Periode Kedua Jokowi, Ayo Lupakan Pertumbuhan Ekonomi 7%!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 July 2019 10:18
Periode Kedua Jokowi, Ayo Lupakan Pertumbuhan Ekonomi 7%!
Presiden Joko Widodo (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sudah menyiapkan rencana pembangunan untuk periode 2020-2024, masa pemerintahan kedua bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk periode kedua, mari lupakan soal pertumbuhan ekonomi 7% seperti yang dijanjikan Jokowi pada masa kampanye 2014. 

Mengutip dokumen Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pertumbuhan ekonomi pada akhir masa jabatan Jokowi diperkirakan paling banter di angka 6,5%. Sementara proyeksi paling pesimistis adalah 5,5%. 

Sedangkan skenario paling optimistis menempatkan perkiraan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun selama 2020-2024 adalah 6%. Kemudian perkiraan paling rendah berada di 5,4%. 

 

Pada masa kampanye 2014, Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7%. Entah itu rata-rata per tahun atau pada akhir masa jabatan periode pertama yang berakhir tahun ini.  

Apa pun itu, mau rata-rata atau pada akhir masa jabatan, target 7% jauh panggang dari api. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) beberapa waktu lalu memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 paling mentok 5,3%. 

Jadi jelas bahwa kalau dilihat dari sisi masa akhir jabatan periode pertama Jokowi, pertumbuhan ekonomi 'hanya' maksimal 5,3%. Kalau dilihat dari rata-rata sejak 2014 lebih parah lagi, yaitu 5,08%. 

 

Baca:
Janji Ekonomi 7% Jokowi Tak Tercapai, Salahnya di Mana?

Memang sulit untuk membaca arah perekonomian lima tahun ke depan. Namun sepertinya pemerintah mulai realistis dan enggan memasang target terlampau muluk. 

Berdasarkan kajian Oxford Economics, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir masa jabatan kedua Jokowi atau 2024 adalah 5,18%. Sementara rata-rata per tahun ada di 5,22%. Pemerintah masih sedikit lebih pede. 

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Bukan apa-apa, pertumbuhan ekonomi tinggi memang sudah bukan masanya lagi bahkan untuk negara berkembang. China saja harus menerima kenyataan pahit, di mana keseimbangan baru pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6%. Sudah bukan zamannya lagi ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh dua digit. 

Bahkan menurut proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi China akan mengarah ke angka 5% pada tahun-tahun mendatang. Pada 2024, ekonomi China diramal tumbuh 5,5%. 

 

Tantangan yang membentang memang tidak mudah. Belum ada kepastian kapan perang dagang AS-China akan berakhir.  

Memang saat ini situasi sedang kondusif, pekan depan dikabarkan delegasi AS akan bertandang ke China untuk melanjutkan perundingan menuju damai dagang. Namun kita tahu bahwa hubungan AS-China sempat memanas pada Mei, padahal sebelumnya mesra. Bukan tidak mungkin kejadian seperti itu terulang kembali sehingga damai dagang AS-China tak kunjung terwujud. 

Perang dagang AS-China bukan hanya berdampak kepada dua negara itu, tetapi mengglobal. Ingat, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi.  

Kala keduanya saling hambat, maka rantai pasok global (global supply chain) akan terpengaruh. Arus perdagangan dan investasi melambat, ekonomi global kurang gairah. 

Masalah juga akan timbul jika ekonomi Indonesia masih menggantungkan diri kepada komoditas, khususnya minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara. Dua komoditas tersebut semakin sepi peminat, salah satunya karena isu lingkungan. 

Baca:
Apa Salah Jokowi Jika Ekonomi RI Tak Penuhi Janji Manis 7%?

Berbagai lembaga keuangan sudah enggan memberikan pinjaman untuk pembangkit listrik tenaga batu bara karena polusi. China juga mulai menutup tambang-tambang batu bara tua, juga karena faktor polusi. 

Sementara CPO mendapat tentangan di Uni Eropa karena sentimen deforestasi. Semakin sulit untuk menjual CPO ke luar negeri jika semakin banyak negara yang mengangkat isu ini. Ekspor Indonesia akan terpukul sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

Sejauh ekspor Indonesia masih bergantung kepada 'duet maut' batu bara dan CPO, maka tantangannya tidak akan ringan. Oleh karena itu, Indonesia harus mengubah struktur perekonomian dari berbasis komoditas menjadi manufaktur. Deindustrialisasi harus dibalik menjadi reindustrialisasi. 

Namun proses reindustrialisasi butuh waktu, tenaga, dana, dan yang paling penting komitmen kuat. Tidak bisa cepat, sehingga sepertinya dalam waktu dekat Indonesia masih akan mengandalkan penjualan komoditas. 

Dua contoh itu menjadi tantangan besar dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi. Positifnya, sepertinya pemerintah sudah mulai menyadari tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Jadi lupakan saja angka 7%. Tidak masuk, Pak Eko...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular