Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Rapor Luhut: Kebanyakan Urusan, Konektivitas Kalah Kencang

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
10 July 2019 07:30
Rapor Luhut: Kebanyakan Urusan, Konektivitas Kalah Kencang
Foto: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan saat menghadiri Jakarta Teater. (CNBC Indonesia/Lidya Kembaren)
Jakarta, CNBC Indonesia - Menjadi salah satu lembaga kementerian dengan nomenklatur khusus yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo guna mengakselerasi visi andalannya membangun 'Poros Maritim Dunia', kementerian ini berkembang menjadi "Poros Segala Urusan."

Mengawali karir di Kabinet Kerja sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan resmi dilukir menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) pada 27 Juli 2016, menggantikan Rizal Ramli.

Tak tanggung-tanggung Luhut mengkoordinir empat kementerian, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata. Plus, kementerian lainnya di bawah istilah "instansi yang dianggap perlu".

Aslinya, Kemenko Maritim memiliki peran yang sangat strategis, khususnya bagi Jokowi dan partai pengusungnya yakni PDI Perjuangan, karena menjadi garda terdepan merealisasikan jargon 'poros maritim dunia'.

Perlu dicatat, PDI-P memiliki Bidang Kemaritiman dalam jajaran struktur fungsionaris partai, yang dipimpin oleh Rokhmin Dahuri-Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Partai yang memenangkan pemilu dalam dua kali perhelatan terakhir tersebut mengusung 11 poin yang harus dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Tujuh di antaranya terkait industri perikanan, dua lain terkait dengan pariwisata bahari, dan dua sisanya terkait dengan transportasi. Catat, tiga sektor: perikanan, wisata bahari, dan transportasi laut.

Namun pada kenyataannya, Luhut menjalankan peran yang jauh lebih luas dari itu semua. Dia terkadang bertindak seperti Menteri Penerangan di era Soeharto yang bisa bicara kepada media--mewakili pemerintah--mengenai berbagai hal dan isu. Mulai dari Freeport, tiket pesawat, beras, hingga impor plastik.

Jika anda mengecek situs resmi kementerian, terpampang 37 program atau isu prioritas yang menjadi kebijakan di bawah Luhut. Namun siap-siaplah heran, karena nyaris sepertiganya tidak terkait langsung dengan sektor kemaritiman.



Jika mengutip Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 121/P Tahun 2014, bisa diketahui bahwa jabatan Luhut adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Tak ada embel-embel 'sumber daya' di situ (seperti yang berlaku di era Orde Lama). Demikian juga dalam visi dan misinya, lembaga tersebut fokus pada bidang kemaritiman.

Namun dalam rencana strategis (renstra) yang disusun tim Luhut, tiba-tiba muncul klausul tambahan ini: "meningkatnya pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam".
Ekspansi ke ranah lain memang dimungkinkan karena dalam nomenklaturnya Kemenko Maritim bisa menyelenggarakan "fungsi lain yang diberikan oleh Presiden".

Idealnya, tugas tambahan tersebut diambil ketika tugas utama bisa dijalankan dengan baik untuk membawa sektor maritim Indonesia kian melaju kencang. Sekarang mari kita cek sejauh mana capaian Luhut terhadap tugas intinya, di sektor bahari.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>



Bicara mengenai capaian Kemenko Maritim terkait maju-tidaknya pembangunan sektor kelautan, utamanya terkait pembangunan jalur logistik (tol laut), kita perlu membahas setidaknya dua indeks yang menunjukkan daya saing Indonesia, yang juga menjadi key performance index (KPI) Luhut, yakni indeks logistik dan indeks daya saing.

Mengacu pada kedua indeks tersebut, Luhut berhasil mencapai targetnya sendiri. Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) misalnya tahun lalu di angka 46 dari 160 negara, di atas target yang dipatok di level 57. Sementara itu, skor Indeks Daya Saing (Competitiveness Index) yang dipatok di angka 4,6 juga berhasil terlampaui di angka 4,682.



Namun, sebaiknya perhitungan tidak berhenti sampai di situ saja, mengingat Indonesia tidak mengejar pertumbuhan ekonomi sendirian, melainkan bersaing dengan negara lain. Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, capaian Indonesia tersebut sayangnya masih terhitung kalah.

Jika mengacu pada LPI, indeks yang disusun oleh Bank Dunia, negara kota yang juga tetangga kita yakni Singapura memimpin di kawasan Asia Tenggara, jauh di atas Indonesia dengan bercokol di peringkat ke-7.

Di sisi lain, Thailand, Vietnam dan Malaysia juga masih lebih baik masing-masing di posisi 33, 39 dan 41. Artinya, perbaikan itu masih belum cukup kuat untuk membuat Indonesia memiliki cukup daya saing di bidang logistik dengan negara tetangga kita.


Sementara itu, indeks daya saing versi World Economic Forum (WEF) menunjukkan skor Indonesia membaik ke angka 4,682. Namun bagaimana dengan skor negara tetangga kita? Skor daya saing Malaysia ternyata naik ke 5,174, dan Thailand ke 4,723, atau di atas kita. Kita hanya unggul terhadap Filipina yang turun ke 4,351, dan ditempel Vietnam di 4,356.

Sekarang, mari kita coba memakai indeks yang dipakai banyak negara, tetapi entah kenapa tidak dimunculkan dalam laporan capaian kinerja Kemenko Maritim, yakni Indeks Konektivitas Kapal Kontainer (Liner Shipping Connectivity Index/ LSCI).

Indeks ini disusun oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), sebuah lembaga internasional yang dibentuk tahun 1969 di bawah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).


LSCI adalah indikator konektivitas maritim yang menunjukkan daya saing kita di dalam industri “tol laut” global. Indeks ini dihitung berdasarkan data kapal container, meliputi jumlah dan ukuran kapal, kapasitas angkut, jumlah layanan kargo laut dan perusahaan maskapai pelayaran.



Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa daya saing tol laut Indonesia masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi ‘poros maritim dunia’, Indonesia belum mampu menjadi 'poros maritim ASEAN' dan harus puas berada di posisi ke-35, kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita, dan lagi-lagi hanya unggul dari Filipina.

Melihat realita itu, sebaiknya Luhut melakukan diet program dan fokus dengan mengurangi program non-maritim dari saat ini yang mencapai belasan (BUMN, perikanan, pertahanan, pariwisata, perhubungan, lingkungan, infrastruktur, investasi, perindustrian, energi, hingga teknologi informasi) benar-benar ke program yang terkait dengan sektor bahari.

Ke depan, tidak perlu lah Menko Maritim merepotkan diri dengan berbagai urusan yang tak terkait dengan sektor bahari seperti jalan tol (di darat), Inalum, Freeport, investasi bandara, atau harga pangan. Jangan cuma kerja-kerja-kerja, melainkan fokus-fokus-fokus...


TIM RISET CNBC INDONESIA





(ags/dru) Next Article Aturan Baru Terbit, Luhut Terima Tukin Rp 43 Juta/Bulan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular