Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi
Indonesia Sudah Terlena, Wajar Ekonomi Lemas bin Loyo
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 July 2019 19:25

Salah satu penyebab kinerja ekspor yang loyo adalah produk-produk Indonesia kurang memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif merupakan gambaran daya saing dari produk dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan.
Buktinya, produk-produk ekspor Indonesia masih besar disumbang oleh komoditas bahan mentah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah berkali-kali mengatakan hal senada.
"Kita punya kekuatan besar baik SDM (Sumber Daya Manusia) maupun SDA (Sumber Daya Alam). Tapi kita ini senangnya ekspor barang mentah, raw material. Sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak berani masuk hilirisasi, industrialisasi. Karet, raw material, CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit mentah) kita kirim crude-nya, padahal turunannya banyak sekali," ujarnya dalam rakornas BKPM, Selasa (12/3/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia lebih dari 20% disumbang oleh dua komoditas utama, yaitu batu bara dan minyak kelapa sawit.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut boleh jadi terjadi karena sektor industri pengolahan Indonesia yang kurang digenjot. Indikasinya ada pada data andil industri manufaktur terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) yang dapat diolah dari BPS.
Pada tahun 2008, andil manufaktur RI bisa mencapai 27,81%. Dengan andil sebesar itu, Indonesia hanya kalah dari Thailand yang sebesar 30,71%.
Namun di tahun 2018, andil manufaktur RI sudah merosot ke level 19,86%. Artinya dalam 10 tahun terakhir (2008-2018), andil dari produksi industri manufaktur di Indonesia terhadap perekonomian sudah berkurang hingga 7,95 poin persentase.
Bahkan kini, andil manufaktur RI sudah kalah dengan Malaysia. Indonesia juga merupakan negara yang penurunan andil manufakturnya paling tajam diantara negara ASEAN.
Fakta-fakta tersebut merupakan bukti bahwa berbagai badan usaha di Indonesia lebih tergiur untuk menggenjot penjualan barang mentah, ketimbang melakukan pengolahan. Padahal hanya dengan melakukan pengolahan, derajat produk-produk Indonesia bisa terangkat dan memiliki keunggulan kompetitif.
Yah, mau bagaimanapun memang harga-harga komoditas yang membuncah pada periode 2010-2012 memang menjadi daya tarik bagi pelaku usaha untuk menggenjot penjualan barang mentah.
Bayangkan saja pada tahun 2011, harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) bisa mencapai US$ 1.294/ton. Sementara sekarang tinggal US$ 472/ton, atau tidak ada separuhnya.
Ada pula harga batu bara acuan internasional, Newcastle yang pada tahun 2011 mencapai puncaknya di level US$ 137,6/metrik ton. Sedangkan hari ini tinggal US$ 73,3/metrik ton.
Ketidakhadiran stimulus yang bisa membangkitkan gairah industri manufaktur telah menjadikan produk-produk Indonesia semakin jauh dari kata 'nilai tambah'.
Itulah bahaya ketergantungan yang tinggi pada komoditas mentah. Daya saing produk ekspor Indonesia jadi sangat minim.
Bahkan nilai ekspor jadi sangat terpengaruh pada fluktuasi harga komoditas di pasar internasional. Bahayanya, harga komoditas lebih digerakkan oleh mekanisme pasokan-permintaan dan pertumbuhan ekonomi global.
Alhasil saat harga-harga komoditas anjlok, seperti yang terjadi pada periode 2014-2018, kinerja ekspor Tanah Air akan terpukul. Neraca dagang pun berpotensi mengalami defisit yang masif.
Buktinya pada tahun 2018, neraca dagang Indonesia tercatat mengalami defisit sebear US$ 8,7 miliar atau terparah sepanjang sejarah. Itu terjadi saat harga batu bara, CPO, karet, dan beberapa komoditas logam dasar berjatuhan.
Dampaknya juga bisa meluas pada perekonomian secara umum.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> (taa/dru)
Buktinya, produk-produk ekspor Indonesia masih besar disumbang oleh komoditas bahan mentah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah berkali-kali mengatakan hal senada.
"Kita punya kekuatan besar baik SDM (Sumber Daya Manusia) maupun SDA (Sumber Daya Alam). Tapi kita ini senangnya ekspor barang mentah, raw material. Sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak berani masuk hilirisasi, industrialisasi. Karet, raw material, CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit mentah) kita kirim crude-nya, padahal turunannya banyak sekali," ujarnya dalam rakornas BKPM, Selasa (12/3/2019).
Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut boleh jadi terjadi karena sektor industri pengolahan Indonesia yang kurang digenjot. Indikasinya ada pada data andil industri manufaktur terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) yang dapat diolah dari BPS.
Pada tahun 2008, andil manufaktur RI bisa mencapai 27,81%. Dengan andil sebesar itu, Indonesia hanya kalah dari Thailand yang sebesar 30,71%.
Namun di tahun 2018, andil manufaktur RI sudah merosot ke level 19,86%. Artinya dalam 10 tahun terakhir (2008-2018), andil dari produksi industri manufaktur di Indonesia terhadap perekonomian sudah berkurang hingga 7,95 poin persentase.
Bahkan kini, andil manufaktur RI sudah kalah dengan Malaysia. Indonesia juga merupakan negara yang penurunan andil manufakturnya paling tajam diantara negara ASEAN.
Fakta-fakta tersebut merupakan bukti bahwa berbagai badan usaha di Indonesia lebih tergiur untuk menggenjot penjualan barang mentah, ketimbang melakukan pengolahan. Padahal hanya dengan melakukan pengolahan, derajat produk-produk Indonesia bisa terangkat dan memiliki keunggulan kompetitif.
Yah, mau bagaimanapun memang harga-harga komoditas yang membuncah pada periode 2010-2012 memang menjadi daya tarik bagi pelaku usaha untuk menggenjot penjualan barang mentah.
Bayangkan saja pada tahun 2011, harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) bisa mencapai US$ 1.294/ton. Sementara sekarang tinggal US$ 472/ton, atau tidak ada separuhnya.
Ada pula harga batu bara acuan internasional, Newcastle yang pada tahun 2011 mencapai puncaknya di level US$ 137,6/metrik ton. Sedangkan hari ini tinggal US$ 73,3/metrik ton.
Ketidakhadiran stimulus yang bisa membangkitkan gairah industri manufaktur telah menjadikan produk-produk Indonesia semakin jauh dari kata 'nilai tambah'.
Itulah bahaya ketergantungan yang tinggi pada komoditas mentah. Daya saing produk ekspor Indonesia jadi sangat minim.
Bahkan nilai ekspor jadi sangat terpengaruh pada fluktuasi harga komoditas di pasar internasional. Bahayanya, harga komoditas lebih digerakkan oleh mekanisme pasokan-permintaan dan pertumbuhan ekonomi global.
Alhasil saat harga-harga komoditas anjlok, seperti yang terjadi pada periode 2014-2018, kinerja ekspor Tanah Air akan terpukul. Neraca dagang pun berpotensi mengalami defisit yang masif.
Buktinya pada tahun 2018, neraca dagang Indonesia tercatat mengalami defisit sebear US$ 8,7 miliar atau terparah sepanjang sejarah. Itu terjadi saat harga batu bara, CPO, karet, dan beberapa komoditas logam dasar berjatuhan.
Dampaknya juga bisa meluas pada perekonomian secara umum.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> (taa/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular