OTT KPK Diklaim Ganggu Investasi di RI, Benarkah?

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
12 September 2019 16:44
OTT KPK Diklaim Ganggu Investasi di RI, Benarkah?
Jakarta, CNBC Indonesia - Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), memantik kontroversi di kalangan masyarakat. Maklum, semua itu berkaitan erat dengan masa depan lembaga antirasywah itu.


Mau tak mau diskusi pun mengarah kepada kinerja KPK belakangan, salah satunya berkaitan dengan pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT). OTT dinilai telah menghambat pembangunan bahkan mengganggu investasi.


Hal itu disampaikan calon pimpinan KPK, Nawawi Pomolango, dalam uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, Kamis (12/9/2019). Ia merupakan hakim tinggi di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.


"Kalau tiap hari kita dipertontonkan, pejabat kita ditangkapin, di luar negeri sana orang juga mikir. Apa tidak ada orang baik lagi di sini. Tiap hari ditangkapin dua, tiga pejabat. Bagaimana mereka mau menanamkan modal?" ujar Nawawi.



Hal senada disampaikan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Menurut JK, sapaan akrab Jusuf Kalla, makin banyak pejabat, entah itu menteri, gubernur, bupati, yang terjaring OTT bukanlah sebuah prestasi.

"Prestasi yang benar ialah kalau makin kurang orang yang ditangkap karena korupsi sudah berkurang. Itu prestasi," kata JK kepada wartawan ketika ditemui di kantor Wapres RI, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).
NEXT>>>
Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, OTT memang harus dilakukan oleh KPK. Hal itu pun tidak serta merta menghambat investasi.



"Kalau nggak di OTT ya terjadi kan? Kan tidak mungkin dibiarkan karena KPK tahu. Justru harus dibalik paradigmanya. Ada OTT saja masih ndableg. Terus apa lagi? Jadi logikanya nggak ketemu. Ada OTT saja masih ndableg apalagi nggak ada OTT. Kecuali kalau OTT itu dicari-cari. Tapi OTT itu kan terbukti, dia terima uang, itu pun nggak membuat jera," ujarnya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (12/9/2019).

Menurut Firmanzah, jangan sampai ada penilaian bahwa OTT itu salah. Justru yang harus disalahkan adalah orang-orang yang terjaring OTT. Firmanzah pun mengingatkan bahwa selain OTT, KPK pun sudah melakukan serangkaian upaya pencegahan korupsi dari sisi edukasi.

"Kami di Paramadina juga membuat workshop dengan KPK untuk memberikan aturan-aturan penjelasan ke bupati, gubernur. Tahun ini kita undang 100 bupati. Ini lg kita susun. Jadi tindakan pencegahan juga terus dilakukan, bukan terus ditinggalkan," kata Firmanzah.

"Tapi kalau OTT yang dipermasalahkan menurut saya itu salah kaprah, harusnya orang yang di OTT yang dipermasalahin. Orang dia sudah disumpah pejabat publik tidak menerima uang yang bertentangan dengan UU, sudah ada yang di OTT sebelumnya, tapi masih melakukan," lanjut mantan staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.


Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 memasuki babak baru. Ini setelah Presiden Joko Widodo menandatangani surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo pada Rabu (11/9/2019).

Surat bernomor R-42/Pres/09/2019 dengan sifat sangat segera itu berisi penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan RUU tersebut," tulis Jokowi.


Tak ayal keputusan Jokowi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menilai penandatanganan surpres menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi.

"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen. Sekarang KPK berada di ujung tanduk karena pembahasan di DPR cenderung tidak akan terkontrol," kata Donal dilansir detik.com.

"Keputusan Presiden tidak hanya mengecewakan, tapi menyakitkan bagi pemberantasan korupsi. Presiden gagal memenuhi harapan publik untuk menjadi benteng terakhir dari upaya pelemahan melalui revisi UU yang diusulkan oleh DPR," lanjutnya.

KPK berpendapat revisi UU dapat melumpuhkan kewenangan mereka dalam pemberantasan korupsi. Ada sejumlah hal yang mendukung pendapat itu antara lain penyadapan dipersulit dan dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas.

[Gambas:Video CNBC]

Next Page
Salah kaprah
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular