
Laba Ditahan Bakal Kena Pajak, Investasi Terancam 'Punah'?
Taufan Adharsyah & Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
19 July 2019 14:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana perihal pajak atas laba ditahan (retained earnings) dan harta warisan kembali mencuat.
Sebenarnya wacana pengenaan pajak tersebut sudah muncul sejak pertengahan tahun lalu. Pada Juli 2018, Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan mengaku pengenaan pajak atas dua komponen tersebut tengah dibahas. Nantinya, aturan baru tersebut akan dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PP PPh).
Saat ini, rencana atas peraturan tersebut tengah disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait.
Pajak Laba Ditahan
Sebagai informasi, konsep dasar laba ditahan adalah selisih antara laba bersih perusahaan dengan pembayaran deviden kepada pemegang saham.
Biasanya dana tersebut menjadi salah satu sumber modal kerja perusahaan untuk menjalankan aktivitas operasional di tahun berikutnya.
Dalam hal penarikan pajak, pemerintah mengaku hanya akan mengenakan terhadap laba yang tidak dipakai alias mengendap. Laba yang tidak dibagikan kepada pemegang saham atau investasi untuk ekspansi usaha akan dikenakan pajak.
Saat ini laba ditahan belum menjadi objek pajak. Laba tersebut baru menjadi objek pajak saat dibagikan sebagai deviden.
Sebagai gambaran, pada tahun 2018 total jumlah laba ditahan 10 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar mencapai Rp 820, triliun. Pemilik laba ditahan paling besar adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), sebesar Rp 163,1 triliun, Disusul oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan jumlah laba ditahan sebesar Rp 144,5 triliun.
Akan tetapi perlu diingat bahwa pencatatan laba ditahan pada laporan keuangan perusahaan berada dalam sisi pasiva neraca (balance sheet). Jumlahnya diakumulasi sejak awal perusahaan berdiri.
Tidak seluruhnya masih berupa kas atau setara kas, karena bisa saja perusahaan telah membeli aset-aset tetap dengan uang tersebut. Objek yang akan dikenakan pajak adalah yang tidak dipakai alias 'dingin'.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>>
Sebenarnya wacana pengenaan pajak tersebut sudah muncul sejak pertengahan tahun lalu. Pada Juli 2018, Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan mengaku pengenaan pajak atas dua komponen tersebut tengah dibahas. Nantinya, aturan baru tersebut akan dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PP PPh).
Saat ini, rencana atas peraturan tersebut tengah disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait.
Sebagai informasi, konsep dasar laba ditahan adalah selisih antara laba bersih perusahaan dengan pembayaran deviden kepada pemegang saham.
Biasanya dana tersebut menjadi salah satu sumber modal kerja perusahaan untuk menjalankan aktivitas operasional di tahun berikutnya.
Dalam hal penarikan pajak, pemerintah mengaku hanya akan mengenakan terhadap laba yang tidak dipakai alias mengendap. Laba yang tidak dibagikan kepada pemegang saham atau investasi untuk ekspansi usaha akan dikenakan pajak.
Saat ini laba ditahan belum menjadi objek pajak. Laba tersebut baru menjadi objek pajak saat dibagikan sebagai deviden.
Sebagai gambaran, pada tahun 2018 total jumlah laba ditahan 10 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar mencapai Rp 820, triliun. Pemilik laba ditahan paling besar adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), sebesar Rp 163,1 triliun, Disusul oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan jumlah laba ditahan sebesar Rp 144,5 triliun.
Akan tetapi perlu diingat bahwa pencatatan laba ditahan pada laporan keuangan perusahaan berada dalam sisi pasiva neraca (balance sheet). Jumlahnya diakumulasi sejak awal perusahaan berdiri.
Tidak seluruhnya masih berupa kas atau setara kas, karena bisa saja perusahaan telah membeli aset-aset tetap dengan uang tersebut. Objek yang akan dikenakan pajak adalah yang tidak dipakai alias 'dingin'.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>>
Next Page
Dampak Pajak Laba Ditahan
Pages
Most Popular