Suram! Penjualan Mobil Lesu, Kenapa Ya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2019 13:41
Suram! Penjualan Mobil Lesu, Kenapa Ya?
Ilustrasi Mobil (Lamhot Aritonang/detikcom)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam lima tahun terakhir, penjualan mobil nasional berada dalam tren stagnan. Sepertinya data ini mencerminkan kondisi ekonomi secara umum yang memang begitu-begitu saja.

Pada Juli 2019, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil domestik sebanyak 89.110 unit. Turun 17,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Selama lima tahun terakhir, rata-rata penjualan mobil adalah 89.230,02 unit per bulan. Kalau ditarik garis tren, terlihat bahwa penjualan mobil mengalami stagnasi.

Gaikindo

Namun yang mengkhawatirkan adalah laju pertumbuhannya. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata penjualan mobil terkontraksi alias minus 2,53% per bulan.





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Angka penjualan mobil merefleksikan kondisi ekonomi makro Indonesia. Dalam lima tahun ini, pertumbuhan ekonomi nasional sulit untuk terangkat signifikan.

Pencapaian terbaik adalah pada kuartal II-2016, di mana kala itu ekonomi Tanah Air tumbuh 5,21%. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi 'hanya' 5,03%.

Selepas krisis ekonomi 1997-1998, pertumbuhan ekonomi domestik mencapai puncaknya pada kuartal I-2011 yaitu 6,48%. Namun sejak kuartal III-2012, pertumbuhan ekonomi nasional tidak pernah lagi menembus 6%.



Perlambatan laju pertumbuhan adalah gambaran dari kelesuan aktivitas ekonomi secara keseuruhan. Wa bil khusus konsumsi rumah tangga, karena nyaris 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbangkan oleh pos tersebut.

Ketika konsumsi rumah tangga melambat, tandanya ada penurunan pembelian produk-produk tahan lama (durable goods) yang memang bukan kebutuhan pokok. Salah satunya ya mobil...


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Apa yang membuat ekonomi Indonesia sulit tumbuh tinggi yang membuat penjualan mobil seret? Jawabannya adalah ketergantungan terhadap komoditas.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi di sektor pertanian, pertambangan, dan kehutanan pada semester I-2019 adalah Rp 57,9 triliun. Jumlah ini hampir 30% dari total penanaman modal, baik domestik maupun asing.

Begitu pula di sisi ekspor. Pada semester I-2019, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (sebagian besar adalah minyak sawit mentah/CPO) adalah US$ 19,46 miliar. Perannya adalah 26,95% dari total ekspor non migas.

Baca: Indonesia Kaya Sumber Daya, Berkah atau Musibah?

Masalahnya, harga komoditas cenderung turun. Sejak tahun lalu, indeks harga komoditas ekspor Indonesia keluaran Bank Indonesia (BI) menunjukkan angka negatif.

Komoditas

2018

2019 (ytd)

Tembaga

6.7

-6.7

Batu bara

2.5

-6.4

Kelapa Sawit

-19.2

-9.6

Karet

-16.8

18.1

Nikel

27.8

-2.9

Timah

0.5

-2

Aluminium

7.4

-13

Kopi

-15.4

-12.3

Lainnya

1.2

-9.2

Indeks Keseluruhan

-2.8

-3.1

Bank Indonesia

Saat harga komoditas turun, maka pendapatan dari ekspor menjadi berkurang. Sudah sembilan bulan ekspor Indonesia tidak tumbuh, selalu negatif.



Tidak cuma ekspor, penurunan harga komoditas juga membuat investasi di sektor ini menjadi kurang seksi. Bahkan investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) sempat terkontraksi selama empat kuartal berturut-turut.



Jadi, pesan moralnya adalah Indonesia jangan lagi bergantung kepada komoditas. Ekonomi yang terlalu bersandar pada komoditas sangat rentan, mudah 'digoyang'.

Saat harga komoditas meroket selepas krisis keuangan global 2007-2008, ekonomi Indonesia bisa tumbuh sampai di kisaran 6%. Namun saat harga boncos, ya pertumbuhan ekonomi ikut seret, dan berdampak pada lesunya penjualan mobil.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/hoi) Next Article Penjualan Mobil 'Meledak' Lagi, Nyaris Sebelum Pandemi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular