Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi
Rapor Luhut: Kebanyakan Urusan, Konektivitas Kalah Kencang
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
10 July 2019 07:30

Bicara mengenai capaian Kemenko Maritim terkait maju-tidaknya pembangunan sektor kelautan, utamanya terkait pembangunan jalur logistik (tol laut), kita perlu membahas setidaknya dua indeks yang menunjukkan daya saing Indonesia, yang juga menjadi key performance index (KPI) Luhut, yakni indeks logistik dan indeks daya saing.
Mengacu pada kedua indeks tersebut, Luhut berhasil mencapai targetnya sendiri. Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) misalnya tahun lalu di angka 46 dari 160 negara, di atas target yang dipatok di level 57. Sementara itu, skor Indeks Daya Saing (Competitiveness Index) yang dipatok di angka 4,6 juga berhasil terlampaui di angka 4,682.
Namun, sebaiknya perhitungan tidak berhenti sampai di situ saja, mengingat Indonesia tidak mengejar pertumbuhan ekonomi sendirian, melainkan bersaing dengan negara lain. Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, capaian Indonesia tersebut sayangnya masih terhitung kalah.
Jika mengacu pada LPI, indeks yang disusun oleh Bank Dunia, negara kota yang juga tetangga kita yakni Singapura memimpin di kawasan Asia Tenggara, jauh di atas Indonesia dengan bercokol di peringkat ke-7.
Di sisi lain, Thailand, Vietnam dan Malaysia juga masih lebih baik masing-masing di posisi 33, 39 dan 41. Artinya, perbaikan itu masih belum cukup kuat untuk membuat Indonesia memiliki cukup daya saing di bidang logistik dengan negara tetangga kita.
Sementara itu, indeks daya saing versi World Economic Forum (WEF) menunjukkan skor Indonesia membaik ke angka 4,682. Namun bagaimana dengan skor negara tetangga kita? Skor daya saing Malaysia ternyata naik ke 5,174, dan Thailand ke 4,723, atau di atas kita. Kita hanya unggul terhadap Filipina yang turun ke 4,351, dan ditempel Vietnam di 4,356.
Sekarang, mari kita coba memakai indeks yang dipakai banyak negara, tetapi entah kenapa tidak dimunculkan dalam laporan capaian kinerja Kemenko Maritim, yakni Indeks Konektivitas Kapal Kontainer (Liner Shipping Connectivity Index/ LSCI).
Indeks ini disusun oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), sebuah lembaga internasional yang dibentuk tahun 1969 di bawah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
LSCI adalah indikator konektivitas maritim yang menunjukkan daya saing kita di dalam industri “tol laut” global. Indeks ini dihitung berdasarkan data kapal container, meliputi jumlah dan ukuran kapal, kapasitas angkut, jumlah layanan kargo laut dan perusahaan maskapai pelayaran.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa daya saing tol laut Indonesia masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi ‘poros maritim dunia’, Indonesia belum mampu menjadi 'poros maritim ASEAN' dan harus puas berada di posisi ke-35, kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita, dan lagi-lagi hanya unggul dari Filipina.
Melihat realita itu, sebaiknya Luhut melakukan diet program dan fokus dengan mengurangi program non-maritim dari saat ini yang mencapai belasan (BUMN, perikanan, pertahanan, pariwisata, perhubungan, lingkungan, infrastruktur, investasi, perindustrian, energi, hingga teknologi informasi) benar-benar ke program yang terkait dengan sektor bahari.
Ke depan, tidak perlu lah Menko Maritim merepotkan diri dengan berbagai urusan yang tak terkait dengan sektor bahari seperti jalan tol (di darat), Inalum, Freeport, investasi bandara, atau harga pangan. Jangan cuma kerja-kerja-kerja, melainkan fokus-fokus-fokus...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/dru)
Mengacu pada kedua indeks tersebut, Luhut berhasil mencapai targetnya sendiri. Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) misalnya tahun lalu di angka 46 dari 160 negara, di atas target yang dipatok di level 57. Sementara itu, skor Indeks Daya Saing (Competitiveness Index) yang dipatok di angka 4,6 juga berhasil terlampaui di angka 4,682.
Jika mengacu pada LPI, indeks yang disusun oleh Bank Dunia, negara kota yang juga tetangga kita yakni Singapura memimpin di kawasan Asia Tenggara, jauh di atas Indonesia dengan bercokol di peringkat ke-7.
Di sisi lain, Thailand, Vietnam dan Malaysia juga masih lebih baik masing-masing di posisi 33, 39 dan 41. Artinya, perbaikan itu masih belum cukup kuat untuk membuat Indonesia memiliki cukup daya saing di bidang logistik dengan negara tetangga kita.
Sementara itu, indeks daya saing versi World Economic Forum (WEF) menunjukkan skor Indonesia membaik ke angka 4,682. Namun bagaimana dengan skor negara tetangga kita? Skor daya saing Malaysia ternyata naik ke 5,174, dan Thailand ke 4,723, atau di atas kita. Kita hanya unggul terhadap Filipina yang turun ke 4,351, dan ditempel Vietnam di 4,356.
Sekarang, mari kita coba memakai indeks yang dipakai banyak negara, tetapi entah kenapa tidak dimunculkan dalam laporan capaian kinerja Kemenko Maritim, yakni Indeks Konektivitas Kapal Kontainer (Liner Shipping Connectivity Index/ LSCI).
Indeks ini disusun oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), sebuah lembaga internasional yang dibentuk tahun 1969 di bawah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
LSCI adalah indikator konektivitas maritim yang menunjukkan daya saing kita di dalam industri “tol laut” global. Indeks ini dihitung berdasarkan data kapal container, meliputi jumlah dan ukuran kapal, kapasitas angkut, jumlah layanan kargo laut dan perusahaan maskapai pelayaran.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa daya saing tol laut Indonesia masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi ‘poros maritim dunia’, Indonesia belum mampu menjadi 'poros maritim ASEAN' dan harus puas berada di posisi ke-35, kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita, dan lagi-lagi hanya unggul dari Filipina.
Melihat realita itu, sebaiknya Luhut melakukan diet program dan fokus dengan mengurangi program non-maritim dari saat ini yang mencapai belasan (BUMN, perikanan, pertahanan, pariwisata, perhubungan, lingkungan, infrastruktur, investasi, perindustrian, energi, hingga teknologi informasi) benar-benar ke program yang terkait dengan sektor bahari.
Ke depan, tidak perlu lah Menko Maritim merepotkan diri dengan berbagai urusan yang tak terkait dengan sektor bahari seperti jalan tol (di darat), Inalum, Freeport, investasi bandara, atau harga pangan. Jangan cuma kerja-kerja-kerja, melainkan fokus-fokus-fokus...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular