
Suram! Penjualan Mobil Lesu, Kenapa Ya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2019 13:41

Apa yang membuat ekonomi Indonesia sulit tumbuh tinggi yang membuat penjualan mobil seret? Jawabannya adalah ketergantungan terhadap komoditas.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi di sektor pertanian, pertambangan, dan kehutanan pada semester I-2019 adalah Rp 57,9 triliun. Jumlah ini hampir 30% dari total penanaman modal, baik domestik maupun asing.
Begitu pula di sisi ekspor. Pada semester I-2019, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (sebagian besar adalah minyak sawit mentah/CPO) adalah US$ 19,46 miliar. Perannya adalah 26,95% dari total ekspor non migas.
Baca: Indonesia Kaya Sumber Daya, Berkah atau Musibah?
Masalahnya, harga komoditas cenderung turun. Sejak tahun lalu, indeks harga komoditas ekspor Indonesia keluaran Bank Indonesia (BI) menunjukkan angka negatif.
Bank Indonesia
Saat harga komoditas turun, maka pendapatan dari ekspor menjadi berkurang. Sudah sembilan bulan ekspor Indonesia tidak tumbuh, selalu negatif.
Tidak cuma ekspor, penurunan harga komoditas juga membuat investasi di sektor ini menjadi kurang seksi. Bahkan investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) sempat terkontraksi selama empat kuartal berturut-turut.
Jadi, pesan moralnya adalah Indonesia jangan lagi bergantung kepada komoditas. Ekonomi yang terlalu bersandar pada komoditas sangat rentan, mudah 'digoyang'.
Saat harga komoditas meroket selepas krisis keuangan global 2007-2008, ekonomi Indonesia bisa tumbuh sampai di kisaran 6%. Namun saat harga boncos, ya pertumbuhan ekonomi ikut seret, dan berdampak pada lesunya penjualan mobil.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hoi)
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi di sektor pertanian, pertambangan, dan kehutanan pada semester I-2019 adalah Rp 57,9 triliun. Jumlah ini hampir 30% dari total penanaman modal, baik domestik maupun asing.
Begitu pula di sisi ekspor. Pada semester I-2019, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (sebagian besar adalah minyak sawit mentah/CPO) adalah US$ 19,46 miliar. Perannya adalah 26,95% dari total ekspor non migas.
Baca: Indonesia Kaya Sumber Daya, Berkah atau Musibah?
Masalahnya, harga komoditas cenderung turun. Sejak tahun lalu, indeks harga komoditas ekspor Indonesia keluaran Bank Indonesia (BI) menunjukkan angka negatif.
Komoditas | 2018 | 2019 (ytd) |
Tembaga | 6.7 | -6.7 |
Batu bara | 2.5 | -6.4 |
Kelapa Sawit | -19.2 | -9.6 |
Karet | -16.8 | 18.1 |
Nikel | 27.8 | -2.9 |
Timah | 0.5 | -2 |
Aluminium | 7.4 | -13 |
Kopi | -15.4 | -12.3 |
Lainnya | 1.2 | -9.2 |
Indeks Keseluruhan | -2.8 | -3.1 |
Saat harga komoditas turun, maka pendapatan dari ekspor menjadi berkurang. Sudah sembilan bulan ekspor Indonesia tidak tumbuh, selalu negatif.
Tidak cuma ekspor, penurunan harga komoditas juga membuat investasi di sektor ini menjadi kurang seksi. Bahkan investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) sempat terkontraksi selama empat kuartal berturut-turut.
Jadi, pesan moralnya adalah Indonesia jangan lagi bergantung kepada komoditas. Ekonomi yang terlalu bersandar pada komoditas sangat rentan, mudah 'digoyang'.
Saat harga komoditas meroket selepas krisis keuangan global 2007-2008, ekonomi Indonesia bisa tumbuh sampai di kisaran 6%. Namun saat harga boncos, ya pertumbuhan ekonomi ikut seret, dan berdampak pada lesunya penjualan mobil.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hoi)
Pages
Most Popular