
Apakah Pemangkasan Subsidi Energi Cukup 'Gila' Bagi Jokowi?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 June 2019 20:36

Dengan menaikkan harga BBM, pemerintah bisa menghemat biaya subsidi energi yang pada masa kepemimpinan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) amatlah besar.
Sebagai gambaran, pada tahun 2012, anggaran yang dihabiskan pemerintah untuk subsidi Premium dan Solar mencapai Rp 171,91 triliun atau 11,53% dari total belanja pemerintah. Sementara pada tahun 2015, subsidi Premium dan Solar hanya Rp 31,67 triliun atau 1,75% dari total belanja pemerintah alias turun sangat jauh.
Hasilnya, pemerintah bisa mengalokasikan dana lebih untuk pos anggaran yang lain. Melihat perubahan pos anggaran Jokowi dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya pilihannya adalah infrastruktur.
Tengok saja anggaran belanja infrastruktur sejak tahun 2014 hingga 2018 selalu mengalami peningkatan. Pada APBN 2018 anggarannya mencapai Rp 410 triliun. Pada periode yang sama, anggaran subsidi energi terus dipangkas, dari yang awalnya Rp 453 triliun menjadi tinggal 94,5 triliun.
Dengan anggaran infrastruktur yang jumbo, pembangunan sarana dan prasarana di era Jokowi memang sangat kasat mata. Harapannya, infrastruktur yang memadai akan membuat gairah ekonomi Tanah Air terangkat.
Namun sayangnya, dampak pembangunan infrastruktur tidak dapat dilihat dalam jangka waktu yang pendek. Butuh proses yang panjang karena harus menunggu barangnya jadi hingga bisa beroperasi. Tak jarang memakan waktu bertahun-tahun.
Terbukti, meskipun infrastruktur digenjot, kinerja industri manufaktur dan ekspor masih belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand).
Pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur sepanjang 2015-2018 juga masih selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara total. Sebuah indikasi gairah masyarakat untuk menjual barang mentah masih lebih besar ketimbang mengolah dan memberi nilai tambah.
Prospek ekonomi yang seharusnya makin bagus akibat infrastruktur yang memadai juga masih tidak mampu meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia.
Sepanjang periode 2015-2018, rata-rata pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya sebesar 6,84% jauh lebih rendah ketimbang rata-rata periode 2011-2014 yang mencapai 20,26%. Lesu.
Jangan salah, bukan berarti pembangunan infrastruktur tidak penting. Hanya saja, untuk membereskan permasalahan perekonomian saat ini, infrastruktur masih belum bisa memperlihatkan kontribusi yang kasat mata. Diperlukan waktu yang lebih dari 5 tahun.
Untuk itu, jika benar Jokowi ingin menyelesakan permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dalam masa jabatan 2019-2024, diperlukan lebih dari pemangkasan subsidi untuk menggenjot infrastruktur.
Sebagai gambaran, pada tahun 2012, anggaran yang dihabiskan pemerintah untuk subsidi Premium dan Solar mencapai Rp 171,91 triliun atau 11,53% dari total belanja pemerintah. Sementara pada tahun 2015, subsidi Premium dan Solar hanya Rp 31,67 triliun atau 1,75% dari total belanja pemerintah alias turun sangat jauh.
Hasilnya, pemerintah bisa mengalokasikan dana lebih untuk pos anggaran yang lain. Melihat perubahan pos anggaran Jokowi dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya pilihannya adalah infrastruktur.
Dengan anggaran infrastruktur yang jumbo, pembangunan sarana dan prasarana di era Jokowi memang sangat kasat mata. Harapannya, infrastruktur yang memadai akan membuat gairah ekonomi Tanah Air terangkat.
Namun sayangnya, dampak pembangunan infrastruktur tidak dapat dilihat dalam jangka waktu yang pendek. Butuh proses yang panjang karena harus menunggu barangnya jadi hingga bisa beroperasi. Tak jarang memakan waktu bertahun-tahun.
Terbukti, meskipun infrastruktur digenjot, kinerja industri manufaktur dan ekspor masih belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Tengok saja pertumbuhan ekspor sepanjang 2014-2016 yang selalu negatif alias berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan pada periode tersebut pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling kecil dibanding empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand).
Pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur sepanjang 2015-2018 juga masih selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara total. Sebuah indikasi gairah masyarakat untuk menjual barang mentah masih lebih besar ketimbang mengolah dan memberi nilai tambah.
Prospek ekonomi yang seharusnya makin bagus akibat infrastruktur yang memadai juga masih tidak mampu meningkatkan minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia.
Sepanjang periode 2015-2018, rata-rata pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya sebesar 6,84% jauh lebih rendah ketimbang rata-rata periode 2011-2014 yang mencapai 20,26%. Lesu.
Jangan salah, bukan berarti pembangunan infrastruktur tidak penting. Hanya saja, untuk membereskan permasalahan perekonomian saat ini, infrastruktur masih belum bisa memperlihatkan kontribusi yang kasat mata. Diperlukan waktu yang lebih dari 5 tahun.
Untuk itu, jika benar Jokowi ingin menyelesakan permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dalam masa jabatan 2019-2024, diperlukan lebih dari pemangkasan subsidi untuk menggenjot infrastruktur.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa)
Pages
Most Popular