
KPK Kelar, Akhirnya Proyek Rp 288 T Blok Masela Diteken!
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
12 July 2019 13:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhirnya, setelah terhambat bertahun-tahun lamanya, proyek Lapangan Gas Abadi, Blok Masela sudah mulai bisa dikerjakan. Pasalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sudah menyetujui dan menandatangani revisi rencana pengembangan (POD) proyek akbar tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (12/7/2019).
"Revisi POD sudah ditandatangani oleh Pak Menteri (Jonan), belum lama ini (tandatangannya)," ujar Dwi.
Dengan ditandatanganinya revisi POD tersebut, maka langkah selanjutnya, kata Dwi, Jonan akan melaporkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Karena ini investasi besar jadi tentu pak Menteri akan lapor ke Presiden, dan sebagainya. Mungkin detilnya nanti biar pak Menteri yang jelaskan," imbuhnya.
Dwi pun menyebutkan, tidak ada perubahan di dalam revisi POD yang ditandatangani tersebut. Semua poinnya masih sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Head of Agreement (HOA).
"Tidak ada perubahan, masih sama," pungkasnya. Semestinya proyek blok Masela ini diteken pada 27 Juni lalu di gelaran G20 di Osaka Jepang, namun ditunda karena berkas HoA yang sudah disepakati 16 Juni mampir terlebih dulu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika diibaratkan, seperti sinetron yang tak kunjung habis episodenya, begitulah perjalanan blok Masela. Memiliki nilai investasi sekitar US$ 20 miliar atau setara Ro 288 triliun, begini kisah blok migas yang ada di timur Indonesia.
Dirunut berdasarkan kronologisnya. Blok Masela terletak di Laut Arafura, selatan Papua dan tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.
Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangkan dari zaman pemerintah di 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas Abadi yang diperkirakan akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.
Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.
Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah berganti nama jadi SKK Migas.
Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.
Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.
SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian gugus tugas tersebut menerima perintah dari Presiden Joko Widodo pada 2016 untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena opsi yang terakhir dinilai akan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi bagi masyarakat Maluku, terutama untuk Kepulauan Aru.
Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar.
Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
Serangkaian perubahan dalam beberapa tahun terakhir telah secara langsung memengaruhi tanggal onstream proyek lapangan Abadi, yang kerangka waktu awalnya ditargetkan sekitar 2018 dan kemudian mundur ke 2027 atau satu tahun sebelum PSC blok Masela berakhir.
Berdasarkan data terbaru dari SKK Migas, proyek lapangan LNG Abadi akan beroperasi pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi tahunan LNG sebesar 9,5 juta ton dan 150 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). SKK Migas pun kala itu memperkirakan, proyek di darat akan menelan biaya US$ 16 miliar, yang akan diproses di bawah skema PSC lama, cost recovery.
Singkat cerita, setelah puluhan tahun berlangsung alot, kesepakatan terkait pengelolaan Lapangan Abadi Blok Masela akhirnya disepakati yang memungkinkan lapangan gas raksasa ini bisa segera dikembangkan.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan INPEX Corporation (INPEX) telah melaksanakan penandatanganan perjanjian awal atau Head of Agreement (HoA) tentang pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, di Kepulauan Tanimbar, Maluku.
HoA tersebut ditandatangani pada pertemuan awal G20 di Jepang, Minggu (16/6/2019), dan dilakukan antara Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dengan Presiden Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya.
(gus) Next Article Video: Mantap! Blok Masela "Kebanjiran" Permintaan Gas
Hal itu disampaikan oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (12/7/2019).
Dengan ditandatanganinya revisi POD tersebut, maka langkah selanjutnya, kata Dwi, Jonan akan melaporkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Karena ini investasi besar jadi tentu pak Menteri akan lapor ke Presiden, dan sebagainya. Mungkin detilnya nanti biar pak Menteri yang jelaskan," imbuhnya.
Dwi pun menyebutkan, tidak ada perubahan di dalam revisi POD yang ditandatangani tersebut. Semua poinnya masih sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Head of Agreement (HOA).
"Tidak ada perubahan, masih sama," pungkasnya. Semestinya proyek blok Masela ini diteken pada 27 Juni lalu di gelaran G20 di Osaka Jepang, namun ditunda karena berkas HoA yang sudah disepakati 16 Juni mampir terlebih dulu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika diibaratkan, seperti sinetron yang tak kunjung habis episodenya, begitulah perjalanan blok Masela. Memiliki nilai investasi sekitar US$ 20 miliar atau setara Ro 288 triliun, begini kisah blok migas yang ada di timur Indonesia.
Dirunut berdasarkan kronologisnya. Blok Masela terletak di Laut Arafura, selatan Papua dan tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.
Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangkan dari zaman pemerintah di 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas Abadi yang diperkirakan akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.
Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.
Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah berganti nama jadi SKK Migas.
Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.
Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.
SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian gugus tugas tersebut menerima perintah dari Presiden Joko Widodo pada 2016 untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena opsi yang terakhir dinilai akan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi bagi masyarakat Maluku, terutama untuk Kepulauan Aru.
Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar.
Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
![]() |
Serangkaian perubahan dalam beberapa tahun terakhir telah secara langsung memengaruhi tanggal onstream proyek lapangan Abadi, yang kerangka waktu awalnya ditargetkan sekitar 2018 dan kemudian mundur ke 2027 atau satu tahun sebelum PSC blok Masela berakhir.
Berdasarkan data terbaru dari SKK Migas, proyek lapangan LNG Abadi akan beroperasi pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi tahunan LNG sebesar 9,5 juta ton dan 150 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). SKK Migas pun kala itu memperkirakan, proyek di darat akan menelan biaya US$ 16 miliar, yang akan diproses di bawah skema PSC lama, cost recovery.
Singkat cerita, setelah puluhan tahun berlangsung alot, kesepakatan terkait pengelolaan Lapangan Abadi Blok Masela akhirnya disepakati yang memungkinkan lapangan gas raksasa ini bisa segera dikembangkan.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan INPEX Corporation (INPEX) telah melaksanakan penandatanganan perjanjian awal atau Head of Agreement (HoA) tentang pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, di Kepulauan Tanimbar, Maluku.
HoA tersebut ditandatangani pada pertemuan awal G20 di Jepang, Minggu (16/6/2019), dan dilakukan antara Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dengan Presiden Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya.
(gus) Next Article Video: Mantap! Blok Masela "Kebanjiran" Permintaan Gas
Most Popular