Hantu Shortfall Masih Penasaran, Amankah Diusir Pakai Utang?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 July 2019 11:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memperkirakan penerimaan negara pada tahun ini lagi-lagi tidak mencapai target. Sesuatu yang terus terjadi selama kurang lebih satu dekade terakhir.
Pemerintah telah mengeluarkan prognosis penerimaan perpajakan di 2019. Penerimaan pajak diramal tidak mencapai target atau shortfall hingga Rp 140 triliun tahun ini.
Shortfall adalah kondisi di mana realisasi penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I-2019, realisasi pendapatan pajak (tidak termasuk pendapatan kepabeanan dan cukai) hingga akhir Juni 2019 adalah Rp 603,3 triliun atau hanya 38,2% dari target APBN.
Kali terakhir penerimaan pajak mencapai target adalah pada 2008, bahkan lebih dari target. Saat itu, kebijakan sunset policy a la Darmin Nasution (kini Menko Perekonomian) sukses membawa penerimaan pajak 106,84% dari target.
Sebenarnya shortfall di sisi penerimaan menjadi tidak masalah karena toh belanja negara tidak optimal. Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi belanja negara sampai akhir 2019 adalah Rp 2.340,5 triliun atau 95,1% dari target. Kalau mau dirupiahkan berarti Rp 120,6 triliun.
Hitungan bodoh-bodohan, pemerintah tinggal mencari kekurangan sekitar Rp 20 triliun untuk membiayai belanja negara. Sekali lelang obligasi selesai masalah.
Ya, utang memang menjadi semacam obat pereda rasa sakit bagi penerimaan negara yang terus sulit mencapai target. Utang menjadi jaminan bahwa pemerintah tetap bisa menjalankan tugasnya meski penerimaan negara masih seret.
Utang bukan sesuatu yang salah. Bahkan yang salah adalah jika pemerintah sampai tidak bisa menjalankan tugasnya karena kekurangan uang. Tidak cuma pemerintah, pengusaha dan rumah tangga pun berutang kok.
Lagi pula, hitung-hitungan utang Indonesia masih sangat aman. Meski ada shortfall penerimaan, tetapi pemerintah memperkirakan defisit anggaran tetap terjaga di angka 1,93% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jauh dari batas atas yang ditetapkan UU Keuangan Negara yaitu 3% PDB.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga sangat jauh dari kata berbahaya. Saat ini, rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30%. Sedangkan batas aman di UU Keuangan Negara adalah 60%.
Jadi selagi pemerintah berbenah untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, tidak ada salahnya berpaling kepada utang. Pokoknya asal dipakai untuk hal-hal produktif dan membuat pemerintahan tetap berjalan, utang bukan sebuah kesalahan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, bukan berarti utang juga tanpa risiko. Saat ini, utang pemerintah sudah berada di kisaran Rp 4.000 triliun. Walau rasio terhadap PDB masih aman, tetapi nominalnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apalagi utang itu harus dibayar. Setiap tahunnya, APBN menganggarkan ratusan triliun rupiah untuk membayar bunga utang. Dana sebesar itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun infrastruktur atau kesejahteraan rakyat.
Kemudian, apakah ada jaminan utang yang ditarik dipakai untuk hal-hal yang produktif? Hmm, belum tentu juga sih...
Dalam kurun 2014-2018, belanja dengan pertumbuhan tercepat adalah belanja barang yaitu 15,78% per tahun. Jika pertumbuhan belanja barang menjadi yang tertinggi, maka bisa jadi APBN banyak terpakai untuk hal-hal rutin seperti pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, dan sejenisnya.
Sementara belanja modal, pengeluaran yang produktif seperti untuk pembangunan infrastruktur, rata-rata hanya tumbuh 3,54% per tahun selama 2014-2018. Jadi belanja negara secara umum (yang sebagian dibiayai oleh utang) belum terlalu termanfaatkan untuk hal-hal yang produktif.
Baca:
Utang Pemerintah Rp 4.570 T, Dipakai Buat Apa Sih?
Kemudian, penarikan utang secara masif, apalagi melalui penerbitan obligasi, bisa memicu crowding out effect. Pasokan obligasi di pasar terlalu banyak, karena ada pula yang diterbitkan oleh korporasi, sehingga terjadi perang suku bunga.
Obligasi korporasi, yang secara natural memiliki risiko lebih tinggi ketimbang surat utang pemerintah, harus rela menanggung kupon lebih mahal. Biaya dana korporasi akan membengkak sehingga menyulitkan mereka untuk berekspansi. Dalam kasus perbankan, suku bunga kredit bisa-bisa bakal sulit turun kalau biaya dana sudah mahal dari awal.
Ditambah lagi secara politik, yang namanya utang selalu sensitif. Pemerintah akan sulit tidur dengan tenang karena suara-suara minor soal utang selalu membayangi.
Bahkan pada 2016, DPR sempat berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti masalah utang yang dinilai sudah berlebihan. "Jika ternyata utang tidak memberi nilai tambah, maka lebih baik dihentikan," ujar Ahmadi Noor Supit, Ketua Komisi XI DPR kala itu, mengutip detikFinance.
Kesimpulannya, utang memang tidak salah. Apalagi utang digunakan untuk menambal shortfall sehingga bisa menjaga kesinambungan kerja pemerintah.
Namun ada baiknya pemerintah juga bijak dalam menarik utang. Harus dipastikan utang dipakai untuk hal-hal yang produktif, menggerakkan perekonomian secara keseluruhan, bukan terpusat di belanja barang.
Terus menumpuk utang juga tidak aman, tidak sehat, dan menghambat kesempatan sektor swasta untuk mengakses pendanaan dari pasar. Selain itu, jangan lupakan risiko politik yang tidak enteng.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Pajak Sudah Lampu Kuning?
Pemerintah telah mengeluarkan prognosis penerimaan perpajakan di 2019. Penerimaan pajak diramal tidak mencapai target atau shortfall hingga Rp 140 triliun tahun ini.
Shortfall adalah kondisi di mana realisasi penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I-2019, realisasi pendapatan pajak (tidak termasuk pendapatan kepabeanan dan cukai) hingga akhir Juni 2019 adalah Rp 603,3 triliun atau hanya 38,2% dari target APBN.
Kali terakhir penerimaan pajak mencapai target adalah pada 2008, bahkan lebih dari target. Saat itu, kebijakan sunset policy a la Darmin Nasution (kini Menko Perekonomian) sukses membawa penerimaan pajak 106,84% dari target.
Sebenarnya shortfall di sisi penerimaan menjadi tidak masalah karena toh belanja negara tidak optimal. Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi belanja negara sampai akhir 2019 adalah Rp 2.340,5 triliun atau 95,1% dari target. Kalau mau dirupiahkan berarti Rp 120,6 triliun.
Hitungan bodoh-bodohan, pemerintah tinggal mencari kekurangan sekitar Rp 20 triliun untuk membiayai belanja negara. Sekali lelang obligasi selesai masalah.
Ya, utang memang menjadi semacam obat pereda rasa sakit bagi penerimaan negara yang terus sulit mencapai target. Utang menjadi jaminan bahwa pemerintah tetap bisa menjalankan tugasnya meski penerimaan negara masih seret.
Utang bukan sesuatu yang salah. Bahkan yang salah adalah jika pemerintah sampai tidak bisa menjalankan tugasnya karena kekurangan uang. Tidak cuma pemerintah, pengusaha dan rumah tangga pun berutang kok.
Lagi pula, hitung-hitungan utang Indonesia masih sangat aman. Meski ada shortfall penerimaan, tetapi pemerintah memperkirakan defisit anggaran tetap terjaga di angka 1,93% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jauh dari batas atas yang ditetapkan UU Keuangan Negara yaitu 3% PDB.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga sangat jauh dari kata berbahaya. Saat ini, rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30%. Sedangkan batas aman di UU Keuangan Negara adalah 60%.
Jadi selagi pemerintah berbenah untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak, tidak ada salahnya berpaling kepada utang. Pokoknya asal dipakai untuk hal-hal produktif dan membuat pemerintahan tetap berjalan, utang bukan sebuah kesalahan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, bukan berarti utang juga tanpa risiko. Saat ini, utang pemerintah sudah berada di kisaran Rp 4.000 triliun. Walau rasio terhadap PDB masih aman, tetapi nominalnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apalagi utang itu harus dibayar. Setiap tahunnya, APBN menganggarkan ratusan triliun rupiah untuk membayar bunga utang. Dana sebesar itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun infrastruktur atau kesejahteraan rakyat.
Kemudian, apakah ada jaminan utang yang ditarik dipakai untuk hal-hal yang produktif? Hmm, belum tentu juga sih...
Dalam kurun 2014-2018, belanja dengan pertumbuhan tercepat adalah belanja barang yaitu 15,78% per tahun. Jika pertumbuhan belanja barang menjadi yang tertinggi, maka bisa jadi APBN banyak terpakai untuk hal-hal rutin seperti pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, dan sejenisnya.
Sementara belanja modal, pengeluaran yang produktif seperti untuk pembangunan infrastruktur, rata-rata hanya tumbuh 3,54% per tahun selama 2014-2018. Jadi belanja negara secara umum (yang sebagian dibiayai oleh utang) belum terlalu termanfaatkan untuk hal-hal yang produktif.
Baca:
Utang Pemerintah Rp 4.570 T, Dipakai Buat Apa Sih?
Kemudian, penarikan utang secara masif, apalagi melalui penerbitan obligasi, bisa memicu crowding out effect. Pasokan obligasi di pasar terlalu banyak, karena ada pula yang diterbitkan oleh korporasi, sehingga terjadi perang suku bunga.
Obligasi korporasi, yang secara natural memiliki risiko lebih tinggi ketimbang surat utang pemerintah, harus rela menanggung kupon lebih mahal. Biaya dana korporasi akan membengkak sehingga menyulitkan mereka untuk berekspansi. Dalam kasus perbankan, suku bunga kredit bisa-bisa bakal sulit turun kalau biaya dana sudah mahal dari awal.
Ditambah lagi secara politik, yang namanya utang selalu sensitif. Pemerintah akan sulit tidur dengan tenang karena suara-suara minor soal utang selalu membayangi.
Bahkan pada 2016, DPR sempat berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti masalah utang yang dinilai sudah berlebihan. "Jika ternyata utang tidak memberi nilai tambah, maka lebih baik dihentikan," ujar Ahmadi Noor Supit, Ketua Komisi XI DPR kala itu, mengutip detikFinance.
Kesimpulannya, utang memang tidak salah. Apalagi utang digunakan untuk menambal shortfall sehingga bisa menjaga kesinambungan kerja pemerintah.
Namun ada baiknya pemerintah juga bijak dalam menarik utang. Harus dipastikan utang dipakai untuk hal-hal yang produktif, menggerakkan perekonomian secara keseluruhan, bukan terpusat di belanja barang.
Terus menumpuk utang juga tidak aman, tidak sehat, dan menghambat kesempatan sektor swasta untuk mengakses pendanaan dari pasar. Selain itu, jangan lupakan risiko politik yang tidak enteng.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Pajak Sudah Lampu Kuning?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular