Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Indonesia Sudah Terlena, Wajar Ekonomi Lemas bin Loyo

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 July 2019 19:25
Middle Income Trap Jadi Hantu yang Sulit Diusir
Foto: Ilustrasi euro (Rudy and Peter Skitterians from Pixabay)
Dampak dari kurangnya aktivitas industri dalam negeri pun bisa menular ke berbagai sendi perekonomian yang lain.

Salah satunya adalah stabilitas keuangan dalam negeri yang menjadi rentan terhadap gejolak eksternal.

Pasalnya, kala ekspor melemah, neraca transaksi berjalan Indonesia makin terbebani. Transaksi berjalan sendiri merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan karena menggambarkan aliran valas yang hilir mudik dari sektor riil.

Sayangnya, sudah sejak akhir tahun 2011, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit (current account deficit/CAD). Gampangnya, lebih banyak uang yang berhamburan ke luar negeri ketimbang yang masuk (dari sektor riil).

Per akhir tahun 2018, CAD membengkak menjadi US$ 31 miliar, atau setara 2,98% PDB. Itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Tanpa pasokan valas yang memadai, mata uang Indonesia, rupiah, seakan kurang gizi. Dia lemah dalam menghadapi tekanan mata uang lain.

Alhasil nilai tukar rupiah rentan terdepresiasi. Itulah yang terjadi sejak tahun 2011, dimana rupiah punya kecenderungan melemah hingga saat ini. Tercatat pada akhir tahun 2011, kurs rupiah masih Rp 8.990/US$. Sementara hari ini sudah terdepresiasi hingga Rp 14.125/US$.

Tak berhenti sampai di situ saja, karena nilai tukar rupiah juga punya andil pada tingkat konsumsi masyarakat.

Sumber: Badan Pusat Satistik


Perlu dipahami bahwa sebagian besar produk impor yang masuk ke Indonesia adalah golongan barang bahan baku/penolong. Porsinya mencapai 75% dari total impor.

Barang-barang tersebut akan digunakan oleh pabrik-pabrik untuk membuat produk jadi atau setengah jadi. Boleh jadi  produk-produk tersebut dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Kala rupiah melemah, artinya biaya impor bahan baku meningkat. Kan transaksi internasional umumnya menggunakan dolar AS.

Artinya harga bahan baku juga naik. Kemudian diikuti kenaikan harga produk di tingkat konsumen. Pun bila harga di konsumen dapat ditahan, ada korban lain yang harus menanggung akibatnya, yaitu badan usaha. 

Harga bahan baku yang melejit tentu saja akan membuat beban usaha ikut naik. Otomatis, keuntungan badan usaha jadi minim, bahkan berisiko berbalik arah merugi. Alhasil, pendapatan masyarakat juga akan ikut terpangkas dan menyebabkan konsumsi terbatas.

Lihat saja laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang periode 2014-2018 yang berada dalam tren penurunan.

Sumber: Badan Pusat Statistik


Sejatinya, deretan fakta tersebut merupakan tanda-tanda yang harus diwaspadai oleh semua pihak. Sebab, konsumsi rumah tangga masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. dengan porsi 56,01% atas PDB.

Maka dari itu, sudah sewajarnya bila pemerintah, selaku pihak yang memiliki peran penting dalam ekonomi, menaruh perhatian penuh pada masa depan industri pengolahan. Pemerintah bisa memberi stimulus untuk memacu kinerja badan usaha dalam negeri.

Karena mau tidak mau, suka tidak suka, industrialisasi merupakan salah satu jalan keluar dari jebakan jebakan kelas menengah (middle income trap). Jebakan kelas menengah merupakan kondisi dimana pendapatan perkapita penduduk Indonesia hanya bertahan di kelas menengah.

Tanpa adanya gairah industri yang cukup, akan sulit untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa/dru)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular