Mau Tak Mau, RI Masih Harus Impor Minyak 500 Ribu Barel

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
24 February 2022 14:48
lapangan migas, doc SKK Migas
Foto: lapangan migas, doc SKK Migas

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, terdapat ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan minyak mentah di tanah air, yang membuat pemerintah harus mengimpor hingga 500 ribu barel dari luar negeri.

Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara menjelaskan, saat ini produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari (bph). Sementara konsumsinya mencapai 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph.

"Ada gap yang besar, yang mana mau tidak mau harus impor," jelas Benny dalam Energy Outlook 2022 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022).

Pemerintah memiliki target produksi minyak sebesar 1 juta bph dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BCFD) pada 2030. Pun, kata Benny, jika target tersebut dapat tercapai ditambah adanya transisi energi, Indonesia masih mengalami defisit minyak 500.000 barel yang harus diimpor.

"Katakanlah nanti 2030 dapat mencapai produksi 1 juta bph dengan asumsi adanya transisi energi, ini konsumsi minyak growth tidak ada, kita masih ada defisit di atas 500.000 barel yang mau tidak mau harus kita impor," jelasnya.

Adapun dari sisi gas, di masa transisi energi ini, konsentrasi pemerintah masih berada pada ketersediaan/supply dan permintaan/demand. Pasalnya potensi pasokan gas lebih banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, sementara permintaan didominasi di Indonesia bagian Barat.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tantangan dari sisi infrastruktur. "Bagaimana manage mismatch adanya lokasi sumber daya dan sumber demand."

Oleh karena itu, dalam menjalani sektor hulu migas di tengah masa transisi energi ramah lingkungan, target-target yang harus dicapai harus diperhitungkan dengan matang. Karena investasi di hulu migas diproyeksikan akan menurun.

Investor akan mengalihkan belanja modalnya ke sektor ramah lingkungan. Negara-negara produsen migas seperti Indonesia mau tidak mau juga harus bersaing dengan negara lain yang memiliki insentif fiskal yang lebih menarik.

"Ketika ternyata demand itu ternyata tidak turun, karena implementasi transisi energi ini gak semulus berjalan sesuai yang diprediksikan. Ini harus antisipasi naiknya harga komoditas di era transisi energi ini," jelas Benny.

Belum lagi adanya tensi geopolitik yang saat ini tengah melanda Rusia dan Ukraina yang mendorong naiknya harga komoditas seperti migas.

Menarik investor untuk berinvestasi di hulu migas pun, kata Benny menjadi lebih menantang. Dan diharapkan, pemerintah memiliki perbaikan kebijakan yang radikal, mulai dari iklim investasi , insentif yang menarik, dan sebagainya.

"Kita berharap supaya ada perbaikan-perbaikan yang radikal. Khususnya dari daya tarik fiskal hulu migas, supaya investor tertarik datang," jelasnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Ramalan SKK Migas Soal Harga Minyak, Simak!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular