Jalan Panjang Blok Masela: Laut, Darat, Lalu Nyangkut di KPK

Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
08 July 2019 13:54
Jalan Panjang Blok Masela: Laut, Darat, Lalu Nyangkut di KPK
Foto: Blok Masela (Dok.Reuters)
Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti sinetron yang tak kunjung habis episodenya, begitulah perjalanan blok Masela yang kian drama. Memiliki nilai investasi US$ 20 miliar atau setara Ro 288 triliun, begini kisah blok migas yang ada di timur Indonesia.

Awal Mula Blok Masela
Dirunut berdasarkan kronologisnya. Blok Masela terletak di Laut Arafura, selatan Papua dan tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.

Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangkan dari zaman pemerintah di 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas Abadi yang diperkirakan akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.

Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.

Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah berganti nama jadi SKK Migas.

Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.

Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.



Dari Laut Pindah ke Darat
SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian gugus tugas tersebut menerima perintah dari Presiden Joko Widodo pada 2016 untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena opsi yang terakhir dinilai akan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi bagi masyarakat Maluku, terutama untuk Kepulauan Aru.

Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar. 

Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.

Syaratnya adalah; 
1. Peningkatan kapasitas kilang dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMSCFD
2. Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun, mengingat banyak waktu terbuang dalam hal negosiasi yang membuat kontraktor tak bisa segera memasukkan investasi mereka
3. Inpex meminta besaran IRR 15%
4. Inpex dan Shell meminta pengembalian seluruh biaya yang telah dikucurkan mereka mulai dari eksplorasi hingga pembuatan POD Floating LNG sebesar US$ 1,6 miliar
5. Percepatan proses perizinan, agar bisa diproduksi mulai 2027.



Negosiasi Makin Dikebut Tahun Ini
Serangkaian perubahan dalam beberapa tahun terakhir telah secara langsung memengaruhi tanggal onstream proyek lapangan Abadi, yang kerangka waktu awalnya ditargetkan sekitar 2018 dan kemudian mundur ke 2027 atau satu tahun sebelum PSC blok Masela berakhir.

Berdasarkan data terbaru dari SKK Migas, proyek lapangan LNG Abadi akan beroperasi pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi tahunan LNG sebesar 9,5 juta ton dan 150 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). SKK Migas pun kala itu memperkirakan, proyek di darat akan menelan biaya US$ 16 miliar, yang akan diproses di bawah skema PSC lama, cost recovery.

Bolak-balik masalah biaya ini dibahas, sampai pemerintah pun mendatangkan konsultan EWC. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan saat ini proyek tersebut tengah dievaluasi biaya investasinya oleh SKK Migas. Dia menuturkan, bisa saja nilainya lebih rendah.

"Sedang diproses sama SKK Migas, lagi dievaluasi cost-nya, bisa saja turun," ujar Djoko kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (19/2/2019).

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Dwi Soetjipto, mengatakan, EWC dipanggil untuk memberikan masukan dalam penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) Blok Masela. Khususnya yang berkaitan dengan persoalan teknis.

Singkat cerita, setelah puluhan tahun berlangsung alot, kesepakatan terkait pengelolaan Lapangan Abadi Blok Masela akhirnya disepakati yang memungkinkan lapangan gas raksasa ini bisa segera dikembangkan.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan INPEX Corporation (INPEX) telah melaksanakan penandatanganan perjanjian awal atau Head of Agreement (HoA) tentang pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, di Kepulauan Tanimbar, Maluku.

HoA tersebut ditandatangani pada pertemuan awal G20 di Jepang, Minggu (16/6/2019), dan dilakukan antara Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dengan Presiden Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya.

Persyaratan yang terkandung dalam HOA termasuk estimasi biaya, periode Kontrak Bagi Hasil (PSC), dan kondisi keuangan juga ditulis dalam POD yang direvisi.

Inpex Corporation melalui anak usahanya Inpex Masela Ltd pun telah menyerahkan revisi rancangan pengembangan (Plan of Development/POD) proyek Lapangan Abadi Blok Masela kepada pemerintah Indonesia pada Kamis (20/6/2019).

Jalan Panjang Blok Masela: Laut, Darat, Lalu Nyangkut di KPK Foto: Infografis/Mangkrak 20 Tahun, Ini Blok Masela Senilai Rp 288 T /Arie Pratama
Namun, target pemerintah untuk menyetujui dan menandatangani revisi rencana pengembangan (plan of development/POD) tersebut ketika acara G20 Summit di Jepang, kini tinggal asa.

Pasalnya, sampai sekarang, revisi POD tersebut belum juga diteken. Entah apa penyebabnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto pun belum berkomentar banyak. Padahal, semua dokumen terkait penandatanganan sudah sejak jauh hari disiapkan, sinyal juga semakin kuat dengan ditekennya Head of Agreements oleh Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan PT Inpex Corporation sebagai pengelola, pada 16 Juni 2019 di Jepang.

Informasi yang diterima CNBC Indonesia, usai penandatanganan HoA tiba-tiba ada surat dari KPK ke SKK Migas yang meminta penjelasan soal mega proyek blok gas di timur Indonesia ini. Para pejabat SKK diminta datang ke KPK, mulai dari Kepala SKK, deputi, dan pejabat lain yang mengurusi.  Pemeriksaan ini cukup intens, SKK ditanya mulai dari skema, penggantian pembiayaan, dan dampaknya terhadap negara. Para pejabat SKK Migas berharap pemeriksaan KPK ini tak berlangsung lama, dan bisa segera diputuskan pada pekan depan. "Semoga pekan depan sudah ada kabar baik, karena menurut kami proyek ini baik-baik saja. Jadi bisa segera diteken."

Adapun, Dwi Soetjipto sendiri belum mau bicara banyak soal terganjalnya proyek ini karena KPK. "Boleh gak beri saya waktu 1-2 hari, nanti saya kabarin," ujar Dwi saat dijumpai di Kementerian ESDM, pekan lalu.  Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, SK Migas memang sempat meminta bantuan KPK untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan dalam proyek gas akbar ini.

"SKK Migas maunya KPK juga ikut mendampingi untuk implementasi pengembangannya, untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mengganggu dari sisi pencegahan korupsi. Mereka sudah paparan awal, dan akan paparan lagi ke pimpinan (KPK)," ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2019).

Lebih lanjut ia mengatakan, pengawasan yang diberikan utamanya dalam hal biaya pengembangan. Sebab, imbuh Pahala, karena proyek tersebut menggunakan skema cost recovery, jadi ada pembelian barang dan jasa. "Kalau biaya pengembangannya irit atau hemat, kan ujungnya bagian pemerintah jadi lebih banyak," pungkas Pahala.

(gus) Next Article Waduh, Proyek Gas Rp 288 T RI-Jepang Batal Diteken di G20

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular