Andai RI Seperti AS, Mustahil Tim Prabowo Masuk Pemerintahan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 July 2019 13:30
Andai RI Seperti AS, Mustahil Tim Prabowo Masuk Pemerintahan
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di MRT Jakarta (detikcom/Andhika)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilu 2019 sudah usai. Proses mencari keadilan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah dilalui. Hasilnya, pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sah menjadi pemimpin Indonesia 2019-2024. 

Setelah kontestasi yang panas selama kurang lebih setahun terakhir, kini mendingin. Prabowo Subianto, eks rival Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, sudah beberapa kali menjalin komunikasi positif. Mulai dari naik kereta Mass Rapid Transit (MRT) bersama Jokowi hingga bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. 

Jadi jangan heran isu merapatnya 'gerbong' Prabowo ke koalisi Jokowi semakin kencang. CNN Indonesia melaporkan, proses bergabungnya Partai Gerindra ke Koalisi Indonesia Kerja hampir mencapai 70%. 

Nama-nama kader yang semula berseberangan berseliweran untuk mengisi sejumlah pos di pemerintahan Jokowi-Amin. Misalnya Edhy Prabowo, Fadli Zon, hingga sang mantan calon wapres Prabowo, Sandiaga Salahuddin Uno. 



Well, inilah konsekuensi 'demokrasi kekeluargaan' a la Indonesia. Kubu pemenang Pemilu tidak mengambil semua, harus bagi-bagi termasuk dengan para mantan rival yang merapat. 

Kata orang tua kita, kekeluargaan, tepa selira, gotong royong, dan musyawarah-mufakat adalah watak orang Indonesia. Watak itu sepertinya terbawa ke semua sendi kehidupan, mulai dari mobil Multi Purpose Vehicle (MPV) yang bisa muat banyak jadi kendaraan terlaris sampai saling rangkul dalam politik. 

Prabowo, Gerindra, dan para mantan opisisi lainnya beruntung Indonesia tidak menganut sistem politik seperti Amerika Serikat (AS). Di Negeri Paman Sam, pemenang mendapat semua. The winner takes all, semua posisi dikuasai dan tidak ada ruang bagi oposisi kecuali di parlemen. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Meski terkesan serakah, sistem seperti di AS membuat presiden punya pilihan yang fokus untuk mengisi pos-pos di pemerintahan. Orang-orang pilihan presiden dari lingkup yang sempit siap menjadi pembantu. 

Presiden pun lebih leluasa dalam menentukan orang-orang di sekitarnya, tanpa cawe-cawe dari koalisi atau apalah namanya. Bahkan presiden bisa lebih leluasa memilih para profesional dari luar partai. Potensi membentuk zaken kabinet semakin besar.

Misalnya, Presiden Donald Trump memilih Steven Mnuchin sebagai Menteri Keuangan. Mnuchin adalah 'alumnus' Wall Street, pendiri Dune Capital Management.  

Jadi soal keuangan, lulusan Yale University ini memang ahli. Bukan sekadar teori, tetapi juga pemahaman praktis mengenai perilaku pasar. 

Kemudian Wilbur Ross, sang Menteri Perdagangan. Seperti halnya Mnuchin, Ross juga seorang profesional di bidang keuangan. Ross adalah pendiri perusahaan private equity WL Ross & Co. 

Tidak hanya para profesional di luar birokrasi, para pejabat karir di pemerintahan pun mendapat tempat yang layak. Misalnya Robert 'Bobby' Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS. Figur kunci di perundingan dagang AS-China ini sudah berada di Kantor Perwakilan Dagang AS sejak 1983.

Trump bisa menaruh orang-orang yang menurutnya layak untuk menempati posisi kunci di kabinet. Soal ada kepentingan terselubung (vested interest) atau tidak itu nanti, harus ada pembuktian secara legal-formal. Namun yang jelas Trump bisa lebih leluasa memilih pembantunya tanpa intervensi partai. 

Zaken kabinet. Istilah tersebut sering dipakai untuk menggambarkan kabinet impian, yang diisi oleh para profesional, bukan 'titipan' partai. 

Namun dengan 'demokrasi kekeluargaan' yang dianut oleh Indonesia, sepertinya zaken kabinet hanya sebuah utopia. Kabinet warna-warni dan yang sebisa mungkin menyenangkan semua pihak adalah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular