Tak Dapat Durian Runtuh Perang Dagang, Apa Jurus Indonesia?

Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
13 June 2019 17:58
Pengusaha menganggap Indonesia masih punya peluang di tengah terjadinya perang dagang AS dan China.
Foto: Ekspor Menurun, Neraca Perdagangan Indonesia dirundung Mendung (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong ekspor barang-barang konsumsi lebih agresif ke pasar Amerika Serikat, di tengah perang dagang AS-China yang eskalasinya meningkat. Ini bisa jadi peluang agar Indonesia bisa dapat "durian runtuh" imbas perang dagang yang justru menguntungkan sebagian negara.

Perang dagang antara AS dan China justru telah menguntungkan Vietnam, Chile, Malaysia, Argentina, dan Thailand. Dalam laporan perusahaan riset keuangan asal Jepang, Nomura, Indonesia tak masuk dalam daftar negara yang dapat benefit.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, masih ada peluang Indonesia ada di sisi ekspor barang konsumsi seperti tekstil dan alas kaki, mebel serta produk perikanan. Pasalnya, dengan ekskalasi perang dagang terakhir, hampir semua barang konsumsi asal China akan terkena dampaknya.



"Hampir semua produk ekspor unggulan Indonesia ke AS akan diuntungkan apabila eksportir Indonesia bisa memacu skala produksi dan efisiensi produksinya di dalam negeri sehingga lebih bersaing di pasar AS terhadap pemasok/kompetitor dari negara lain selain China," kata Shinta ketika dihubungi, Rabu (12/6/2019).

Peningkatan ini, lanjut Shinta, khususnya akan sangat terasa pada pertumbuhan ekspor furniture & produk perkayuan Indonesia ke AS karena produk ini tidak hanya merupakan barang konsumsi yang bersaing dengan China, tapi juga produk tersier yang diuntungkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik & daya beli masyarakat AS. Di samping itu, Indonesia juga berpeluang menerima investasi yang lebih besar dari China, khususnya untuk industri manufaktur dengan teknologi yang cukup sophisticated, terutama apabila kebijakan perang dagang seperti yang diumumkan ini akan bertahan lebih dari satu tahun sejak 1 Juni 2018.

"Hal ini karena peningkatan tarif terhadap produk manufaktur China sudah pada puncaknya sehingga apabila kebijakan ini bertahan lebih lama, pelaku usaha manufaktur China akan tertekan untuk mencari basis produksi baru yg tidak diblokir oleh AS," ujarnya.

Shinta meyakini, Indonesia bisa menjadi salah satu kandidat relokasi industri manufaktur China apabila iklim investasi di Tanah Air cukup bersaing untuk merangkul dan mengundang pelaku usaha China untuk berinvestasi di Indonesia.

"Basis industri kita sudah cukup baik walaupun kurang efisien apabila dibanding dengan China atau bahkan Thailand. Jadi kunci untuk menangkap peluang ekspor dan investasi ini ada di peningkatan iklim usaha dan iklim investasi di Indonesia sendiri," terangnya.



Menurut Shinta, dunia usaha di sektor yanag disebutkan di atas sudah mulai membuka peluang tersebut, walaupun masih bermasalah dalam kecepatan dan daya saing.

"Produk kita mana yang bisa lebih kompetitif dibanding negara lain seperti Vietnam," pungkasnya.

(hoi) Next Article Inggris Ancam Organisasi yang Sembunyikan Koneksi ke Xinjiang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular