
Chevron Hengkang dari Proyek IDD, RI-AS Bisa Panas Dingin?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
24 July 2019 07:46

Jika pemerintah benar-benar mendepak Chevron dari proyek IDD, maka ada kemungkinan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) bisa agak tegang.
Pasalnya, proyek migas dan mineral merupakan proyek yang erat kaitannya dengan hubungan politik suatu negara. Dalam hal ini, Chevron merupakan raksasa migas asal Negeri Paman Sam.
Mungkin kita masih ingat dengan proses alot negosiasi Blok migas Mahakam dengan pihak operator, Total (Prancis) dan Inpex (Jepang).
Pada akhir Desember 2017, kontrak Total dan Inpex atas pengelolaan Blok Mahakam habis, sesuai dengan jadwal. Kedua perusahaan tersebut telah mengelola blok migas terbesar tersebut selama 50 tahun sebelumnya.
Pemerintah pun berencana mengalihkan operator kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), yang mana merupakan anak perusahaan PT Pertamina.
Namun pada Maret 2017 atau sembilan bulan sebelum kontrak berakhir, Presiden Prancis saat itu Francois Hollande datang sendiri ke Indonesia. Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Meskipun pemerintah membantah, namun kunjungan Hollande ke Indonesia menjadi sinyal keseriusan Prancis untuk bekerja sama dengan Indonesia. Melalui Total salah satunya.
Maka dari itu, hubungan baik Indonesia dengan AS berisiko meregang jika Chevron benar-benar 'ditendang'.
Terlebih saat ini, pucuk pimpinan AS dipegang oleh Donald Trump yang terkenal gemar melakukan kebijakan yang 'protektif'.
Salah satu yang paling santer adalah perang dagang dengan China, dimana Trump mengenakan tarif pada produk impor asa China senilai US$ 200 miliar. Alasan pengenaan tarif tersebut adalah defisit perdagangan yang cukup besar dengan China.
Risiko itulah yang harus dihadapi Indonesia. Terlebih saat ini AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Pada tahun 2018, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan hingga US$ 8,56 miliar dengan AS. Itu merupakan surplus terbesar kedua diantara perdagangan Indonesia dengan negara lain. Sedikit lebih kecil dibanding surplus dengan India yang sebesar SU$ 8,7 miliar.
Tentu saja pertimbangan perdagangan bukan hal yang bisa dianggap enteng, terlebih dengan negara dimana Indonesia mendapatkan keuntungan.
Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menekankan pentingnya menggenjot ekspor agar neraca transaksi berjalan Indonesia bisa terangkat. Hal itu sangat diperlukan karena transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan dalam negeri.
Sebagai contoh, sejak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) muncul per akhir 2011, nilai tukar rupiah memiliki kecenderungan untuk terus melemah. Hingga saat ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >>> (taa/gus)
Pasalnya, proyek migas dan mineral merupakan proyek yang erat kaitannya dengan hubungan politik suatu negara. Dalam hal ini, Chevron merupakan raksasa migas asal Negeri Paman Sam.
Mungkin kita masih ingat dengan proses alot negosiasi Blok migas Mahakam dengan pihak operator, Total (Prancis) dan Inpex (Jepang).
Pemerintah pun berencana mengalihkan operator kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), yang mana merupakan anak perusahaan PT Pertamina.
Namun pada Maret 2017 atau sembilan bulan sebelum kontrak berakhir, Presiden Prancis saat itu Francois Hollande datang sendiri ke Indonesia. Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Meskipun pemerintah membantah, namun kunjungan Hollande ke Indonesia menjadi sinyal keseriusan Prancis untuk bekerja sama dengan Indonesia. Melalui Total salah satunya.
Maka dari itu, hubungan baik Indonesia dengan AS berisiko meregang jika Chevron benar-benar 'ditendang'.
Terlebih saat ini, pucuk pimpinan AS dipegang oleh Donald Trump yang terkenal gemar melakukan kebijakan yang 'protektif'.
Salah satu yang paling santer adalah perang dagang dengan China, dimana Trump mengenakan tarif pada produk impor asa China senilai US$ 200 miliar. Alasan pengenaan tarif tersebut adalah defisit perdagangan yang cukup besar dengan China.
Risiko itulah yang harus dihadapi Indonesia. Terlebih saat ini AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
![]() |
Pada tahun 2018, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan hingga US$ 8,56 miliar dengan AS. Itu merupakan surplus terbesar kedua diantara perdagangan Indonesia dengan negara lain. Sedikit lebih kecil dibanding surplus dengan India yang sebesar SU$ 8,7 miliar.
Tentu saja pertimbangan perdagangan bukan hal yang bisa dianggap enteng, terlebih dengan negara dimana Indonesia mendapatkan keuntungan.
Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menekankan pentingnya menggenjot ekspor agar neraca transaksi berjalan Indonesia bisa terangkat. Hal itu sangat diperlukan karena transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan dalam negeri.
Sebagai contoh, sejak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) muncul per akhir 2011, nilai tukar rupiah memiliki kecenderungan untuk terus melemah. Hingga saat ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >>> (taa/gus)
Next Page
Tambahan Produksi Migas Diperlukan
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular