
Dear Pak Menhub, Daripada O-Bahn Mending Urus Bus di Daerah
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
24 June 2019 15:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pengembangan O-Bahn, sebuah moda transportasi perpaduan antara spesifikasi Bus Rapid Transit (BRT) dan Light Rail Transit (LRT) yang digelontorkan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya menuai kritik.
Pengembangan O-Bahn dianggap memakan biaya investasi yang tinggi, sehingga lebih baik melakukan pengembangan sistem bus yang programnya sudah sempat direncanakan pemerintah.
Budi Karya mendapatkan tugas dari Presiden Jokowi untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar Indonesia, antara lain Surabaya, Bandung, Makassar, Medan, Palembang, Yogyakarta dan beberapa kota yang lain. O-bhan memang sudah beroperasi di beberapa negara seperti Jerman, Australia, dan Jepang.
"Sekarang muncul wacana Kemenhub untuk mengoperasikan O-Bhan sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city lebih baik diabaikan saja," kata anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, Senin (24/6)
Djoko beralasan Keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya. Selain itu, regulasi untuk menerapkan O-Bahn di Indonesia belum ada.
"Bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi," katanya.
Ia juga bilang teknologi pengembangan O-Bahn tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. "Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," kata Djoko.
Menurutnya daripada berwacana mengembangkan O-Bahn, lebih Kemenhub melaksanakan program yang sudah ada untuk pengembangan transportasi umum bus di daerah. Ia bilang pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sudah punya program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service. Jadi, sistem pengelolaannya yang harus dibangun daripada bersusah-susah membangun teknologi O-Bahn.
Program bus dengan sistem buy the service rencananya akan diberikan pada 6 perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar (Sarbagita), dan lokasi anggaran sudah disiapkan.
"Selama lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah," katanya.
Ia memberikan catatan, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat dalam pengelolaan transportasi bus. Padahal, penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
"Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada," katanya.
Ia mengatakan pemilik armada bisa bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan. Program ini murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar per tahun. Namun, persisnya tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
"Setiap koridor dapat mempekerjakan 150 -200 pekerja tetap," katanya.
Djoko mengatakan kelebihan program bus di daerah dengan konsep buy the service, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, seperti perlintasan khusus pada O-Bahn. Namun, cukup dengan jaringan jalan yang sudah. Selain itu, tidak perlu ada bangunan halte, jika belum punya anggaran, cukup diberikan rambu pemberhentian bus ( stop bus). Pilihan bus berlantai rendah (low deck) atau nomal (normal deck).
"Bus jenis ini sudah banyak dioperasikan oleh PT Trans Jakarta dan bikinan karoseri dalam negeri," katanya.
Ia menambahkan konsep Buy the service memang lebih mudah dan murah, tapi bukan berarti tidak memerlukan teknologi baru, hanya sistemnya saja yang baru. Konsep ini memindahkan atau mengalihkan dari sistem setoran ke sistem gaji bulanan, bukan menggusur operator yang sudah beroperasi. Operator yang ada tetap beroperasi dengan pola manajemen baru yang lebih sehat.
"Buy the service bukan menggusur tetapi menggeser," tegasnya.
Ia mengatakan persiapan hingga operasi membutuhkan hanya waktu 6-8 bulan berdasarkan pengalaman di Jawa Tengah. "Jika mau dioperasikan awal tahun 2020, mulai sekaranglah persiapan dilakukan," serunya.
Djoko menyarankan Kemenhub dan para pemda bisa belajar dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jateng yang sudah lebih dulu menerapkan program buy the service pada bus.
(hoi/hoi) Next Article New Normal Tarif Transportasi Bakal Makin Mahal, Kenapa?
Pengembangan O-Bahn dianggap memakan biaya investasi yang tinggi, sehingga lebih baik melakukan pengembangan sistem bus yang programnya sudah sempat direncanakan pemerintah.
Budi Karya mendapatkan tugas dari Presiden Jokowi untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar Indonesia, antara lain Surabaya, Bandung, Makassar, Medan, Palembang, Yogyakarta dan beberapa kota yang lain. O-bhan memang sudah beroperasi di beberapa negara seperti Jerman, Australia, dan Jepang.
Djoko beralasan Keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya. Selain itu, regulasi untuk menerapkan O-Bahn di Indonesia belum ada.
"Bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi," katanya.
Ia juga bilang teknologi pengembangan O-Bahn tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. "Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja," kata Djoko.
Menurutnya daripada berwacana mengembangkan O-Bahn, lebih Kemenhub melaksanakan program yang sudah ada untuk pengembangan transportasi umum bus di daerah. Ia bilang pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sudah punya program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service. Jadi, sistem pengelolaannya yang harus dibangun daripada bersusah-susah membangun teknologi O-Bahn.
Program bus dengan sistem buy the service rencananya akan diberikan pada 6 perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar (Sarbagita), dan lokasi anggaran sudah disiapkan.
"Selama lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah," katanya.
Ia memberikan catatan, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat dalam pengelolaan transportasi bus. Padahal, penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
"Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada," katanya.
Ia mengatakan pemilik armada bisa bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan. Program ini murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar per tahun. Namun, persisnya tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
"Setiap koridor dapat mempekerjakan 150 -200 pekerja tetap," katanya.
Djoko mengatakan kelebihan program bus di daerah dengan konsep buy the service, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, seperti perlintasan khusus pada O-Bahn. Namun, cukup dengan jaringan jalan yang sudah. Selain itu, tidak perlu ada bangunan halte, jika belum punya anggaran, cukup diberikan rambu pemberhentian bus ( stop bus). Pilihan bus berlantai rendah (low deck) atau nomal (normal deck).
"Bus jenis ini sudah banyak dioperasikan oleh PT Trans Jakarta dan bikinan karoseri dalam negeri," katanya.
Ia menambahkan konsep Buy the service memang lebih mudah dan murah, tapi bukan berarti tidak memerlukan teknologi baru, hanya sistemnya saja yang baru. Konsep ini memindahkan atau mengalihkan dari sistem setoran ke sistem gaji bulanan, bukan menggusur operator yang sudah beroperasi. Operator yang ada tetap beroperasi dengan pola manajemen baru yang lebih sehat.
"Buy the service bukan menggusur tetapi menggeser," tegasnya.
Ia mengatakan persiapan hingga operasi membutuhkan hanya waktu 6-8 bulan berdasarkan pengalaman di Jawa Tengah. "Jika mau dioperasikan awal tahun 2020, mulai sekaranglah persiapan dilakukan," serunya.
Djoko menyarankan Kemenhub dan para pemda bisa belajar dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jateng yang sudah lebih dulu menerapkan program buy the service pada bus.
(hoi/hoi) Next Article New Normal Tarif Transportasi Bakal Makin Mahal, Kenapa?
Most Popular