
Nasib Blok Masela, Dikebut SKK Lalu Terganjal di KPK
Gustidha Budiartie & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
08 July 2019 13:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Target pemerintah untuk menyetujui dan menandatangani revisi rencana pengembangan (plan of development/POD) proyek Lapangan Abadi Blok Masela ketika acara G20 Summit kini tinggal asa.
Pasalnya, sampai sekarang, revisi POD tersebut belum juga diteken. Entah apa penyebabnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto pun belum berkomentar banyak.
Padahal, semua dokumen terkait penandatanganan sudah sejak jauh hari disiapkan, sinyal juga semakin kuat dengan ditekennya Head of Agreements oleh Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan PT Inpex Corporation sebagai pengelola, pada 16 Juni 2019 di Jepang.
Lalu, apa yang terjadi?
Informasi yang diterima CNBC Indonesia, usai penandatanganan HoA tiba-tiba ada surat dari KPK ke SKK Migas yang meminta penjelasan soal mega proyek blok gas di timur Indonesia ini. Para pejabat SKK diminta datang ke KPK, mulai dari Kepala SKK, deputi, dan pejabat lain yang mengurusi.
"Setelah HoA kan penyerahan PoD. Sudah masuk ke SKK, lalu SKK rekomendasikan ke Menteri berdasar HoA itu. Harusnya tahapnya setelah itu Menteri menyetujui terus berikan lagi ke SKK Migas, dan balik lagi ke Inpex untuk kemudian proyek dikerjakan. Jadi tahapnya yang sudah itu revisi sudah disampaikan, SKK sudah rekomendasikan ke ESDM. Nah baru sampai sini, lalu ada KPK," ujar salah seorang pejabat yang intens mengurus proyek ini kepada CNBC Indonesia, Kamis pekan lalu.
"Sebelum berangkat ke Jepang dipanggil, jadi SKK tidak bisa ke Jepang dan penandatanganan batal dilakukan," ujar sumber lainnya di SKK Migas.
Pemeriksaan ini cukup intens, SKK ditanya mulai dari skema, penggantian pembiayaan, dan dampaknya terhadap negara. "Urusan skema yang dari laut pindah ke darat kan sebenarnya sudah selesai, karena diputuskan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2016. Soal lainnya juga tidak ada masalah, karena ini proyek penting untuk gas negara. Seharusnya sih tidak ada masalah, lagi pula apa yang mau dipermasalahkan?"
Para pejabat SKK Migas berharap pemeriksaan KPK ini tak berlangsung lama, dan bisa segera diputuskan pada pekan depan. "Semoga pekan depan sudah ada kabar baik, karena menurut kami proyek ini baik-baik saja. Jadi bisa segera diteken."
Adapun, Dwi Soetjipto sendiri belum mau bicara banyak soal terganjalnya proyek ini karena KPK. "Boleh gak beri saya waktu 1-2 hari, nanti saya kabarin," ujar Dwi saat dijumpai di Kementerian ESDM, pekan lalu.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, SK Migas memang sempat meminta bantuan KPK untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan dalam proyek gas akbar ini.
"SKK Migas maunya KPK juga ikut mendampingi untuk implementasi pengembangannya, untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mengganggu dari sisi pencegahan korupsi. Mereka sudah paparan awal, dan akan paparan lagi ke pimpinan (KPK)," ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2019).
Lebih lanjut ia mengatakan, pengawasan yang diberikan utamanya dalam hal biaya pengembangan. Sebab, imbuh Pahala, karena proyek tersebut menggunakan skema cost recovery, jadi ada pembelian barang dan jasa.
"Kalau biaya pengembangannya irit atau hemat, kan ujungnya bagian pemerintah jadi lebih banyak," pungkas Pahala.
(gus) Next Article Ssst... Ada KPK di Proyek Blok Masela Senilai Rp 288 T
Pasalnya, sampai sekarang, revisi POD tersebut belum juga diteken. Entah apa penyebabnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto pun belum berkomentar banyak.
Padahal, semua dokumen terkait penandatanganan sudah sejak jauh hari disiapkan, sinyal juga semakin kuat dengan ditekennya Head of Agreements oleh Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan PT Inpex Corporation sebagai pengelola, pada 16 Juni 2019 di Jepang.
Lalu, apa yang terjadi?
"Setelah HoA kan penyerahan PoD. Sudah masuk ke SKK, lalu SKK rekomendasikan ke Menteri berdasar HoA itu. Harusnya tahapnya setelah itu Menteri menyetujui terus berikan lagi ke SKK Migas, dan balik lagi ke Inpex untuk kemudian proyek dikerjakan. Jadi tahapnya yang sudah itu revisi sudah disampaikan, SKK sudah rekomendasikan ke ESDM. Nah baru sampai sini, lalu ada KPK," ujar salah seorang pejabat yang intens mengurus proyek ini kepada CNBC Indonesia, Kamis pekan lalu.
"Sebelum berangkat ke Jepang dipanggil, jadi SKK tidak bisa ke Jepang dan penandatanganan batal dilakukan," ujar sumber lainnya di SKK Migas.
Pemeriksaan ini cukup intens, SKK ditanya mulai dari skema, penggantian pembiayaan, dan dampaknya terhadap negara. "Urusan skema yang dari laut pindah ke darat kan sebenarnya sudah selesai, karena diputuskan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2016. Soal lainnya juga tidak ada masalah, karena ini proyek penting untuk gas negara. Seharusnya sih tidak ada masalah, lagi pula apa yang mau dipermasalahkan?"
Para pejabat SKK Migas berharap pemeriksaan KPK ini tak berlangsung lama, dan bisa segera diputuskan pada pekan depan. "Semoga pekan depan sudah ada kabar baik, karena menurut kami proyek ini baik-baik saja. Jadi bisa segera diteken."
Adapun, Dwi Soetjipto sendiri belum mau bicara banyak soal terganjalnya proyek ini karena KPK. "Boleh gak beri saya waktu 1-2 hari, nanti saya kabarin," ujar Dwi saat dijumpai di Kementerian ESDM, pekan lalu.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, SK Migas memang sempat meminta bantuan KPK untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan dalam proyek gas akbar ini.
"SKK Migas maunya KPK juga ikut mendampingi untuk implementasi pengembangannya, untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mengganggu dari sisi pencegahan korupsi. Mereka sudah paparan awal, dan akan paparan lagi ke pimpinan (KPK)," ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2019).
Lebih lanjut ia mengatakan, pengawasan yang diberikan utamanya dalam hal biaya pengembangan. Sebab, imbuh Pahala, karena proyek tersebut menggunakan skema cost recovery, jadi ada pembelian barang dan jasa.
"Kalau biaya pengembangannya irit atau hemat, kan ujungnya bagian pemerintah jadi lebih banyak," pungkas Pahala.
![]() |
(gus) Next Article Ssst... Ada KPK di Proyek Blok Masela Senilai Rp 288 T
Most Popular