
Periode Kedua Jokowi, Ayo Lupakan Pertumbuhan Ekonomi 7%!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 July 2019 10:18

Bukan apa-apa, pertumbuhan ekonomi tinggi memang sudah bukan masanya lagi bahkan untuk negara berkembang. China saja harus menerima kenyataan pahit, di mana keseimbangan baru pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6%. Sudah bukan zamannya lagi ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh dua digit.
Bahkan menurut proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi China akan mengarah ke angka 5% pada tahun-tahun mendatang. Pada 2024, ekonomi China diramal tumbuh 5,5%.
Tantangan yang membentang memang tidak mudah. Belum ada kepastian kapan perang dagang AS-China akan berakhir.
Memang saat ini situasi sedang kondusif, pekan depan dikabarkan delegasi AS akan bertandang ke China untuk melanjutkan perundingan menuju damai dagang. Namun kita tahu bahwa hubungan AS-China sempat memanas pada Mei, padahal sebelumnya mesra. Bukan tidak mungkin kejadian seperti itu terulang kembali sehingga damai dagang AS-China tak kunjung terwujud.
Perang dagang AS-China bukan hanya berdampak kepada dua negara itu, tetapi mengglobal. Ingat, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi.
Kala keduanya saling hambat, maka rantai pasok global (global supply chain) akan terpengaruh. Arus perdagangan dan investasi melambat, ekonomi global kurang gairah.
Masalah juga akan timbul jika ekonomi Indonesia masih menggantungkan diri kepada komoditas, khususnya minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara. Dua komoditas tersebut semakin sepi peminat, salah satunya karena isu lingkungan.
Baca:
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?
Berbagai lembaga keuangan sudah enggan memberikan pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batu bara karena polusi. China juga mulai menutup tambang-tambang batu bara tua, juga karena faktor polusi.
Sementara CPO mendapat tentangan di Uni Eropa karena sentimen deforestasi. Semakin sulit untuk menjual CPO ke luar negeri jika semakin banyak negara yang mengangkat isu ini. Ekspor Indonesia akan terpukul sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sejauh ekspor Indonesia masih bergantung kepada 'duet maut' batu bara dan CPO, maka tantangannya tidak akan ringan. Oleh karena itu, Indonesia harus mengubah struktur perekonomian dari berbasis komoditas menjadi manufaktur. Deindustrialisasi harus dibalik menjadi reindustrialisasi.
Namun proses reindustrialisasi butuh waktu, tenaga, dana, dan yang paling penting komitmen kuat. Tidak bisa cepat, sehingga sepertinya dalam waktu dekat Indonesia masih akan mengandalkan penjualan komoditas.
Dua contoh itu menjadi tantangan besar dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi. Positifnya, sepertinya pemerintah sudah mulai menyadari tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Jadi lupakan saja angka 7%. Tidak masuk, Pak Eko...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Bahkan menurut proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi China akan mengarah ke angka 5% pada tahun-tahun mendatang. Pada 2024, ekonomi China diramal tumbuh 5,5%.
Memang saat ini situasi sedang kondusif, pekan depan dikabarkan delegasi AS akan bertandang ke China untuk melanjutkan perundingan menuju damai dagang. Namun kita tahu bahwa hubungan AS-China sempat memanas pada Mei, padahal sebelumnya mesra. Bukan tidak mungkin kejadian seperti itu terulang kembali sehingga damai dagang AS-China tak kunjung terwujud.
Perang dagang AS-China bukan hanya berdampak kepada dua negara itu, tetapi mengglobal. Ingat, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi.
Kala keduanya saling hambat, maka rantai pasok global (global supply chain) akan terpengaruh. Arus perdagangan dan investasi melambat, ekonomi global kurang gairah.
Masalah juga akan timbul jika ekonomi Indonesia masih menggantungkan diri kepada komoditas, khususnya minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara. Dua komoditas tersebut semakin sepi peminat, salah satunya karena isu lingkungan.
Baca:
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?
Berbagai lembaga keuangan sudah enggan memberikan pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batu bara karena polusi. China juga mulai menutup tambang-tambang batu bara tua, juga karena faktor polusi.
Sementara CPO mendapat tentangan di Uni Eropa karena sentimen deforestasi. Semakin sulit untuk menjual CPO ke luar negeri jika semakin banyak negara yang mengangkat isu ini. Ekspor Indonesia akan terpukul sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sejauh ekspor Indonesia masih bergantung kepada 'duet maut' batu bara dan CPO, maka tantangannya tidak akan ringan. Oleh karena itu, Indonesia harus mengubah struktur perekonomian dari berbasis komoditas menjadi manufaktur. Deindustrialisasi harus dibalik menjadi reindustrialisasi.
Namun proses reindustrialisasi butuh waktu, tenaga, dana, dan yang paling penting komitmen kuat. Tidak bisa cepat, sehingga sepertinya dalam waktu dekat Indonesia masih akan mengandalkan penjualan komoditas.
Dua contoh itu menjadi tantangan besar dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi. Positifnya, sepertinya pemerintah sudah mulai menyadari tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Jadi lupakan saja angka 7%. Tidak masuk, Pak Eko...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Pages
Most Popular