Bila Tarif Listrik Naik, Ini yang Akan Terkena Dampaknya

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 July 2019 18:37
Pemerintah telah memberi sinyal akan memangkas besaran subsidi listrik tahun anggaran 2020.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2014-2019 akan segera berakhir. Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi sekali lagi akan menduduki kursi kepresidenan untuk periode 2019-2024.

Kini, pemerintah tengah mengkaji Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020. Salah satu bahasan penting dalam kajian tersebut adalah subsidi listrik.

Sebagaimana telah diketahui, sejak tahun 2017 pemerintah tidak pernah lagi melakukan penyesuaian tarif listrik. Bagi 12 golongan pelanggan non-subsidi, tarif listrik tetap bertahan pada kisaran Rp 997/kwh hingga Rp 1.645/kwh. Rinciannya:
  • Tujuh Golongan Tegangan Rendah (TR): Rp 1.467/kwh
  • Tiga Golongan Tegangan Menengah (TM): Rp 1.116/kwh
  • Satu Golongan Tegangan Tinggi (TT): Rp 997/kwh
  • Satu Golongan Layanan Khusus: Rp 1.645/kwh
Sementara bagi 26 golongan pelanggan subsidi, tarif listrik juga masih bertahan sejak tahun 2017. Sebagai contoh untuk golongan Rumah Tangga 450 VA dan 900 VA masing-masing masih sebesar Rp 415.kwh dan Rp 605/kwh.

Sumber: Kementerian ESDM


Untuk tetap mempertahankan tarif tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan anggaran subsidi sebesar Rp 58,62 triliun di tahun 2020.

Nilai tersebut sedikit lebih rendah ketimbang anggaran subsidi listrik tahun 2019 yang mencapai Rp 65,32 triliun. Sebagai catatan anggaran subsidi listrik 2019 sudah termasuk kurang bayar pemerintah (carry over) di tahun anggaran sebelumnya (2018) sebesar Rp 6 triliun.

Usulan anggaran subsidi listrik yang lebih rendah tersebut tampaknya lebih disebabkan oleh perubahan parameter perhitungan.

Contohnya asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tahun 2020 yang hanya sebesar US$ 60/barel, turun dari tahun 2019 yang sebesar US$ 70/barel. Ada pula nilai tukar rupiah yang menguat ke posisi Rp 14.000/US$ dari Rp 15.000/US$.

Sumber: Kementerian ESDM


Alhasil, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di tahun 2020 diasumsikan turun menjadi Rp 1.337,42 dari yang semula Rp 1.429,58 di tahun 2019. Dengan asumsi dan usulan subsidi tersebut, tarif listrik dapat kembali dipertahankan.

Namun belakangan ini, ada sinyal-sinyal dari pemerintah untuk memangkas besaran subsidi tersebut.

Pada hari Selasa (25/6/2019), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa pihaknya berencana mengurangi atau bahkan menghentikan pemberian kompensasi tarif listrik kepada PT PLN.

Sebagai informasi, kompensasi itu diberikan pemerintah karena BPP tenaga listrik beberapa golongan pelanggan lebih tinggi ketimbang harga jualnya. Hampir seluruhnya adalah 26 golongan pelanggan subsidi (seperti yang dijelaskan sebelumnya).

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jumlahnya mencapai Rp 23,17 triliun di tahun 2018.

Jika saja benar biaya kompensasi tersebut dipangkas habis, maka anggaran subsidi listrik kemungkinan besar akan berkurang sebanyak itu. Bisa jadi anggaran subsidi listrik yang disetujui nanti hanya sebesar Rp 35,45 triliun. Hampir separuh dari usulan.

Siapa yang akan dikorbankan?

Jika benar itu dilakukan, maka kemungkinan besar seluruh golongan pelanggan PLN akan mengalami kenaikan tarif.

Pasalnya, berdasarkan kajian Kementerian ESDM, sebagian besar atau 78,05% penikmat subsidi listrik hanya 3 golongan saja, dan seluruhnya adalah Rumah Tangga (R-1). Rinciannya adalah sebagai berikut:
  • R-1/ 450 VA
  • R-1/ 900 VA
  • R-1/ 900 VA-RTM
Tiga golongan tersebut saja akan menghabiskan anggaran subsidi Rp 45,75 triliun.

Itu artinya, anggaran subsidi, bila hanya Rp 35,45 triliun, tidak akan mencukupi untuk menahan harga listrik tiga golongan tersebut. Bahkan jika 23 golongan lainnya tidak mendapat subsidi sama sekali.

Foto: Taufan Adharsyah


Maka dari itu, bila saja benar pemerintah akan memangkas biaya kompensasi kepada PLN sebesar Rp 23,17 triliun, sudah pasti tarif listrik, baik untuk golongan subsidi maupun non-subsidi akan naik. Tanpa terkecuali.

Kenaikan tarif (meski tidak menyebut target spesifik) sempat dikonfirmasi oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN, Djoko Abumanan. Menurut dirinya, penyesuaian tarif diperlukan untuk menjamin keandalan pasokan listrik bila biaya kompensasi benar dikurangi.

"Ya iya, mau tidak mau PLN lakukan penyesuaian tarif, kalau tidak nanti mati listriknya," ujar Djoko saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Mengapa subsidi harus dikurangi?

Sebagai informasi, hingga saat ini pemerintah masih melakukan diskusi atas masalah ini.

Namun, jika melihat perbandingan harga listrik dengan negara-negara tetangga, Indonesia memang terbilang murah.

Sebagai contoh tarif listrik non-subsidi untuk rumah tangga Indonesia saat ini Rp 1.467/kwh. Sementara di Singapura dan Filipina masing-masing sebesar Rp 2.546/kwh dan Rp 2.437/kwh.

Sumber: Kementerian ESDM


Bahkan untuk golongan bisnis menengah, tarif Indonesia yang sebesar Rp 1.467/kwh lebih rendah ketimbang Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam yang masing-masing sebesar Rp 1.749/kwh, Rp 1.839/kwh, dan Rp 1.583/kwh, dan Rp 1.751/kwh.

Selain itu, anggaran subsidi listrik pemerintah sejatinya mengalami lonjakan sejak tahun 2018. Akibat kenaikan harga minyak, anggaran subsidi tahun 2018 yang sebesar Rp 48,1 triliun tidak cukup sehingga harus dilimpahkan ke anggaran tahun 2019 sebesar Rp 6 triliun.

Kala itu rata-rata harga minyak Brent melonjak menjadi US$ 71,06/barel dari tahun sebelumnya yang hanya US$ 54,76. Parahnya, di tahun 2018 pemerintah menetapkan harga minyak mentah hanya sebesar US$ 48/barel. Dampaknya, realisasi anggaran subsidi listrik membengkak hingga 118,6% dari target.

Bila Subsidi Listrik Dipangkas, Siapa yang Jadi Korban?Sumber:Kementerian ESDM


Ketergantungan ketersediaan listrik terhadap subsidi yang begitu besar membuat anggaran pemerintah mudah goyah. Salah-salah defisit bisa tak terkendali. Untuk menutup defisit, utang adalah solusi yang paling praktis.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Pengumuman! Subsidi Listrik dan LPG Mau Diubah Pakai Kartu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular