
Apakah Pemangkasan Subsidi Energi Cukup 'Gila' Bagi Jokowi?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 June 2019 20:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu crazy policy, atau kebijakan 'gila' Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menjadi perhatian masyarakat akhir-akhir ini.
Berulang kali Jokowi mengaku sudah tidak memiliki beban selepas memenangi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019. Oleh karena, dia berniat untuk mengeluarkan kebijakan yang 'gila'.
"Saya dalam lima tahun ke depan Insya Allah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya saat menemui Aktivis '98 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
Bicara soal beban, Jokowi memang sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden pada perhelatan pemilu 2024. Kebijakan apapun itu, baik berdampak buruk maupun baik, tetap tidak akan mengubah fakta tersebut.
Akan tetapi, banyak pihak masih belum bisa melihat dengan jelas makna dari 'kegilaan' yang dimaksud oleh Jokowi. Kebijakan sableng macam apa yang akan ditunjukkan Presiden?
Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.
"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Deni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.
Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Tidak sampai dua bulan setelah dilantik menjadi presiden tahun 2014, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat.
Bahkan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga bensin merupakan salah satu komoditas bukan makanan yang berpengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan (4,4% perkotaan dan 3,65% perdesaan per September 2018). Artinya, kenaikan harga BBM (apalagi jika sangat signifikan) berisiko membuat angka kemiskinan semakin tinggi. Tentu bukan hal yang baik.
Namun, pada beberapa aspek menaikkan harga BBM tidak sepenuhnya buruk.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Berulang kali Jokowi mengaku sudah tidak memiliki beban selepas memenangi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019. Oleh karena, dia berniat untuk mengeluarkan kebijakan yang 'gila'.
"Saya dalam lima tahun ke depan Insya Allah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya saat menemui Aktivis '98 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
Akan tetapi, banyak pihak masih belum bisa melihat dengan jelas makna dari 'kegilaan' yang dimaksud oleh Jokowi. Kebijakan sableng macam apa yang akan ditunjukkan Presiden?
Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.
"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Deni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.
Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Tidak sampai dua bulan setelah dilantik menjadi presiden tahun 2014, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat.
Bahkan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga bensin merupakan salah satu komoditas bukan makanan yang berpengaruh besar terhadap tingkat kemiskinan (4,4% perkotaan dan 3,65% perdesaan per September 2018). Artinya, kenaikan harga BBM (apalagi jika sangat signifikan) berisiko membuat angka kemiskinan semakin tinggi. Tentu bukan hal yang baik.
Namun, pada beberapa aspek menaikkan harga BBM tidak sepenuhnya buruk.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Next Page
Infrastruktur Agaknya Kurang 'Gila'
Pages
Most Popular