Main Bola Kalah 2-3, RI vs Malaysia di Ekonomi Bagaimana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 September 2019 08:26
Main Bola Kalah 2-3, RI vs Malaysia di Ekonomi Bagaimana?
Ilustrasi Ringgit Malaysia (Reuters/Thomas White)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Kamis pekan ini, catatan kelam kembali ditorehkan dalam sejarah sepakbola nasional. Tim nasional Indonesia berlaga menghadapi tim nasional Malaysia di Stadion Gelora Bung Karno di babak pra-kualifikasi Piala Dunia 2022. Dalam pertandingan ini, Indonesia boleh dibilang menelan dua kekalahan.

Pertama, Indonesia kalah betulan dari sisi olahraga karena papan skor kala peluit panjang dibunyikan berada di angka 2-3. Tim Garuda kalah skor, dan ini adalah kekalahan yang hakiki.

Kekalahan kedua, suporter Indonesia berbuat ulah yang sama sekali tidak bisa dibenarkan. Mulai dari membuat koreografi tulisan yang tidak pantas hingga menyerang pendukung Harimau Malaya.

Insiden ini membuat Negeri Jiran sangat kecewa. Bahkan Malaysia sampai berencana melayangkan protes resmi kepada Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) dan Konfederasii Sepakbola Asia (AFC).

"Tidak ada tempat dalam sukan bola sepak untuk gejala hooliganisme dan gangsterisme dan oleh itu, kami telah membuat keputusan untuk mengambil tindakan dan sedang mengumpul bukti kukuh bagi melaporkan kejadian semalam kepada Persekutuan Persatuan Bola Sepak Antarabangsa (FIFA) dan Konfederasi Bola Sepak Asia (AFC)," demikian sebut keterangan tertulis Asosiasi Sepakbola Malaysia (FAM).

Jika Indonesia terbukti bersalah (sepertinya memang mustahil dibantah), maka sanksi FIFA tinggal menunggu waktu. Indonesia bisa dijerat pasal 58 FIFA Disciplinary Code tentang diskriminasi. Berikut gambaran pelanggaran dan sanksi yang mungkin dikenakan:

Main Bola Kalah 2-3, RI vs Malaysia di Ekonomi Bagaimana?FIFA

Tidak hanya pasal 58, Indonesia juga berpotensi melanggar pasar 67 yang berbunyi sebagai berikut:

Main Bola Kalah 2-3, RI vs Malaysia di Ekonomi Bagaimana?Foto: FIFA

Jadi, sanksi yang bisa dikenakan kepada Indonesia bisa berupa denda, pertandingan tanpa penonton, sampai diskualifikasi dari kompetisi. Kalau sampai Indonesia kena diskualifikasi, maka ucapkan selamat tinggal kepada Qatar 2022. Gagal lolos Piala Dunia karena kekalahan di pertandingan sepertinya lebih terhormat ketimbang 'diusir' seperti itu.

Di sepakbola Indonesia boleh kalah dari Malaysia. Bagaimana dengan kinerja ekonomi? Apakah Indonesia kalah lagi?



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mari kita tilik beberapa indikator kunci. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi.

Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,09% sementara Malaysia 5,04%. Indonesia unggul.

Skor sementara Indonesia 1, Malaysia 0.



Indikator kedua adalah situasi ketenagakerjaan. Mungkin yang bisa dilihat adalah angka pengangguran.

Untuk indikator kedua ini, Indonesia sepertinya harus mengakui keunggulan Malaysia. Tingkat pengangguran di Malaysia stabil di kisaran 3% sementara Indonesia di level 5%. Indonesia 1, Malaysia 1.



malaysia


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Indikator ketiga adalah inflasi. Sebagai sesama negara berkembang, Indonesia dan Malaysia sama-sama mencari inflasi rendah.

Khittah negara berkembang adalah inflasi tinggi, karena permintaan tumbuh kencang sementara pasokan dalam negeri belum memadai. Jadi, pemenang dalam kategori ini adalah siapa yang bisa menjaga inflasi tetap rendah dan stabil.

Sayang sekali, lagi-lagi Malaysia lebih baik. Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata inflasi Indonesia adalah 3,34% year-on-year (YoY) sedangkan Malaysia 1,85% YoY. Malaysia menang telak kali ini.

Malaysia berbalik unggul 2-1.



Indikator berikutnya adalah kondisi dunia usaha, yang dicerminkan dalam angka Purchasing Managers Index (PMI). PMI menggunakan ambang batas 50, jadi kalau angkanya di atas 50 berarti dunia usaha sedang ekspansif. Sebaliknya, kalau di bawah 50 berarti industriawan sedang mengalami kontraksi.

Selama tiga tahun terakhir, rata-rata PMI manufaktur Indonesia adalah 50,35. Malaysia? 48,85. Indonesia berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2.




(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Posisi imbang, bagaimana menentukan pemenangnya? Kita pakai parameter pamungkas yaitu Leading Indicator Index saja.

Leading Indicator Index adalah gabungan antara berbagai indikator yang mampu memperkirakan siklus bisnis ke depan. Lain dengan pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang merupakan lagging indicator, angkanya mencerminkan sesuatu yang sudah berlalu.

Indeks ini menggunakan angka 100 sebagai batasan. Kalau angkanya di atas 100 berarti ada keyakinan prospek ekonomi ke depan akan cerah. Apabila di bawah 100 ya kebalikannya, ada risiko ekonomi bakal suram.

Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata nilai Leading Indicator Index Indonesia adalah 99,55. Berapa nilai Malaysia? 118,34. Lumayan jauh, Malaysia lebih pede menatap perekonomian mereka.



Oke, kita sepakati saja skor akhir 2-3 untuk keunggulan Malaysia. Skor pertandingan sepakbola tempo hari ternyata identik dengan 'laga' indikator ekonomi.

Sayang sekali, Garuda tidak hanya harus takluk dari Harimau Malaya di lapangan hijau. Dalam angka-angka ekonomi pun situasinya sama saja...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/hps) Next Article Q2-2019, PDB Malaysia Tumbuh Jadi 4,9%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular