
Duh 59 Pembangkit Listrik Panas Bumi Mangkrak, Ini Sebabnya!
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 August 2019 16:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha panas bumi mengakui pengembangan listrik berbasis geothermal di Indonesia terhitung lambat, karena skema tarif pembelian listrik yang masih menjadi tarik-ulur sehingga potensi 59 PLTP (pembangkit listrik panas bumi) belum bisa diberdayakan.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara IIGCE 2019 di Jakarta Convention Center mengritik lambatnya pengembangan PLTP, hingga membutuhkan nyaris 30 tahun untuk membangun PLTP Sarulla. Sampai dengan sekarang Indonesia baru bisa menghasilkan 2.000 MW listrik dari panas bumi.
Padahal potensi panas bumi sangat besar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada 59 proyek PLTP berkapasitas total 2.145 megawatt (MW) yang siap konstruksi tetapi belum memiliki Power Purchase Agreement (PPA). Di luar itu, sebanyak 14 proyek PLTP (825 MW) masih dalam proses negosiasi/amandemen PPA.
Direktur Utama GeoDipa Riki Ibrahim menilai kondisi ini terjadi karena belum ada titik temu mengenai skema feed in tariff (FiT) atau harga listrik berbasis panas bumi di Indonesia. Di satu sisi PLN ingin mematok tarif berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan listrik, di sisi lain pelaku usaha minta FiT hingga 30 tahun.
Dia menilai perlu jalan tengah mengenai tarif, dengan memberlakukan skema FiT sebagai insentif bagi pengembang energi hijau tersebut, tetapi dengan jangka waktu lebih pendek yakni hanya 10 tahun dan kemudian mengikuti BPP. Di satu sisi, skema ini memberi insentif bagi pemodal dan secara bersamaan tidak membebani keuangan PLN jangka panjang.
"BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang sudah cukup memberikan keuntungan wajar bagi pengembang panas bumi. Di samping itu juga mempertimbangkan masukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT 30 tahun," tuturnya kepada CNBC Indonesia di Universitas Darma Persada (Unsada) Jakarta, pada Kamis (15/8/2019).
Insentif, lanjutnya, diperlukan karena pada dasarnya energi hijau berbasis PLTP memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang besar dalam jangka panjang. Studi Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menyebutkan PLTP memerlukan investasi Rp 507,35 triliun (2020-2030), tetapi menghemat devisa negara Rp 39,2 triliun dan menambah penerimaan negara Rp 42,32 triliun per tahun ke depannya.
"Pemerintah diharapkan mempertimbangkan insentif pembangunan infrastruktur, insentif pencegahan risiko ekonomi, dan insentif lingkungan dengan total sekitar 9 sen dolar Amerika Serikat (AS) per kWh yang ditambah harga BPP PLN sebagai harga keekonomian proyek," tutur Riki yang juga menjadi pengajar di program Magister Energi Baru dan Terbarukan Unsada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Intip Banyaknya Harta Karun RI Terbesar ke-2 di Dunia
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara IIGCE 2019 di Jakarta Convention Center mengritik lambatnya pengembangan PLTP, hingga membutuhkan nyaris 30 tahun untuk membangun PLTP Sarulla. Sampai dengan sekarang Indonesia baru bisa menghasilkan 2.000 MW listrik dari panas bumi.
Direktur Utama GeoDipa Riki Ibrahim menilai kondisi ini terjadi karena belum ada titik temu mengenai skema feed in tariff (FiT) atau harga listrik berbasis panas bumi di Indonesia. Di satu sisi PLN ingin mematok tarif berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan listrik, di sisi lain pelaku usaha minta FiT hingga 30 tahun.
Dia menilai perlu jalan tengah mengenai tarif, dengan memberlakukan skema FiT sebagai insentif bagi pengembang energi hijau tersebut, tetapi dengan jangka waktu lebih pendek yakni hanya 10 tahun dan kemudian mengikuti BPP. Di satu sisi, skema ini memberi insentif bagi pemodal dan secara bersamaan tidak membebani keuangan PLN jangka panjang.
"BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang sudah cukup memberikan keuntungan wajar bagi pengembang panas bumi. Di samping itu juga mempertimbangkan masukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT 30 tahun," tuturnya kepada CNBC Indonesia di Universitas Darma Persada (Unsada) Jakarta, pada Kamis (15/8/2019).
Insentif, lanjutnya, diperlukan karena pada dasarnya energi hijau berbasis PLTP memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang besar dalam jangka panjang. Studi Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menyebutkan PLTP memerlukan investasi Rp 507,35 triliun (2020-2030), tetapi menghemat devisa negara Rp 39,2 triliun dan menambah penerimaan negara Rp 42,32 triliun per tahun ke depannya.
"Pemerintah diharapkan mempertimbangkan insentif pembangunan infrastruktur, insentif pencegahan risiko ekonomi, dan insentif lingkungan dengan total sekitar 9 sen dolar Amerika Serikat (AS) per kWh yang ditambah harga BPP PLN sebagai harga keekonomian proyek," tutur Riki yang juga menjadi pengajar di program Magister Energi Baru dan Terbarukan Unsada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Intip Banyaknya Harta Karun RI Terbesar ke-2 di Dunia
Most Popular