
Internasional
Bukan Cuma Demo, Ini Risiko Lain Bisnis di Hong Kong
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
02 September 2019 11:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Demo terus terjadi di Hong Kong tiap akhir pekan sejak Juni lalu. Tiap minggunya ribuan hingga jutaan orang turun ke jalan untuk menyerukan agar pemerintah membuat perubahan dalam demokrasi di kota yang masih menjadi bagian dari China itu.
Akibat serangkaian demo yang kadang diisi oleh aksi bentrokan antara pendemo dengan petugas polisi, berbagai pihak termasuk bisnis dan investor luar negeri telah dirugikan. Beberapa rencana investasi besar terpaksa ditunda, bahkan berbagai bisnis terpaksa ditutup sementara di salah satu pusat keuangan dunia itu.
Namun, menurut laporan BBC News, ancaman yang dihadapi bisnis Hong Kong bukan hanya dampak langsung dari demo itu. Namun, juga tekanan dari pemerintah China.
Bisnis-bisnis di Hong Kong dibuat khawatir oleh 'pengaruh' China terhadap kelangsungan bisnis mereka. Sebab, berbagai laporan menyebut China tidak segan-segan memberi 'hukuman' bagi bisnis yang diketahui terlibat atau mendukung demo anti pemerintah di Hong Kong.
Salah satu contoh nyata adalah apa yang terjadi pada maskapai Hong Kong Cathay Pacific. Beberapa pekerja maskapai ini telah diberhentikan secara sepihak oleh maskapai setelah terbukti terlibat dan mendukung demo.
Bahkan, CEO maskapai Rupert Hogg, telah mengundurkan diri akibat masalah ini. Saat itu ia mengatakan alasannya mengundurkan diri adalah karena merasa harus bertanggung jawab atas tindakan stafnya yang bergabung dalam demo pro-demokrasi. Sebab, langkah itu telah membuat marah Beijing.
Namun, banyak pihak yang berspekulasi bahwa pengunduran diri Hogg adalah karena terpaksa. Karena itulah yang diinginkan China.
BERSAMBUNG KE HAL 2
Hal serupa dikhawatirkan terjadi pada pekerja di perusahaan lainnya.
"Ini (Hong Kong) menjadi lebih seperti China," kata seorang wanita kepada BBC News. "Ini adalah taktik yang digunakan oleh pemerintah Komunis untuk membungkam orang. Seperti membiarkan kolega saling memberi tahu, hanya karena mereka melihat sesuatu yang tidak berpihak pada pemerintah. Mereka bisa melaporkannya ke pihak berwenang dan membuat anggota staf itu dipecat tanpa alasan lain."
Seorang pengusaha terkemuka, yang tidak ingin disebutkan namanya, juga menyatakan hal yang sama.
"Kita harus sangat berhati-hati sekarang," katanya. "Belum ada perusahaan multinasional yang pergi, saya belum melihat bukti aliran modal keluar, tetapi perusahaan harus mengatakan kepada staf mereka untuk lebih berhati-hati tentang apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan. Contoh dari Cathay Pacific adalah peringatan dari Beijing." Jelasnya.
Selain Cathay, bebrapa perusahaan lain juga terlihat merasa takut pada pengaruh China. Misalkan HSBC dan Standard Chartered. Dua bank besar itu telah memasang iklan selebar satu halaman penuh di surat kabar yang berisi kritiknya terhadap kekerasan yang terjadi dalam demo Hong Kong.
Analis menyebut hal itu menunjukan dukungan mereka terhadap China, sebab mereka termasuk dalam perusahaan yang memperoleh sebagian besar pendapatan dari operasinya di China.
Contoh lain adalah apa yang terjadi pada MRT di Hong Kong. MRT yang mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 44% di China pada 2018 lalu, tidak mau mengambil risiko kehilangan bisnisnya di wilayah China. Oleh karenanya perusahaan menutup layanan MRT di dua jalur utama di Hong Kong saat demo akhir pekan berlangsung. Analis menyebut langkah itu menunjukkan keberpihakan perusahaan pada China, meski telah ditentang perusahaan.
