Internasional

Kronologi Perang Dagang Jepang-Korea, Dari Luka Perang Dunia

Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
29 August 2019 13:53
Kronologi Perang Dagang Jepang-Korea, Dari Luka Perang Dunia
Foto: Moon Jae-in & Shinzo Abe (Kim Kyung-Hoon/Pool Photo via AP, File)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang tak cuma terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China, melainkan juga pada Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Bahkan konflik kedua negara berujung pada saling dikeluarkannya masing-masing negara, dari whitelist alias daftar mitra dagang favorit.

Lalu sebenarnya, apa yang terjadi pada kedua negara Asia Timur ini? Mengapa perang urat saraf masih terus berlanjut pada sekutu penting AS di Asia ini?


Luka Perang Dunia II

Konflik perdagangan kedua negara dimulai Juli 2019. Namun akar konflik sebenarnya muncul dari luka lama saat Perang Dunia II, saat masa pendudukan Korea oleh Jepang dari tahun 1910 hingga 1945.

Pelacuran paksa "jugun ianfu" yang dilakukan tentara Jepang pada wanita Korsel meninggalkan luka. Buntutnya, permintaan maaf dan pemberian ganti rugi sebesar US$ 8,3 juta oleh Jepang dibatalkan secara sepihak oleh Korsel di tahun 2018.

Perang Dagang Jepang-Korea, Berawal dari Luka Perang Dunia IIFoto: Jugun ianfu,perempuan penghibur via www.tutufoundationusa.org

Seoul juga menutup yayasan yang didanai Jepang untuk membiayai penyelesaian luka peperangan tersebut. Ini merupakan pemantik awal ketegangan kedua negara.

Eskalasi memburuknya hubungan keduanya semakin naik saat akhir 2018. Kala itu, Mahkamah Agung Korsel memerintahkan perusahaan Jepang untuk memberi kompensasi pada pekerja paksa yang dahulu dipekerjakan di perusahaan Jepang, seperti Mitsubisi atau Nippon Steel & Sumitomo Metal.

Pada saat Perang Dunia II berlansung, perusahaan tersebut memasok bahan untuk pembuatan kapal dan pesawat terbang jepang di tahun 1944. Korsel meminta Jepang membayar hingga US$88 ribu. Namun hal ini ditolak perusahaan Jepang dan berbuntut pada penyitaan hak paten perusahaan.

Tindakan ini akhirnya membuat Jepang meradang. Jerman mengancam apa yang dilakukan Korsel bisa menganggu hubungan kedua negara yang sebelumnya sudah menandatangani perjanjian normalisasi hubungan di tahun 1965.

[Gambas:Video CNBC]



BERLANJUT KE HAL 2

Pengetatan Ekspor

Pada 1 Juli 2019, pemerintah Jepang mengumumkan bahwa mereka akan memperketat ekspor bahan kimia yang sangat penting bagi industri semikonduktor Korea Selatan. Hal ini menjadi awal mula semakin berlarutnya perselisihan antara kedua negara.

Hal ini membuat para eksportir Korsel harus meminta persetujuan otoritas terkait dalam setiap pengiriman bahan baku, termasuk bahan-bahan kimia yang membutuhkan waktu hingga 90 hari. Ini tentulah merugikan eksportir Korsel.

Banyak tudingan muncul pada Jepang. Namun Wakil Sekretaris Kabinet Jepang Yasutoshi Nishimura mengklarifikasi bahwa pembatasan itu demi alasan keamanan nasional terkait pembuatan senjata nuklir.

Tetapi Seoul menolak dengan tegas pembatasan ini. Korsel menilai pemerintah Jepang sengaja melakukan "pembalasan ekonomi" terhadap masalah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Korsel.

Korsel pun mengirimkan laporan pembatasan ekspor ini kepada World Trade Organization (WTO).

Saling Hapus Whitelist

Memasuki babak baru, pada 2 Agustus Jepang membuat keputusan untuk menghapus Korsel dari "daftar putih" atau whitelist, sebuah daftar yang mencakup negara-negara yang mendapat perlakuan khusus dalam perdagangan.

Keputusan ini akan mulai berlaku pada 28 Agustus 2019, 21 hari setelah dipublikasikan secara resmi di situs publikasi resmi Jepang. Atas hal tersebut, Korea Selatan menuduh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperlakukan negeri ginseng sebagai musuh.

"Perdana Menteri Abe berkomentar dua kali bahwa Korea tidak bisa dipercaya dan memperlakukan kami seperti musuh," kata Kim Hyun-chong, seorang pejabat keamanan nasional di Gedung Biru sebagaimana dilansir dari AFP.

Sebagai balasan atas perlakukan Jepang, pada 12 Agustus, Korsel mengumumkan mengeluarkan Jepang dari daftar mitra negara terfavorit. Keputusan itu akan berlaku mulai 1 September 2019 nanti

BERLANJUT KE HAL 3 Dampak ke Kedua Negara

Keputusan Jepang yang memberlakukan pengetatan ekspor ke negaranya, secara langsung memiliki dampak negatif terhadap perekonomian Korsel. Pasalnya, negara ini sangat bergantung pada ekspor.

Ekspor Korsel bahkan tercatat mengalami penurunan, anjlok sekitar 11% secara tahunan. Bank Sentral Korsel Bank of Korea kemudian secara tidak terduga melakukan pemangkasan suku bunga acuannya dari 1,75% menjadi 1,5% dan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi 2,2% dari sebelumnya 2,5%.

Dampak yang sama juga terjadi pada Jepang. Dalam industri otomotif, penjualan mobil Jepang di Korsel rata-rata menyusut pada bulan Juli.

Berdasarkan data dari Asosiasi Pemasok dan Distributor Korea (KAIDA) penjualan Toyota turun 32%, sedangkan penjualan Mobil Honda turun 34%. Kemudian Penjualan mobil Lexus, yang merupakan merek impor terbesar ketiga di Korsel setelah Mercedes dan BMW juga mengalami penurunan penjualan sebanyak 25% dari bulan sebelumnya, meski masih naik 33% dari tahun sebelumnya.

Pembatalan Kerja Sama Militer

Baru-baru ini, Korsel melalui Dewan Keamanan Nasional Istana Biru, memutuskan membatalkan pakta kesepakatan kerjasama berbagi intelijen dengan Jepang pada 22 Agustus. Kesepakatan tersebut dinamakan GSOMIA (General Security of Military Information Agreement/Perjanjian Informasi Militer Keamanan Umum), sebuah perjanjian yang memfasilitasi pembagian informasi tentang ancaman nuklir dan rudal Korea Utara.

Perjanjian itu ditandatangani oleh kedua negara pada 23 November 2016 dan otomatis diperpanjang, jika tidak ada satupun pihak yang ingin membatalkan perjanjian itu. Kim You-geun, Wakil Direktur Dewan Keamanan Nasional Korsel mengatakan bahwa Jepang telah melakukan 'perubahan besar' dalam lingkungan kerja sama keamanan bilateral sebagai akibat dari keputusan Jepang yang melakukan pengetatan ekspor.

Pejabat tersebut menyatakan kesepakatan kerja sama ini tidak lagi sejalan dengan kepentingan nasional kami. Pemerintah Jepang memprotes keras pernyataan tersebut. Perdana Menteri Shinzo Abe menyanyangkan keputusan sepihak Korsel, menurutnya seharusnya keputusan tersebut tidak boleh terjadi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular