
Pak Jokowi! Bangun Infrastruktur Saja Belum Cukup Lho...
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 July 2019 07:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Momen yang ditunggu-tunggu pelaku pasar keuangan tanah air, berikut juga masyarakat Indonesia secara umum, akhirnya tiba juga. Pada Sabtu (13/7/2019), presiden terpilih periode 2019-2024, Joko Widodo (Jokowi), bertemu dengan rivalnya dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun ini, Prabowo Subianto.
Keduanya bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus sebelum kemudian bertolak ke Senayan menggunakan MRT. Keduanya kemudian melanjutkan silaturahmi di salah satu restoran di sebuah mall yang terletak di kawasan Senayan.
Pertemuan keduanya praktis membuat situasi menjadi adem. Tingginya tensi di antara para pendukung kedua pasangan calon presiden menjadi mereda pasca melihat Jokowi dan Prabowo saling bercengkerama dan menebar tawa.
Sehari berselang, Jokowi menyampaikan pidato bertajuk Visi Indonesia pada hari Minggu (14/7/2019). Dalam pidatonya, Jokowi menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur yang selama ini menjadi trademark pemerintahannya akan dilanjutkan.
"Pertama pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan, infrastruktur yang besar-besar akan kita bangun," tegas Jokowi dalam pidato di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7/2019).
Jokowi mengatakan, ke depannya pembangunan infrastruktur akan dilanjutkan secara cepat. Visi dari mantan Wali Kota Solo ini adalah menyambungkan infrastruktur besar seperti jalan tol, rel kereta, pelabuhan, dan bandara ke kawasan-kawasan produksi rakyat, kawasan industri kecil, kawasan ekonomi khusus, hingga kawasan pariwisata.
"Arah dan fokus harus ke sana. Kita juga jangan lupa menyambungkan infrastruktur itu dengan kawasan-kawasan persawahan, perkebunan, hingga tambak-tambak perikanan," ujar Jokowi. Namun sebelum kembali menggeber pembangunan infrastruktur, ada baiknya Jokowi berkaca dulu ke belakang. Sepanjang periode pertama pemerintahannya, dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi terbilang minim. Ini artinya, dampak pembangunan infrasturktur terhadap kantong masyarakat Indonesia juga minim.
Semenjak mengambil takhta kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014 silam, Jokowi memang terbilang getol menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat dari alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun.
Pada tahun 2015 kala anggaran sudah disusun oleh Jokowi, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur melejit hingga 65,5% menjadi Rp 256,1 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, anggaran pembangunan infrastruktur terus meningkat.
Tapi, kalau disandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, terlihat jelas bahwa tambahan dana ratusan triliun yang dialokasikan Jokowi untuk pembangunan infrastruktur tak mampu mengerek laju pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru anjlok ke bawah 5%. Pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi tercatat anteng di batas bawah 5%. Padahal kalau diingat-ingat, Jokowi sempat menjanjikan pertumbuhan ekonomi di level 7% dalam kampanye untuk Pilpres 2014.
Sejatinya, pembangunan infrastruktur di era Jokowi sudah tepat, tak lagi Jawa-sentris.
Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.
Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada bulan Oktober atau kurang dari tiga bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.
Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.
Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.
Beralih ke zaman Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%), dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam 3 tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.
Tapi ya itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia anteng-anteng saja di batas bawah 5%. Tak usahlah menyebut level 7% seperti yang ditargetkan Jokowi kalau keluar dari batas bawah 5% saja tak bisa.
Gencarnya pembangunan infrasturktur dari Sabang hingga Merauke terbukti sulit untuk mendongkrak realisasi foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) yang sangat vital untuk menstimulasi perekonomian tanah air.
Pada tahun 2018, FDI ambruk hingga 8,8%, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017. Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%. Lantas, apa yang salah dengan pembangunan infrastuktur di era Jokowi? Sejatinya, tak ada yang salah dengan pembangunan infrastruktur di era presiden Indonesia yang ketujuh tersebut.
Besarnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, ditambah dengan sebarannya yang tak Jawa-sentris lagi, kami lihat sebagai sesuatu yang positif bagi masa depan Indonesia.
Tanpa adanya infrastruktur yang memadai, jangan harap sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, membangun perekonomian memang tak bisa lewat infrastruktur semata.
Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018. Ternyata, infrastruktur yang memadai bukan alasan utama bagi investor dalam menentukan lokasi penanaman modal.
Dari 754 perusahaan, hanya sebanyak 25% yang menganggap bahwa infrastruktur yang memadai sangatlah penting dalam menentukan lokasi penanaman modal, sementara 46% menyebut penting. Di sisi lain, sebanyak 24% hanya memberikan nilai ‘cukup penting’ dan 5% menyebutnya tak penting sama sekali.
Lantas, apa yang dianggap sangat penting oleh investor? Kestabilan politik dan keamanan menjadi juaranya. Sebanyak 50% responden menyebut bahwa kestabilan politik dan keamanan sangatlah penting bagi mereka, sementara 37% menilainya sebagai faktor yang penting.
Di posisi dua, ada poin kepastian hukum. Sebanyak 40% responden mengganggap bahwa kepastian hukum merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka, sementara 46% menilanya sebagai faktor penting.
Kalau diurutkan, infrastruktur yang memadai hanya berada di posisi keenam.
Jadi, ada banyak hal-hal lain yang harus dibenahi oleh pemerintah jika ingin pertumbuhan ekonomi bisa melesat.
Sekali lagi, tak ada yang salah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur. Seperti yang sudah disebutkan di atas, berdasarkan survei Bank Dunia, sebanyak 25% responden menganggap bahwa infrastruktur yang memadai sangatlah penting dalam menentukan lokasi penanaman modal, sementara 46% menganggapnya penting. Jelas bahwa investor menaruh perhatian yang besar dalam kualitas infrastruktur.
Namun, perlu diketahui juga bahwa ada banyak hal penting lain yang perlu segera dibenahi guna ‘dikawinkan’ dengan deretan infrastruktur megah yang sudah dan akan dibangun di era Jokowi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Proyek Infrastruktur Rp 6.000 T Pemerintah Tetap Lanjut
Keduanya bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus sebelum kemudian bertolak ke Senayan menggunakan MRT. Keduanya kemudian melanjutkan silaturahmi di salah satu restoran di sebuah mall yang terletak di kawasan Senayan.
Pertemuan keduanya praktis membuat situasi menjadi adem. Tingginya tensi di antara para pendukung kedua pasangan calon presiden menjadi mereda pasca melihat Jokowi dan Prabowo saling bercengkerama dan menebar tawa.
"Pertama pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan, infrastruktur yang besar-besar akan kita bangun," tegas Jokowi dalam pidato di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7/2019).
Jokowi mengatakan, ke depannya pembangunan infrastruktur akan dilanjutkan secara cepat. Visi dari mantan Wali Kota Solo ini adalah menyambungkan infrastruktur besar seperti jalan tol, rel kereta, pelabuhan, dan bandara ke kawasan-kawasan produksi rakyat, kawasan industri kecil, kawasan ekonomi khusus, hingga kawasan pariwisata.
"Arah dan fokus harus ke sana. Kita juga jangan lupa menyambungkan infrastruktur itu dengan kawasan-kawasan persawahan, perkebunan, hingga tambak-tambak perikanan," ujar Jokowi. Namun sebelum kembali menggeber pembangunan infrastruktur, ada baiknya Jokowi berkaca dulu ke belakang. Sepanjang periode pertama pemerintahannya, dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi terbilang minim. Ini artinya, dampak pembangunan infrasturktur terhadap kantong masyarakat Indonesia juga minim.
Semenjak mengambil takhta kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014 silam, Jokowi memang terbilang getol menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat dari alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun.
Pada tahun 2015 kala anggaran sudah disusun oleh Jokowi, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur melejit hingga 65,5% menjadi Rp 256,1 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, anggaran pembangunan infrastruktur terus meningkat.
Tapi, kalau disandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, terlihat jelas bahwa tambahan dana ratusan triliun yang dialokasikan Jokowi untuk pembangunan infrastruktur tak mampu mengerek laju pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru anjlok ke bawah 5%. Pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi tercatat anteng di batas bawah 5%. Padahal kalau diingat-ingat, Jokowi sempat menjanjikan pertumbuhan ekonomi di level 7% dalam kampanye untuk Pilpres 2014.
Sejatinya, pembangunan infrastruktur di era Jokowi sudah tepat, tak lagi Jawa-sentris.
Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.
Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada bulan Oktober atau kurang dari tiga bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.
Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.
Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.
Beralih ke zaman Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%), dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam 3 tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.
Tapi ya itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia anteng-anteng saja di batas bawah 5%. Tak usahlah menyebut level 7% seperti yang ditargetkan Jokowi kalau keluar dari batas bawah 5% saja tak bisa.
Gencarnya pembangunan infrasturktur dari Sabang hingga Merauke terbukti sulit untuk mendongkrak realisasi foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) yang sangat vital untuk menstimulasi perekonomian tanah air.
Pada tahun 2018, FDI ambruk hingga 8,8%, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017. Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%. Lantas, apa yang salah dengan pembangunan infrastuktur di era Jokowi? Sejatinya, tak ada yang salah dengan pembangunan infrastruktur di era presiden Indonesia yang ketujuh tersebut.
Besarnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, ditambah dengan sebarannya yang tak Jawa-sentris lagi, kami lihat sebagai sesuatu yang positif bagi masa depan Indonesia.
Tanpa adanya infrastruktur yang memadai, jangan harap sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, membangun perekonomian memang tak bisa lewat infrastruktur semata.
Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018. Ternyata, infrastruktur yang memadai bukan alasan utama bagi investor dalam menentukan lokasi penanaman modal.
Dari 754 perusahaan, hanya sebanyak 25% yang menganggap bahwa infrastruktur yang memadai sangatlah penting dalam menentukan lokasi penanaman modal, sementara 46% menyebut penting. Di sisi lain, sebanyak 24% hanya memberikan nilai ‘cukup penting’ dan 5% menyebutnya tak penting sama sekali.
Lantas, apa yang dianggap sangat penting oleh investor? Kestabilan politik dan keamanan menjadi juaranya. Sebanyak 50% responden menyebut bahwa kestabilan politik dan keamanan sangatlah penting bagi mereka, sementara 37% menilainya sebagai faktor yang penting.
Di posisi dua, ada poin kepastian hukum. Sebanyak 40% responden mengganggap bahwa kepastian hukum merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka, sementara 46% menilanya sebagai faktor penting.
Kalau diurutkan, infrastruktur yang memadai hanya berada di posisi keenam.
![]() |
Jadi, ada banyak hal-hal lain yang harus dibenahi oleh pemerintah jika ingin pertumbuhan ekonomi bisa melesat.
Sekali lagi, tak ada yang salah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur. Seperti yang sudah disebutkan di atas, berdasarkan survei Bank Dunia, sebanyak 25% responden menganggap bahwa infrastruktur yang memadai sangatlah penting dalam menentukan lokasi penanaman modal, sementara 46% menganggapnya penting. Jelas bahwa investor menaruh perhatian yang besar dalam kualitas infrastruktur.
Namun, perlu diketahui juga bahwa ada banyak hal penting lain yang perlu segera dibenahi guna ‘dikawinkan’ dengan deretan infrastruktur megah yang sudah dan akan dibangun di era Jokowi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Proyek Infrastruktur Rp 6.000 T Pemerintah Tetap Lanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular