Dear KPK, Ini Nilai Jumbo Transaksi Tambang Batu-Bara RI!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
01 August 2019 18:31
Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui tengah menaruh perhatian pada industri batu bara nasional.
Foto: Batu Bara (alfacentra.com)
Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui tengah menaruh perhatian pada industri batu bara nasional.

Kabarnya, ada dugaan beberapa perusahaan melakukan praktik transfer pricing dalam melakukan usahanya.

Sebagaimana yang telah diketahui, transfer pricing merupakan salah satu praktik yang biasanya dilakukan untuk mereduksi atau menghindari pembayaran royalti atau pajak kepada pemerintah setempat.



Namun sebesar apa sih industri batu bara di Indonesia, sehingga KPK sampai perlu untuk bertindak demi mengamankan potensi pendapatan negara?



Indonesia merupakan salah satu negara produsen batu bara utama dunia. Berdasarkan data tahun dari International Energy Agency (IEA), Indonesia menempati urutan kelima dari segi produksi. Adapun yang nomor satu adalah China, dengan produksi mencapai 1,7 miliar metrik ton di tahun 2016.

Hingga saat ini, pasar utama industri batu bara Indonesia adalah ekspor.

Data yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan bahwa total produksi batu bara pada tahun 2018 mencapai 584.58 juta ton. Sementara yang dikonsumsi oleh pasar domestik hanya sebesar 115 juta ton atau 20.9% saja.





Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total ekspor batu bara pada tahun 2018 mencapai 343 juta ton.

Itu artinya porsi ekspor mencapai 63% dari total produksi batu bara nasional. Sementara sekitar 16% dari produksi masih dicadangkan atau belum laku di pasaran.

Kondisi serupa terjadi pada tahun 2017, dimana total produksi mencapai 461,2 juta ton, sementara serapan domestik hanya 97 juta ton. BPS mencatat ekspor sebanyak 319 juta ton atau 69% dari total produksi.

Secara nilai juga tidak main-main.

Tahun 2018, total nilai transaksi ekspor batu bara mencapai US$ 20,63 miliar atau setara Rp 276 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 11,5% dari total ekspor Indonesia di tahun yang sama sebesar US$ 180 miliar.



Adapun pada tahun 2017 juga tidak berbeda jauh, dimana nilai ekspor batu bara mencapai US$ 17,87 miliar (10,6% dari total ekspor).

Dari data tersebut dapat dihitung bahwa harga rata-rata batu bara Indonesia yang diekspor adalah US$ 56/ton di tahun 2017 dan US$ 60,1/ton tahun 2018.

Ada perbedaan harga ekspor di tahun 2018 dan 2017. Hal itu disebabkan oleh pergerakan harga batu bara global.

Mengacu pada harga baru bara Newcastle, pada tahun 2017 rata-rata harganya sebesar US$ 87,3/ton. Sementara tahun 2018 sebesar US$ 105,73/ton. Batu bara Newcastle mengacu pada nilai kalori 6.000 kcal.





Perbedaan antara harga Newcastle dan batu bara ekspor Indonesia disebabkan adanya perbedaan nilai kalori. Selain itu ada pula faktor negosiasi sebelum transaksi.

Dengan nilai transaksi yang begitu besar, tentu saja negara juga akan mendapat bagian.

Hal itu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dimana pada pasal 33 disebutkan bahwa, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Atas penjualan batu bara, baik ekspor maupun domestik, perusahaan tambang harus membayar royalti kepada negara sebagai Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tercatat bahwa besaran PNPB atas penjualan hasil tambang batu bara tahun 2018 mencapai Rp 19,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2017 yang sebesar Rp 16,8 triliun. Artinya PNBP dari batu bara menyumbang sekitar 5%-an dari total PNBP Indonesia, yang pada tahun 2017 dan 2018 jumlahnya masing-masing sebesar Rp 311 triliun dan Rp 409 triliun.



Dalam hal pembayaran PNBP atas penjualan hasil tambang batu bara, dua emiten batu bara dengan kapitalisasi pasar terbesar merupakan penyumbang sepertiga dari totalnya.

Pada tahun 2017, PT Adaro Indonesia (ADRO) mencatat pembayaran royalti sebesar US$ 346 juta (Rp 4,6 triliun). Sementara PT Bayan Resources (BYAN) membayar royalti sebesar US$ 73,4 juta (Rp 976,2 miliar).

Adapun tahun 2018 ADRO dan BYAN membayar royalti masing-masing sebesar US$ 378 juta dan US$ 116,5 juta (Rp 5 triliun dan Rp 1,54 triliun).

Sebagai catatan, asumsi kurs yang digunakan sesuai dengan asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN):
2017 : Rp 13.300/US$
2018 : Rp 13.400/US$
2019 : Rp 15.000/US$

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Lagi, KPK Soroti Penjualan Batu Bara Tambang Raksasa RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular