
Ini Respons Pimpinan KPK Soal Jokowi Setuju Revisi UU KPK
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
12 September 2019 18:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar konferensi pers khusus menyikapi perkembangan terkini perihal revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung KPK, Kamis (12/9/2019).
Dalam kesempatan itu, Ketua KPK Agus Rahardjo berharap agar concern KPK terkait revisi UU itu didengar semua pengambil keputusan. Baik itu di DPR maupun di pemerintahan.
"Bahwa gerakan anti korupsi membutuhkan penguatan-penguatan bukan untuk dilemahkan. Kita meminta kepada mereka memikirkan hal itu," ujar Agus. Tampak mendampingi Agus dua pimpinan KPK lainnya, yaitu Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
Ia mengaku sudah melihat draf revisi UU KPK via pemberitaaan di media massa, bukan secara resmi. Sebab, KPK tidak dilibatkan sama sekali. Hal itu, menurut Agus, berbeda dengan pembahasan sebelumnya.
"Kami terkejut proses itu begitu cepat," katanya.
Laode M Syarif menilai revisi UU KPK cenderung tertutup. Prosesnya pun begitu cepat hingga menjadi inisiatif DPR RI pekan lalu. Kemudian pada Rabu (11/9/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirim surat kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo sebagai pertanda persetujuan pembahasan RUU tersebut.
"Presiden memiliki waktu 60 hari untuk memikirkan itu tetapi langsung cepat persetujuannya," keluh Laode.
Saut Situmorang lebih memilih berbicara perihal sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Hal itu belum berubah sejak UU KPK dibuat sampai dengan hari ini.
"Pertanyaan besar, ada apa? Perilaku orang tidak berubah, (korupsi) masih extraordinary crime," ujar Saut.
Revisi UU KPK memasuki babak baru pada Kamis (12/9/2019). Ini setelah Presiden Joko Widodo menandatangani surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo pada Rabu (11/9/2019).
Surat bernomor R-42/Pres/09/2019 dengan sifat sangat segera itu berisi penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan RUU tersebut," tulis Jokowi.
Tak ayal keputusan Jokowi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menilai penandatanganan surpres menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi.
"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen. Sekarang KPK berada diujung tanduk karena pembahasan di DPR cenderung tidak akan terkontrol," kata Donal dilansir detik.com.
"Keputusan Presiden tidak hanya mengecewakan, tapi menyakitkan bagi pemberantasan korupsi. Presiden gagal memenuhi harapan publik untuk menjadi benteng terakhir dari upaya pelemahan melalui revisi UU yang diusulkan oleh DPR," lanjutnya.
KPK berpendapat revisi UU dapat melumpuhkan kewenangan mereka dalam pemberantasan korupsi. Ada sejumlah hal yang mendukung pendapat itu antara lain penyadapan dipersulit dan dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas.
(miq/dob) Next Article Puluhan Karyawan Resign, KPK: Itu Hal yang Wajar
Dalam kesempatan itu, Ketua KPK Agus Rahardjo berharap agar concern KPK terkait revisi UU itu didengar semua pengambil keputusan. Baik itu di DPR maupun di pemerintahan.
"Bahwa gerakan anti korupsi membutuhkan penguatan-penguatan bukan untuk dilemahkan. Kita meminta kepada mereka memikirkan hal itu," ujar Agus. Tampak mendampingi Agus dua pimpinan KPK lainnya, yaitu Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
"Kami terkejut proses itu begitu cepat," katanya.
Laode M Syarif menilai revisi UU KPK cenderung tertutup. Prosesnya pun begitu cepat hingga menjadi inisiatif DPR RI pekan lalu. Kemudian pada Rabu (11/9/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirim surat kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo sebagai pertanda persetujuan pembahasan RUU tersebut.
"Presiden memiliki waktu 60 hari untuk memikirkan itu tetapi langsung cepat persetujuannya," keluh Laode.
Saut Situmorang lebih memilih berbicara perihal sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Hal itu belum berubah sejak UU KPK dibuat sampai dengan hari ini.
"Pertanyaan besar, ada apa? Perilaku orang tidak berubah, (korupsi) masih extraordinary crime," ujar Saut.
Revisi UU KPK memasuki babak baru pada Kamis (12/9/2019). Ini setelah Presiden Joko Widodo menandatangani surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo pada Rabu (11/9/2019).
Surat bernomor R-42/Pres/09/2019 dengan sifat sangat segera itu berisi penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan RUU tersebut," tulis Jokowi.
Tak ayal keputusan Jokowi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menilai penandatanganan surpres menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi.
"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen. Sekarang KPK berada diujung tanduk karena pembahasan di DPR cenderung tidak akan terkontrol," kata Donal dilansir detik.com.
"Keputusan Presiden tidak hanya mengecewakan, tapi menyakitkan bagi pemberantasan korupsi. Presiden gagal memenuhi harapan publik untuk menjadi benteng terakhir dari upaya pelemahan melalui revisi UU yang diusulkan oleh DPR," lanjutnya.
KPK berpendapat revisi UU dapat melumpuhkan kewenangan mereka dalam pemberantasan korupsi. Ada sejumlah hal yang mendukung pendapat itu antara lain penyadapan dipersulit dan dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas.
(miq/dob) Next Article Puluhan Karyawan Resign, KPK: Itu Hal yang Wajar
Most Popular