
Kemenkeu Sebar Insentif Pajak Properti, Ngaruh Enggak?
Lydia Sembiring, CNBC Indonesia
27 June 2019 10:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan batasan harga rumah yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di berbagai daerah. Kenaikan ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.010/2019, yang terbit tanggal 20 Mei 2019.
PMK ini merupakan perbaikan dari PMK Nomor 113/PMK.03/2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007.
Executive Director MUC Tax Research Institute, Wahyu Nuryanto mengatakan, dengan dikeluarkannya PMK 81 ini maka, dukungan pemerintah terhadap sektor properti sudah sangat jor-joran yang dimulai sejak 2016.
Pada 2016, pemerintah mengawali dukungan ini dengan adanya Program Nasional 1 Juta Rumah sebagai perwujudan dari butir kedua Nawacita, melalui Paket Kebijakan Ekonomi XIII. Berikutnya dukungan dalam bentuk penyederhanaan peraturan dan percepatan proses perizinan mendirikan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Setidaknya dari 33 perizinan properti dipangkas jadi 11 perizinan, di mana tujuh perizinan dihilangkan dan tiga perizinan digabungkan. Melalui paket deregulasi tersebut diharapkan biaya pengurusan izin properti berkurang 70% dan waktu mengurus izin dapat dipangkas dari 981 hari menjadi 44 hari," ujar Wahyu melalui keterangan resmi yang dikutip CNBC Indonesia, Kamis (27/6/2019).
Namun, paket kebijakan tersebut ternyata tidak cukup untuk menggairahkan industri properti nasional yang lesu dalam 3-4 tahun terakhir.
Kini, hadir hadir PMK 81 yakni insentif berupa relaksasi batasan harga properti bebas PPN terutama untuk rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan lainnya.
Tidak cukup dengan itu, pemerintah menaikkan batasan maksimal nilai hunian mewah yang bebas PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) sebesar 20% dari harga jual menjadi Rp 30 miliar. Ditambah lagi dengan menurunkan tarif PPh Pasal 22 untuk hunian mewah di atas Rp 30 miliar dari sebelumnya 5% menjadi 1%.
Namun, ia menilai meski banyak insentif yang dikeluarkan, ini belum tentu efektif untuk menggerakkan industri properti. Pasalnya melalui kebijakan insentif pajak tersebut, pemerintah dinilai tengah berupaya untuk memperluas objek pajak di sektor properti.
Apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, bank tentu akan berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan prefer memperkuat cadangan likuiditasnya. Apalagi dengan ditahannya bunga acuan Bank Indonesia membuat kemungkinan bunga kredit perbankan akan sulit untuk turun.
"Berkaca pada berbagai relaksasi aturan KPR selama ini, ternyata belum cukup mampu mendorong pertumbuhan industri properti nasional. Terutama untuk hunian kelas menengah ke atas, meski pasokannya mengalami peningkatan tetapi dari sisi penyerapan [permintaan] mengalami penurunan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir," jelasnya.
Menurutnya, melemahnya permintaan hunian atau investasi di sektor properti kemungkinan besar lebih karena faktor kondisi makro ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Sementara itu, pemilik modal akan cenderung mengamankan asetnya dengan memilih instrumen investasi save haven seperti emas, ketimbang properti atau pasar modal.
"Bagi masyarakat menengah ke bawah, rumah menjadi kebutuhan yang harus dikalahkan oleh kebutuhan yang lebih pokok seperti pangan. Faktor suku bunga dan persyaratan kredit bank juga masih menyulitkan MBR untuk bisa memiliki rumah saat ini."
Menanti bangkitnya sektor properti, simak ulasannya.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Kapan Aturan Terbaru Pajak Barang Mewah untuk Mobil Dirilis?
PMK ini merupakan perbaikan dari PMK Nomor 113/PMK.03/2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007.
Executive Director MUC Tax Research Institute, Wahyu Nuryanto mengatakan, dengan dikeluarkannya PMK 81 ini maka, dukungan pemerintah terhadap sektor properti sudah sangat jor-joran yang dimulai sejak 2016.
Pada 2016, pemerintah mengawali dukungan ini dengan adanya Program Nasional 1 Juta Rumah sebagai perwujudan dari butir kedua Nawacita, melalui Paket Kebijakan Ekonomi XIII. Berikutnya dukungan dalam bentuk penyederhanaan peraturan dan percepatan proses perizinan mendirikan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Setidaknya dari 33 perizinan properti dipangkas jadi 11 perizinan, di mana tujuh perizinan dihilangkan dan tiga perizinan digabungkan. Melalui paket deregulasi tersebut diharapkan biaya pengurusan izin properti berkurang 70% dan waktu mengurus izin dapat dipangkas dari 981 hari menjadi 44 hari," ujar Wahyu melalui keterangan resmi yang dikutip CNBC Indonesia, Kamis (27/6/2019).
Namun, paket kebijakan tersebut ternyata tidak cukup untuk menggairahkan industri properti nasional yang lesu dalam 3-4 tahun terakhir.
Kini, hadir hadir PMK 81 yakni insentif berupa relaksasi batasan harga properti bebas PPN terutama untuk rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan lainnya.
Tidak cukup dengan itu, pemerintah menaikkan batasan maksimal nilai hunian mewah yang bebas PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) sebesar 20% dari harga jual menjadi Rp 30 miliar. Ditambah lagi dengan menurunkan tarif PPh Pasal 22 untuk hunian mewah di atas Rp 30 miliar dari sebelumnya 5% menjadi 1%.
Namun, ia menilai meski banyak insentif yang dikeluarkan, ini belum tentu efektif untuk menggerakkan industri properti. Pasalnya melalui kebijakan insentif pajak tersebut, pemerintah dinilai tengah berupaya untuk memperluas objek pajak di sektor properti.
Apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, bank tentu akan berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan prefer memperkuat cadangan likuiditasnya. Apalagi dengan ditahannya bunga acuan Bank Indonesia membuat kemungkinan bunga kredit perbankan akan sulit untuk turun.
"Berkaca pada berbagai relaksasi aturan KPR selama ini, ternyata belum cukup mampu mendorong pertumbuhan industri properti nasional. Terutama untuk hunian kelas menengah ke atas, meski pasokannya mengalami peningkatan tetapi dari sisi penyerapan [permintaan] mengalami penurunan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir," jelasnya.
Menurutnya, melemahnya permintaan hunian atau investasi di sektor properti kemungkinan besar lebih karena faktor kondisi makro ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Sementara itu, pemilik modal akan cenderung mengamankan asetnya dengan memilih instrumen investasi save haven seperti emas, ketimbang properti atau pasar modal.
"Bagi masyarakat menengah ke bawah, rumah menjadi kebutuhan yang harus dikalahkan oleh kebutuhan yang lebih pokok seperti pangan. Faktor suku bunga dan persyaratan kredit bank juga masih menyulitkan MBR untuk bisa memiliki rumah saat ini."
Menanti bangkitnya sektor properti, simak ulasannya.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Kapan Aturan Terbaru Pajak Barang Mewah untuk Mobil Dirilis?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular