Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi
Rapor Menteri Rini: Laba BUMN Gemuk, Utang-Fraud Menghantui
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 July 2019 06:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Ini adalah pertama kali dalam sejarah republik Indonesia, di mana seorang menteri masih bisa berkantor meski mendapat penolakan dari anggota DPR. Di bawah kendalinya, BUMN mempertahankan catatan kinerja positif yang-sayangnya-diwarnai skandal dan polemik.
Rini Mariani Soemarno menduduk kursi tertinggi Kementerian BUMN pada 27 Oktober 2014 berbarengan dengan dilantiknya Kabinet Kerja di periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Meski bukan orang partai, Rini memiliki andil penting dalam pembentukan kabinet tersebut sebagai Ketua Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2001-2004) ini dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia. Tidak heran, boikot DPR terhadapnya yang berlaku sejak Desember 2015 tak mempan melengserkannya dari jabatan tertinggi di perusahaan pelat merah Indonesia.
Lulusan Wellesley College, Masschusetts, Amerika Serikat pada 1981 ini dalam beberapa kesempatan membanggakan kondisi BUMN yang menurutnya semakin kuat. Hingga 31 Desember 2018, total aset BUMN telah mencapai Rp 8.092 triliun, naik signifikan dari posisi 2015 sebesar Rp 5.760 triliun. Total laba juga bertumbuh mencapai Rp 188 triliun.
Di atas kertas, ini bisa dibilang prestasi, meski ada satu penurunan laba bersih, yakni dari 2014 ke 2015-yang tentu saja tidak pernah disinggung dalam berbagai konpers tentang keberhasilannya. Namun harap dicatat, capaian itu diwarnai kenaikan utang dan beberapa kasus dugaan fraud serta polemik seputar "pemolesan" kinerja keuangan BUMN.
Yang terbaru adalah BUMN penerbangan nasional, yaitu PT Garuda Indonesia Tbk., yang melaporkan laba bersih US$809.846 (2018), setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$) dari sebelumnya rugi US$216,58 juta (Rp 3,07 triliun). Laba itu dicapai berkat 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat' senilai US$239,94.
Belakangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi pada manajemen Garuda karena mencatatkan piutang yang "belum valid" dari PT Mahata Aero Teknologi tersebut sebagai pendapatan di muka sehingga mereka beroleh laba. Dus, perusahaan dan tiap direksi dikenai sanksi denda Rp 100 juta dan diwajibkan merevisi laporan keuangan 2018.
Lucunya, sebulan sebelum skandal ini terkuak, Rini menyatakan bahwa jumlah BUMN yang merugi di masa pemerintahannya hanya tersisa 12 perusahaan, turun drastis dari tahun 2014 sebanyak 24 perusahaan. Dan, ya! Garuda tidak masuk di sana karena Kementerian BUMN sudah menganggap perusahaan itu untung berkat pencatatan transaksi Mahata.
Namun, begitu sanksi OJK turun, Kementerian BUMN balik badan dan cenderung cuci tangan. Deputi Jasa Keuangan, Survei dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengklaim pihaknya sudah meminta Dewan Komisaris untuk melakukan audit interim per 30 Juni 2019.
"Kami meminta Dewan Direksi dan Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk dapat menindaklanjuti keputusan OJK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya dalam siaran pers ala kadarnya.
Praktik serupa terlihat di Pertamina yang mencatatkan piutang pemerintah sebagai pendapatan, sehingga meraih laba bersih US$2,6 miliar (Rp 37,2 triliun) pada 2018. Pemicunya tak lain adalah pos pendapatan lainnya senilai US$3,9 miliar, yang muncul berkat kompensasi pemerintah atas selisih harga jual BBM Premium dalam program BBM Satu Harga.
Artinya, tidak ada uang kas yang bisa dipegang dari keuntungan tersebut, karena masih menunggu setoran dari APBN ke Pertamina. Tanpa itu, Pertamina merugi!
Meski tak menyalahi aturan, praktik ini tidak perlu terjadi jika pemerintah realistis dengan tak mewajibkan Holding BUMN Energi ini menjual BBM satu harga di seluruh Indonesia dan memasok premium di area Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Betul bahwa APBN menambal pengeluaran ini, tapi ini tentu langkah mundur karena subsidi BBM bakal membengkak lagi.
Menurut estimasi Tim Riset CNBC Indonesia, alokasi subsidi energi tahun ini bakal membengkak sekitar Rp 40 triliun pada semester kedua tahun ini, dari alokasi awal Rp 157 triliun menjadi Rp 197 triliun. Dari mana untuk menambal itu? Di tengah minimnya rasio pajak di kisaran 11%, utanglah jawabannya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> 'Pisau Bermata Dua'
Rini Mariani Soemarno menduduk kursi tertinggi Kementerian BUMN pada 27 Oktober 2014 berbarengan dengan dilantiknya Kabinet Kerja di periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Meski bukan orang partai, Rini memiliki andil penting dalam pembentukan kabinet tersebut sebagai Ketua Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2001-2004) ini dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia. Tidak heran, boikot DPR terhadapnya yang berlaku sejak Desember 2015 tak mempan melengserkannya dari jabatan tertinggi di perusahaan pelat merah Indonesia.
Di atas kertas, ini bisa dibilang prestasi, meski ada satu penurunan laba bersih, yakni dari 2014 ke 2015-yang tentu saja tidak pernah disinggung dalam berbagai konpers tentang keberhasilannya. Namun harap dicatat, capaian itu diwarnai kenaikan utang dan beberapa kasus dugaan fraud serta polemik seputar "pemolesan" kinerja keuangan BUMN.
Yang terbaru adalah BUMN penerbangan nasional, yaitu PT Garuda Indonesia Tbk., yang melaporkan laba bersih US$809.846 (2018), setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$) dari sebelumnya rugi US$216,58 juta (Rp 3,07 triliun). Laba itu dicapai berkat 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat' senilai US$239,94.
Belakangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi pada manajemen Garuda karena mencatatkan piutang yang "belum valid" dari PT Mahata Aero Teknologi tersebut sebagai pendapatan di muka sehingga mereka beroleh laba. Dus, perusahaan dan tiap direksi dikenai sanksi denda Rp 100 juta dan diwajibkan merevisi laporan keuangan 2018.
Lucunya, sebulan sebelum skandal ini terkuak, Rini menyatakan bahwa jumlah BUMN yang merugi di masa pemerintahannya hanya tersisa 12 perusahaan, turun drastis dari tahun 2014 sebanyak 24 perusahaan. Dan, ya! Garuda tidak masuk di sana karena Kementerian BUMN sudah menganggap perusahaan itu untung berkat pencatatan transaksi Mahata.
Namun, begitu sanksi OJK turun, Kementerian BUMN balik badan dan cenderung cuci tangan. Deputi Jasa Keuangan, Survei dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengklaim pihaknya sudah meminta Dewan Komisaris untuk melakukan audit interim per 30 Juni 2019.
"Kami meminta Dewan Direksi dan Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk dapat menindaklanjuti keputusan OJK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," ujarnya dalam siaran pers ala kadarnya.
Praktik serupa terlihat di Pertamina yang mencatatkan piutang pemerintah sebagai pendapatan, sehingga meraih laba bersih US$2,6 miliar (Rp 37,2 triliun) pada 2018. Pemicunya tak lain adalah pos pendapatan lainnya senilai US$3,9 miliar, yang muncul berkat kompensasi pemerintah atas selisih harga jual BBM Premium dalam program BBM Satu Harga.
Artinya, tidak ada uang kas yang bisa dipegang dari keuntungan tersebut, karena masih menunggu setoran dari APBN ke Pertamina. Tanpa itu, Pertamina merugi!
Meski tak menyalahi aturan, praktik ini tidak perlu terjadi jika pemerintah realistis dengan tak mewajibkan Holding BUMN Energi ini menjual BBM satu harga di seluruh Indonesia dan memasok premium di area Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Betul bahwa APBN menambal pengeluaran ini, tapi ini tentu langkah mundur karena subsidi BBM bakal membengkak lagi.
Menurut estimasi Tim Riset CNBC Indonesia, alokasi subsidi energi tahun ini bakal membengkak sekitar Rp 40 triliun pada semester kedua tahun ini, dari alokasi awal Rp 157 triliun menjadi Rp 197 triliun. Dari mana untuk menambal itu? Di tengah minimnya rasio pajak di kisaran 11%, utanglah jawabannya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>> 'Pisau Bermata Dua'
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular