeing Co.
CEO Boeing, Dennis Muilenburg mengatakan jika perang dagang kedua negara tersebut tidak terselesaikan, situasinya mengancam produk andalan perusahaan yakni 787 Dreamliner, karena produksinya bergantung pada kebutuhan pelanggan China.
Berbicara di Morgan Stanley 7th Annual Laguna Conference di Laguna Beach, California, AS pada 11 September 2019, Dennis Muilenburg menyatakan harapan bahwa AS dan China akan mencapai kesepakatan perdagangan, yang akan menjadi pengaruh bagi penjualan pesawat Boeing.
"Kami memperhatikan dengan seksama kesepakatan perdagangan AS-China, kami masih berharap akan dapat kejutan dan pesawat akhirnya akan menjadi bagian dari itu [pemesanan China]. Tapi itu adalah area berisiko sampai nanti selesai," seperti dilansir dari aerotime, Senin (16/09/2019).
Alasan di balik perhatian yang begitu besar dengan konflik AS-China ini adalah ketergantungan perusahaan pada pasar China untuk penjualan pesawat wide-body.
Pentingnya pasar China diungkapkan dengan baik dalam Boeing's Commercial Market Outlook, yang memperkirakan bahwa Asia akan menjadi pasar perjalanan terbesar di dunia pada 2038, sementara China akan mengambilalih posisi pasar perjalanan domestik terbesar.
Dennis mengungkapkan dalam 20 tahun ke depan, ada 44.000 pesawat penumpang komersial baru akan dibutuhkan secara global, di mana dari jumlah tersebut, 7.700 dari kebutuhan China.
"Kami telah memesan slot di jalur produksi wide-body kami, baik 777 dan 787, untuk pesanan China dan ada ketergantungan pada pesanan China yang akhirnya datang," kata Muilenburg.
Dia menjelaskan, misalnya, tingkat produksi 787 adalah 14 pesawat per bulan, sementara Boeing juga punya fleksibilitas. Namun, tingkat produksi 14 per bulan didasarkan pada estimasi permintaan jenis Dreamliner secara global yang juga termasuk pesanan China.
Produksi wide-body lebih sensitif terhadap pesanan karena ada sedikit fleksibilitas untuk menawarkan pesawat untuk pembeli yang berbeda. "Maskapai ini cenderung lebih disesuaikan untuk pelanggan individu," jelas Muilenburg.
Kabarnya, Boeing memiliki pending order dari maskapai China untuk ratusan pesawat.
Pada Juni 2019, Bloomberg melaporkan bahwa Boeing berada di tengah-tengah negosiasi dengan pesawat China "untuk salah satu pesanan terbesar dari pesawat wide-body". Pesanan ini berpotensi berpusat pada 100 unit jet lorong ganda, termasuk 787 Dreamliners dan 777X yang sangat dinanti. Namun, belum ada kesepakatan seperti itu yang diselesaikan oleh manajemen Boeing.
Di pasar saham, harga saham Boeing di bursa New York Stock Exchange (NYSE) juga masih dalam tren turun secara bulanan. Pada awal Januari 2019, mengacu data NSYE, saham Boeing masih di level tinggi US$ 385/saham, sementara pada awal September turun di level US$ 379/saham.
Akhir pekan lalu, saham berkode BA ini naik 1,10% di level US$ 379,76/saham.
Buntung Boeing, Airbus untung
(tas) Next Article Walah, Boeing Catat Kerugian Rp 1,8 T di Kuartal III-2021