(sef/sef) Next Article Demo Belum Reda, China Copot Pejabat Penting di Hong Kong
Akibat serangkaian demo yang kadang diisi oleh aksi bentrokan antara pendemo dengan petugas polisi, berbagai pihak termasuk bisnis dan investor luar negeri telah dirugikan. Beberapa rencana investasi besar terpaksa ditunda, bahkan berbagai bisnis terpaksa ditutup sementara di salah satu pusat keuangan dunia itu.
Namun, menurut laporan BBC News, ancaman yang dihadapi bisnis Hong Kong bukan hanya dampak langsung dari demo itu. Namun, juga tekanan dari pemerintah China.
Bisnis-bisnis di Hong Kong dibuat khawatir oleh 'pengaruh' China terhadap kelangsungan bisnis mereka. Sebab, berbagai laporan menyebut China tidak segan-segan memberi 'hukuman' bagi bisnis yang diketahui terlibat atau mendukung demo anti pemerintah di Hong Kong.
Bahkan, CEO maskapai Rupert Hogg, telah mengundurkan diri akibat masalah ini. Saat itu ia mengatakan alasannya mengundurkan diri adalah karena merasa harus bertanggung jawab atas tindakan stafnya yang bergabung dalam demo pro-demokrasi. Sebab, langkah itu telah membuat marah Beijing.
Namun, banyak pihak yang berspekulasi bahwa pengunduran diri Hogg adalah karena terpaksa. Karena itulah yang diinginkan China.
BERSAMBUNG KE HAL 2
Hal serupa dikhawatirkan terjadi pada pekerja di perusahaan lainnya.
"Ini (Hong Kong) menjadi lebih seperti China," kata seorang wanita kepada BBC News. "Ini adalah taktik yang digunakan oleh pemerintah Komunis untuk membungkam orang. Seperti membiarkan kolega saling memberi tahu, hanya karena mereka melihat sesuatu yang tidak berpihak pada pemerintah. Mereka bisa melaporkannya ke pihak berwenang dan membuat anggota staf itu dipecat tanpa alasan lain."
Seorang pengusaha terkemuka, yang tidak ingin disebutkan namanya, juga menyatakan hal yang sama.
"Kita harus sangat berhati-hati sekarang," katanya. "Belum ada perusahaan multinasional yang pergi, saya belum melihat bukti aliran modal keluar, tetapi perusahaan harus mengatakan kepada staf mereka untuk lebih berhati-hati tentang apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan. Contoh dari Cathay Pacific adalah peringatan dari Beijing." Jelasnya.
Selain Cathay, bebrapa perusahaan lain juga terlihat merasa takut pada pengaruh China. Misalkan HSBC dan Standard Chartered. Dua bank besar itu telah memasang iklan selebar satu halaman penuh di surat kabar yang berisi kritiknya terhadap kekerasan yang terjadi dalam demo Hong Kong.
Analis menyebut hal itu menunjukan dukungan mereka terhadap China, sebab mereka termasuk dalam perusahaan yang memperoleh sebagian besar pendapatan dari operasinya di China.
Contoh lain adalah apa yang terjadi pada MRT di Hong Kong. MRT yang mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 44% di China pada 2018 lalu, tidak mau mengambil risiko kehilangan bisnisnya di wilayah China. Oleh karenanya perusahaan menutup layanan MRT di dua jalur utama di Hong Kong saat demo akhir pekan berlangsung. Analis menyebut langkah itu menunjukkan keberpihakan perusahaan pada China, meski telah ditentang perusahaan.
(sef/sef) Next Article Demo Belum Reda, China Copot Pejabat Penting di Hong Kong
Most Popular