
Begini Nasib Manufaktur RI di Tengah Perang Dagang AS-China
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
13 August 2019 10:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menilai perang dagang yang masih terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China memberikan dampak negatif kepada perekonomian dunia. Dampak negatif itu terlihat dari perlambatan perekonomian, ekspor dan investasi yang turun signifikan.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, pada kuartal II investasi turun siginifikan, terutama investasi swasta yang hanya mampu tumbuh 3,07%, padahal biasanya bisa tumbuh di atas 7%. Ia menilai ini bukan hanya menjadi tantangan bagi Indonesia tapi juga negara berkembang lainnya.
"Jadi masalah di semua negara di emerging market yang terkena dampak trade war dan dampak volatalitas di pasar keuangan adalah melambatnya atau turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di ekspor. Ini dialami di banyak negara berkembang termasuk Indonesia," ujar Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
"Dengan ekspor melambat, permintaan produksi berkurang dan otomatis investasi berkurang dan akan menurunkan pendapatan devisa ekspor dan menurunkan pendapatan yang berakhir kepada konsumsi yang tidak akan setinggi dari yang diperkirakan," tambah Dody.
Menurutnya, perlu usaha untuk meningkatkan investasi terutama untuk industri manufaktur yang semakin loyo akibat dari tendensi dagang.
"Jadi masih banyak room investasi tumbuh. Mengapa tetap tumbuh rendah? sebab tidak lepas dari permintaan produksi sendiri yang juga relatif tidak setinggi kalau ekspor tumbuh," jelasnya.
Dody menekankan, dengan kondisi ini bisa terlihat bahwa permintaan domestik tidak terlepas dari kondisi ekspor. Oleh karenanya, diharapkan kebijakan global bisa memberikan hasil yang positif bagi perekonomian dunia meski tidak memberikan hasil yang maksimal.
"Jadi bagaimana dengan Indonesia, kita akan terus mencoba dorong sisi perekonomian tumbuh. Investasi sudah jadi salah satu agenda utama pemerintah, ekspor juga dan presiden berkali-kali katakan ekspor, ekspor dan investasi investasi," tegasnya.
Untuk itu, BI dan pemerintah akan terus berupaya untuk mendorong industri manufaktur domestik. Hal itu bertujuan agar investasi tidak hanya akan masuk untuk sektor infrastruktur tapi juga sektor manufaktur.
Apalagi sektor manufaktur berkontribusi paling besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal II-2019, Kementerian Perindustrian mencatat, andil manufaktur ke perekonomian sebesar 19,52%. Dari jumlah tersebut, terbesar disumbang oleh makana dan minuman, farmasi serta elektronik.
"Kami berharap sektor-sektor masih dapat menunjukkan kinerja yang menggembirakan di tengah tekanan perubahan ekonomi global dan perang perdagangan," ujar Dirjen Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi.
Bahkan, untuk memastikan kinerja dari sektor-sektor tersebut, Kementerian Perindustrian telah mengambil arah kebijakan yang strategis seperti industri 4.0. Dengan demikian, industri manufaktur diharapkan masih bisa akan tetap tumbuh dan membantu perekonomian.
"Inisiatif ini adalah untuk menjawab tantangan terhadap daya saing, memperkuat industri inti, dan lain-lain. Serta untuk mempercepat pertumbuhan industri hingga US$ 50 miliar pada tahun 2025," kata dia.
Untuk itu, akan ada lima sektor industri yang difokuskan pemerintah menjadi prioritas untuk ke depannya. Sektor tersebut dinilai akan memberikan nilai tambah melalui investasi.
"Ada lima sektor industri makanan dan minuman, pakaian tekstil, otomotif, elektronik, dan bahan kimia. Mereka dipilih karena mereka diyakini memiliki pengaruh dalam ukuran dan efek investasi terhadap industri lain," tegasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article AS dan Vietnam Lagi Ribut Dagang, Indonesia Bisa Cuan!
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, pada kuartal II investasi turun siginifikan, terutama investasi swasta yang hanya mampu tumbuh 3,07%, padahal biasanya bisa tumbuh di atas 7%. Ia menilai ini bukan hanya menjadi tantangan bagi Indonesia tapi juga negara berkembang lainnya.
"Jadi masalah di semua negara di emerging market yang terkena dampak trade war dan dampak volatalitas di pasar keuangan adalah melambatnya atau turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di ekspor. Ini dialami di banyak negara berkembang termasuk Indonesia," ujar Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Menurutnya, perlu usaha untuk meningkatkan investasi terutama untuk industri manufaktur yang semakin loyo akibat dari tendensi dagang.
"Jadi masih banyak room investasi tumbuh. Mengapa tetap tumbuh rendah? sebab tidak lepas dari permintaan produksi sendiri yang juga relatif tidak setinggi kalau ekspor tumbuh," jelasnya.
Dody menekankan, dengan kondisi ini bisa terlihat bahwa permintaan domestik tidak terlepas dari kondisi ekspor. Oleh karenanya, diharapkan kebijakan global bisa memberikan hasil yang positif bagi perekonomian dunia meski tidak memberikan hasil yang maksimal.
"Jadi bagaimana dengan Indonesia, kita akan terus mencoba dorong sisi perekonomian tumbuh. Investasi sudah jadi salah satu agenda utama pemerintah, ekspor juga dan presiden berkali-kali katakan ekspor, ekspor dan investasi investasi," tegasnya.
Untuk itu, BI dan pemerintah akan terus berupaya untuk mendorong industri manufaktur domestik. Hal itu bertujuan agar investasi tidak hanya akan masuk untuk sektor infrastruktur tapi juga sektor manufaktur.
Apalagi sektor manufaktur berkontribusi paling besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal II-2019, Kementerian Perindustrian mencatat, andil manufaktur ke perekonomian sebesar 19,52%. Dari jumlah tersebut, terbesar disumbang oleh makana dan minuman, farmasi serta elektronik.
"Kami berharap sektor-sektor masih dapat menunjukkan kinerja yang menggembirakan di tengah tekanan perubahan ekonomi global dan perang perdagangan," ujar Dirjen Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi.
Bahkan, untuk memastikan kinerja dari sektor-sektor tersebut, Kementerian Perindustrian telah mengambil arah kebijakan yang strategis seperti industri 4.0. Dengan demikian, industri manufaktur diharapkan masih bisa akan tetap tumbuh dan membantu perekonomian.
"Inisiatif ini adalah untuk menjawab tantangan terhadap daya saing, memperkuat industri inti, dan lain-lain. Serta untuk mempercepat pertumbuhan industri hingga US$ 50 miliar pada tahun 2025," kata dia.
Untuk itu, akan ada lima sektor industri yang difokuskan pemerintah menjadi prioritas untuk ke depannya. Sektor tersebut dinilai akan memberikan nilai tambah melalui investasi.
"Ada lima sektor industri makanan dan minuman, pakaian tekstil, otomotif, elektronik, dan bahan kimia. Mereka dipilih karena mereka diyakini memiliki pengaruh dalam ukuran dan efek investasi terhadap industri lain," tegasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article AS dan Vietnam Lagi Ribut Dagang, Indonesia Bisa Cuan!
Most Popular