Janji Ekonomi 7% Jokowi Tak Tercapai, Salahnya di Mana?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
09 July 2019 10:04
Data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis BPS di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang kurang begitu menggembirakan.
Foto: Sekretariat Kabinet
Jakarta, CNBC Indonesia - Data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang kurang begitu menggembirakan.

Selama Jokowi menjabat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,04% per tahun. Capaian tersebut layak diapresiasi, mengingat berhasil digapai di tengah dinamika ketidakpastian ekonomi global.

Namun, apabila kita berkaca 5 tahun lalu, terutama saat Jokowi maju sebagai calon presiden, angka pertumbuhn 7% dianggap pada saat itu bukan sesuatu yang sulit untuk direalisasikan.

Bahkan, pada tahun ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memperkirakan, tingkat pertumbuhan maksimal dengan 'extra effort' yakni melakukan segala sesuatunya dengan 100%, hanya 5,3%.


"Sulit sekali untuk tumbuh di atas itu," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.

Berdasarkan diagnosa yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas, salah satu yang menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor regulasi dan institusi.

Birokrasi pemerintahan dianggap belum cukup handal dalam memudahkan investasi masuk, ditambah dengan regulasi di berbagai kementerian yang implementasinya kerap kali membuat investor geleng-geleng kepala.

Kepala Ekonom BCA David Sumual tak memungkiri, persoalan tersebut tak lepas dari struktur kelembagaan di pemerintahan yang terlalu masif. Hal ini membuat fungsi koordinasi menjadi lebih sulit.

"Ada studi yang mengatakan, bahwa kesejahteraan atau tingkat pendapatan perkapita itu berhubungan erat engan posisi atau jumlah menteri dalam suatu pemerintahan," kata David saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (9/7/2019).

Davide Castelvecci, seorang pakar sistem organisasi dalam majalah Science News berjudul The Undeciders pernah mengatakan bahwa semakin banyak pengambil keputusan, justru akan membawa inefisiensi.

"Para peneliti telah menemukan korelasi terbalik antara tingkat pembangunan suatu negara dengan ukuran sebuah kabinet. Semakin berkembang suatu negara, semakin kecil kabinetnya," tulis Castelvecci.

Birokrasi yang saat ini dimiliki Indonesia, terbilang cukup tambun. Di era pemerintahan Jokowi, setidaknya ada 34 kementerian dan 8 pejabat setingkat menteri. Jumlah yang terbilang cukup gemuk.

Lantas, bagaimana dengan negara lain? David tak memungkiri, jumlah menteri di kebanyakan negara berkembang memang jauh lebih besar ketimbang negara-negara maju.

Jepang misalnya, hanya ada 11 kementerian, Amerika Serikat (AS) 15 kementerian, Russia 20 kementerian, Brasil 24 kementerian. Bahkan, negara seperti China sudah memangkas struktur pemerintahannya dari 29 menjadi 26.

"Ini yang membuat kebijakan internal di pemerintahan agak lambat, karena saat ini masih ada masalah klasik seperti investor yang lama perizinan, birokrasi yang berbelit, dan koordinasi yang tidak sinkron," kata David.

Menurut David, masalah gemuknya birokrasi sudah menjadi persoalan klasik sejak dulu. Salah satu faktor hal tersebut belum bisa dibenahi secara utuh, tak lain karena situasi politik suatu negara.

"Karena di situ ada faktor politik yang memengaruhi. Makin banyak, biasanya makin baik," katanya.


(roy/roy) Next Article Ekonomi Melambat 5,02%, Jokowi: Jangan Kufur Nikmat!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular