Tarif Listrik Belum Naik, Tapi Subsidi & Kompensasi Dipangkas

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
03 July 2019 12:06
Tahun ini pemerintah belum mau naikkan tarif listrik, tapi rencana tahun depan akan memangkas subsidi dan kompensasi untuk PLN.
Foto: Pegawai PLN di memasang listrik di wilayah 3 T. (Dok PLN)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana mengurangi subsidi listrik untuk anggaran 2020, yang diajukan turun dari semula Rp 65 triliun menjadi Rp 58,62 triliun.

Tidak hanya subsidi saja, tetapi juga pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN (Persero) yang kemungkinan akan disetop.

Memang, isu kenaikan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai kembali mencuat. Dua kebijakan ini digadang-gadang akan diambil Jokowi sebagai kebijakan gila untuk menyelamatkan kondisi ekonomi dan BUMN negeri ini. 



Apalagi, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengakui, penyesuaian tarif listrik memang akan diberlakukan pada 2020 mendatang, untuk 12 golongan pelanggan listrik non-subsidi, yakni Rumah Tangga R-1/TR (1.300 VA dan 2.200 VA), R-2/TR 3.500 VA sampai dengan 5.500 VA dan R-3/TR 6.600 VA keatas, Bisnis Besar, Industri Besar, Pemerintah, dan Layanan Khusus.

"Di 2020, untuk sementara sampai saat ini, agar mengurangi beban APBN, Pak Jonan (Menteri ESDM) ambil kebijakan untuk terapkan tariff adjustment, artinya tidak ditahan lagi. Akan diterapkan tiap tiga bulan, sehingga beban APBN akan berkurang. Tariff adjusment mudah-mudahan lancar dan kompensasi jadi nol," tutur Rida saat dijumpai di kantornya, di Jakarta, Selasa (2/7/2019).



Rida pun menegaskan, penyesuaian tarif bukan berarti tarif listrik akan naik, karena bisa juga turun. Sebabnya yakni menyesuaikan pergerakan kurs dan harga minyak. 

Malu-Malu Naikkan Tarif Listrik
Indikasi kenaikan tarif terbaca dari sinyal yang diberikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada pekan lalu saat rapat bersama DPR RI. Pada Selasa (25/6/2019), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menyebutkan, Kemenkeu berencana untuk mengurangi atau bahkan menyetop pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN (Persero).

Kompensasi ini diberikan oleh pemerintah kepada PLN, karena perusahaan listrik itu tidak melakukan penyesuaian tarif listrik, di saat biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi dibandingkan dengan harga jualnya. Hal ini sudah dilakukan sejak 2017 lalu, sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlahnya Rp 23,17 triliun.

Nah, apabila pemberian kompensasi ini dikurangi atau bahkan dihentikan, Plt Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, maka mau tidak mau konsekuensinya adalah dilakukan penyesuaian tarif listrik agar PLN tetap bisa menjamin keandalan pasokan listrik. Atau, dengan kata lain, tarif listrik untuk golongan tertentu bisa mengalami kenaikan.

"Ya iya, mau tidak mau PLN lakukan penyesuaian tarif, kalau tidak nanti mati listriknya," ujar Djoko saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Kendati demikian, Djoko kembali menegaskan, penentuan tarif listrik merupakan kebijakan pemerintah. "Semua diputuskan di pemerintah, bukan di kami. Kalau kami hanya berusaha supaya harga itu bisa murah," imbuhnya.

Di sisi lain, tanpa adanya kompensasi tadi, bisa jadi yang tercetak di laporan keuangan PLN adalah kerugian, bukan keuntungan. 

Sepanjang 2018, PLN berhasil mengantongi keuntungan hingga Rp 11,57 triliun atau naik 162,31% secara tahunan dibandingkan capaian laba bersih di 2017 yang tercatat sebesar Rp 4,41 triliun. 

Uniknya, laba bersih meroket kala pendapatan perusahaan tumbuh relatif stagnan dengan hanya mencatatkan kenaikan 6,89% year-on-year (YoY) menjadi Rp 272,9 triliun dari sebelumnya Rp 255,3 triliun.

Jika ditilik lebih detil dari laporan keuangan, laba bersih perusahaan ini berhasil meroket karena tahun lalu PLN menerima tambahan pemasukan yang tercatat di pos pendapatan kompensasi dan pos penghasilan lainnya.

Nah, andai saja tidak ada pembayaran kompensasi dan pembayaran piutang pemerintah, alih-alih mencatatkan keuntungan, PLN justru akan tekor dan membukukan kerugian sebelum pajak hingga Rp 10,73 triliun.

Hal ini disebabkan, sepanjang tahun lalu biaya bahan bakar terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas alam naik signifikan. 



Biaya BBM melonjak 36,12% secara tahunan, dari Rp 23,32 triliun menjadi Rp 31,74 triliun. Sedangkan biaya gas alam naik 16,46% menjadi Rp 55,44 triliun dari sebelumnya senilai Rp 47,6 triliun.

Adapun, selain soal tarif listrik, kenaikan harga BBM pun tak luput disebut sebagai salah satu kebijakan 'gila' Jokowi di periode kedua nanti.

Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.

"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Denni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.

Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.

Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), pada 2014 lalu. Tidak sampai dua bulan setelah dilantik, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.

Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat.


(gus) Next Article Tok! Pemerintah Resmi Tak Naikkan Tarif Listrik 2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular