
Apa Kendaraan Listrik Ampuh Obati 'Penyakit' Defisit Migas?
Monica Wareza, CNBC Indonesia
28 July 2019 20:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom menilai penggunaan kendaraan listrik (electronic vehicle/EV) bisa menjadi salah satu langkah untuk mengurangi defisit energi, yakni minyak bumi dan gas. Namun perlu digarisbawahi bahwa EV ini juga akan menimbulkan defisit lainnya.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan efektivitas penggunaan EV masih dipertanyakan, sebab Indonesia dinilai masih belum siap dalam hal infrastruktur serta komponen kendaraan ini.
"Ketidakefektifan tentu saja harga vehicle yang ditawarkan masih terlampau mahal, seperti halnya produk Motor Gesit. Ini terjadi karena baterai masih impor, sementara infrastruktur yang dibangun juga mahal sekali," kata Tauhid di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Ekonom Faisal Basri menambahkan, meski penggunaan EV ini ditujukan untuk menekan defisit migas, namun tak bisa dibohongi bahwa nantinya justru akan menimbulkan defisit mobil dan baterai sebagai komponen utama dari kendaraan listrik. Produk dan komponen tersebut harus dibuat di Indonesia.
Dari sisi lain, secara administrasi, kata Tauhid, penggunaan EV ini belum dimasukkan dalam aturan pengenaan pajak daerah.
Selain itu, nikel, sebagai bahan baku baterai, yang diproduksi di dalam negeri saat ini justru diperuntukkan untuk ekspor ketimbang untuk pemenuhan dalam negeri.
"Di sisi lain, belum banyak perusahaan domestik, termasuk BUMN, melakukan investasi pionir untuk industri secara masif. Masih butuh waktu," jelas Tauhid.
Sedangkan Faisal juga menyebutkan bahwa meski penggunaan EV sudah masif, dominasi penggunaan bahan bakar fosil masih akan tetap besar.
"Jadi ringkasnya, mobil listrik sampai 2040 belum bisa meredam secara signifikan krisis energi. Jadi, yang jadi kunci utama adalah pembenahan migas di dalam negeri. Sampai 2040 dunia masih sangat bergantung pada minyak, gas, dan batu bara," kata Faisal.
Diperkirakan hingga akhir tahun ini nilai impor migas akan mencapai US$ 47 miliar-US$ 48 miliar, naik dari realisasi tahun lalu yang sebanyak US$ 47,04 miliar.
Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia.
(hoi/hoi) Next Article Mobil Listrik Siap Meluncur, Bagaimana Nasib B20 RI?
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan efektivitas penggunaan EV masih dipertanyakan, sebab Indonesia dinilai masih belum siap dalam hal infrastruktur serta komponen kendaraan ini.
"Ketidakefektifan tentu saja harga vehicle yang ditawarkan masih terlampau mahal, seperti halnya produk Motor Gesit. Ini terjadi karena baterai masih impor, sementara infrastruktur yang dibangun juga mahal sekali," kata Tauhid di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Ekonom Faisal Basri menambahkan, meski penggunaan EV ini ditujukan untuk menekan defisit migas, namun tak bisa dibohongi bahwa nantinya justru akan menimbulkan defisit mobil dan baterai sebagai komponen utama dari kendaraan listrik. Produk dan komponen tersebut harus dibuat di Indonesia.
Dari sisi lain, secara administrasi, kata Tauhid, penggunaan EV ini belum dimasukkan dalam aturan pengenaan pajak daerah.
Selain itu, nikel, sebagai bahan baku baterai, yang diproduksi di dalam negeri saat ini justru diperuntukkan untuk ekspor ketimbang untuk pemenuhan dalam negeri.
"Di sisi lain, belum banyak perusahaan domestik, termasuk BUMN, melakukan investasi pionir untuk industri secara masif. Masih butuh waktu," jelas Tauhid.
Sedangkan Faisal juga menyebutkan bahwa meski penggunaan EV sudah masif, dominasi penggunaan bahan bakar fosil masih akan tetap besar.
"Jadi ringkasnya, mobil listrik sampai 2040 belum bisa meredam secara signifikan krisis energi. Jadi, yang jadi kunci utama adalah pembenahan migas di dalam negeri. Sampai 2040 dunia masih sangat bergantung pada minyak, gas, dan batu bara," kata Faisal.
Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia.
(hoi/hoi) Next Article Mobil Listrik Siap Meluncur, Bagaimana Nasib B20 RI?
Most Popular