Mau Turunkan PPh Badan, Pemerintah Sudah Siap Diet Ketat?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
03 July 2019 16:25
Mau Turunkan PPh Badan, Pemerintah Sudah Siap Diet Ketat?
Jakarta, CNBC IndonesiaPresiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkali-kali meminta jajarannya untuk menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan atau korporasi.

Pasalnya saat ini kalangan pengusaha merasa besaran PPh Badan yang sebesar 25% terlalu tinggi.

Bagaimana sebenarnya kondisi saat ini?

Memang, sudah sejak tahun 2010, besaran PPh Badan diatur menjadi 25%. Sebelum itu, besaran PPh badan mencapai 28%.

Jika dibandingkan dengan rata-rata pajak korporasi di negara ASEAN yang sebesar 22,35%, memang PPh Badan Indonesia lebih besar. Pun dibandingkan dengan rata-rata pajak korporasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang hanya 23,69%, PPh Badan Indonesia juga lebih tinggi.

Jadi wajar apabila pengusaha meminta untuk diturunkan, dan Jokowi tampak setuju.

Namun perlu diingat bahwa besaran PPh Badan tidak sama rata 25% untuk setiap perusahaan. Ada batasan-batasan yang dapat membedakan besaran pajaknya.

Sebagai contoh, perusahaan wajib pajak dalam negeri yang memiliki omzet kurang dari Rp 4,8 miliar diberikan diskon 50% dari tarif awal 25%.

Gampangnya, bila perusahaan tersebut memiliki penghasilan kena pajak (PKP) sebesar Rp 100 juta, maka PPh Badan yang harus dibayar hanya Rp 12,5 juta (50% x Rp 25 juta). Ada pula diskon tarif sebesar 5% yang diberikan kepada perusahaan yang melantai bursa.

Kini, Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah mempertimbangkan untuk menurunkan tarif PPh Badan atau korporasi menjadi 20%.

"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan.

Bagaimana dampaknya?

Sama seperti kebanyakan kebijakan pemerintah yang lain, penurunan tarif PPh Badan memiliki dampak di dua alam.

Di satu sisi, badan usaha di Indonesia bisa mendapat gairah lebih karena jumlah pajak yang harus dibayar berkurang dari biasanya. Hal itu sesungguhnya baik bagi iklim usaha di Indonesia. Apalagi untuk yang berorientasi pada ekspor.

Semakin sedikit pengeluaran, artinya modal modal kerja juga bisa meningkat. Harapannya, pertumbuhan kegiatan usaha bisa digenjot.

Bayangkan saja, misalkan perusahaan A dengan nilai PKP Rp 10 triliun biasanya membayar PPh Badan sebesar Rp 2,5 triliun. Bila benar PPh Badan turun menjadi 20%, maka besar pajak yang harus dibayar turun menjadi Rp 2 triliun. Ada cadangan Rp 500 miliar yang bisa digunakan kembali untuk menggenjot kinerja perusahaan.

Untuk perusahaan-perusahaan eksportir, artinya akan semakin banyak penjualan barang ke luar negeri.

Dalam hal ini, tentunya Presiden berharap defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bisa dikurangi dengan ekspor yang semakin kencang. Namun, semua hal-hal baik tersebut tampaknya tidak akan dapat terasa dengan signifikan dalam jangka waktu yang pendek. 

BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>>

Beauty is pain.

Kiasan yang sering menjadi motivasi seorang supermodel tersebut tampaknya juga bisa menggambarkan dilema penurunan PPh Badan. Jika supermodel butuh diet ketat agar tetap langsing, pemerintah pun demikian. Kala PPh Badan diturunkan, maka potensi pendapatan pemerintah juga bisa turun banyak.

Sebagaimana yang diketahui, hingga saat ini keberjalanan pemerintahan Indonesia masih bergantung pada pajak.

Faktanya, 68% dari total pendapatan negara tahun 2018 berasal dari penerimaan perpajakan. Artinya tanpa penghasilan pajak yang memadai, aktivitas pemerintahan kemungkinan akan lumpuh.

Ditilik lebih lanjut, porsi PPh Badan dalam struktur penerimaan perpajakan Indonesia ternyata sangat besar.

Di tahun 2018, total PPh Badan yang diterima pemerintah mencapai Rp 252,13 triliun atau 16,65% dari total penerimaan perpajakan. Jumlah yang cukup signifikan untuk mempengaruhi penerimaan perpajakan.

Katakan benar PPh Badan turun menjadi 20%. Dengan begitu, jumlah penerimaan PPh Badan yang semula Rp 252,13 triliun (tahun acuan 2018) bisa turun menjadi Rp 201,7 triliun. Berkurang hingga Rp 50,43 triliun.

Sejatinya bukan hanya itu saja, karena ada potensi pertumbuhan penerimaan PPh Badan yang juga bisa turun turun.

Berkaca pada tahun 2010, dimana kala itu tarif PPh Badan turun dari 28% menjadi 25%, pertumbuhan penerimaan pajak korporasi hanya 9,2%. Agaknya amat jauh dibanding pertumbuhan penerimaan PPh Badan tahun 2018 (dimana besaran tarif tetap 25%) yang mencapai 22%.

Melihat data-data tersebut, pemerintah akan dihadapi pada risiko pembengkakan defisit anggaran jika skenario penurunan PPh Badan benar dilakukan.

Kecuali mulai saat ini Jokowi dan jajarannya sudah mulai memutar otak untuk bisa mewujudkan rencana tersebut dengan lancar.

Siapa Jadi Tumbal?

Yah, ada satu pilihan dimana pemerintah bisa mengambil utang lebih banyak demi menutup defisit anggaran. Toh, Sri Mulyani sudah sering mengatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih aman. Masih di kisaran 30%, yang mana jauh dari batas 60% seperti yang ditetapkan Undang-Undang (UU).

Pun ada pilihan lain, yaitu memangkas anggaran subsidi. Gelagat pemangkasan subsidi juga sudah mulai diperlihatkan pemerintah.

Salah satunya subsidi listrik.

Pada hari Selasa (25/6/2019), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa pihaknya berencana mengurangi atau bahkan menghentikan pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN.

Sebagai informasi, kompensasi itu diberikan pemerintah karena Biaya Pokok Pengadaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi ketimbang harga jualnya. Jumlahnya tak main-main, mencapai Rp 23 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(taa/dru) Next Article Tok! PPh Badan Turun ke 22% di 2020 dan 20% di 2022

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular