
Indonesia Tak Dapat Durian Runtuh Perang Dagang, Kenapa?
Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
12 June 2019 18:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi perang dagang antara AS dan China telah menguntungkan sejumlah negara, di antaranya Vietnam, Chile, Malaysia, Argentina, dan Thailand. Dalam laporan perusahaan riset keuangan asal Jepang, Nomura, Indonesia tak masuk dalam daftar negara yang mendapat "durian runtuh" dari imbas perang dagang.
Importir dari AS dan China berusaha menghindari pengenaan bea impor tinggi yang dikenakan masing-masing pemerintahnya dengan cara mengalihkan pesanan mereka ke negara-negara tersebut yang tidak dikenakan bea masuk tinggi.
Vietnam bahkan berhasil meraup tambahan nilai dagang hingga setara 7,9% PDB-nya sepanjang kuartal I-2019 dari pengalihan dagang (trade diversion) dari dampak perang dagang. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, komoditi utama AS dan China yang terdampak perang tarif tidak akan bisa dipindahkan secara keseluruhan ke negara-negara lain untuk tetap memenuhi kebutuhan masing-masing negara.
Tiga komoditi impor utama AS yang dialihkan dari China adalah produk elektronik dan komponennya, mesin listrik, serta furnitur dan mebel. Adapun tiga komoditi impor China yang dialihkan dari AS adalah kedelai, pesawat terbang dan komponennya, serta gandum.
"Kita akan mencari peluang, opportunity seperti itu. Tapi kalau kita bandingkan dengan damage-nya, dampak negatif dari perang dagang itu jauh lebih besar," kata Enggar di kantornya, Rabu (12/6/2019).
Enggar mencontohkan jatuhnya penjualan dan harga saham Huawei, sebagai pabrik chip dan komponen yang dirakit di AS, serta disuplai dari Eropa banyak yang ditutup. Hal ini mengakibatkan pengurangan tenaga kerja serta melemahnya perekonomian di negara bersangkutan.
Selain itu, dari sisi ekspor, Enggar menilai perang dagang ini justru akan menyebabkan inflasi dan penurunan daya beli di negara-negara yang terdampak kenaikan bea masuk. Multiplier effect ini akan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia yang selama ini pasar ekspornya ke negara yang kena dampak perang dagang.
"Bayangkan saja beberapa waktu lalu ada komoditi senilai US$ 260 miliar yang bea masuknya naik antar kedua negara itu. Berapa dampak inflasi dan pelemahan daya beli di masing-masing negara?" ujar Enggar.
Namun, menurut Enggar masih ada peluang untuk mendapatkan imbas positif adanya perang dagang. Ia bilang Indonesia bisa meningkatkan ekspor tekstil ke Amerika Serikat sebagai upaya mengisi kekosongan pasokan di negeri Paman Sam yang selama ini diimpor dari China.
Ia mengklaim kenaikan ekspor tekstil Indonesia ke AS,mencapai 25%. Importir AS juga meminta asosiasi tekstil Tanah Air untuk datang ke berbagai negara bagian AS.
"Waktu saya ke AS tahun lalu, saya negosiasi pembelian kapas dan kedelai mereka dengan produk tekstil kita. Makin banyak tekstil yang you beli dari saya, makin banyak kapas yang saya impor. Saya minta AS berikan pangsa pasar tekstil dan pakaian yang selama ini diimpor dari Vietnam dan China," jelas Enggar.
Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengaku pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan ekspor ke AS dan China secara signifikan. Menurut Oke, para eksportir Tanah Air nampaknya belum memanfaatkan peluang pengalihan dagang tersebut.
"Belum terlihat signifikan. Dari komoditas perdagangan yang dikenakan tarif itu, saya belum melihat eksportir kita memanfaatkan penuh [baik permintaan dari AS maupun China]," kata Oke dalam kesempatan yang sama.
"Lonjakan permintaan dari kedua negara itu belum ada. Pengalihan ekspor ini belum ada, buktinya kita masih terjadi defisit perdagangan," kata Oke.
(hoi) Next Article Inggris Ancam Organisasi yang Sembunyikan Koneksi ke Xinjiang
Importir dari AS dan China berusaha menghindari pengenaan bea impor tinggi yang dikenakan masing-masing pemerintahnya dengan cara mengalihkan pesanan mereka ke negara-negara tersebut yang tidak dikenakan bea masuk tinggi.
Tiga komoditi impor utama AS yang dialihkan dari China adalah produk elektronik dan komponennya, mesin listrik, serta furnitur dan mebel. Adapun tiga komoditi impor China yang dialihkan dari AS adalah kedelai, pesawat terbang dan komponennya, serta gandum.
"Kita akan mencari peluang, opportunity seperti itu. Tapi kalau kita bandingkan dengan damage-nya, dampak negatif dari perang dagang itu jauh lebih besar," kata Enggar di kantornya, Rabu (12/6/2019).
Enggar mencontohkan jatuhnya penjualan dan harga saham Huawei, sebagai pabrik chip dan komponen yang dirakit di AS, serta disuplai dari Eropa banyak yang ditutup. Hal ini mengakibatkan pengurangan tenaga kerja serta melemahnya perekonomian di negara bersangkutan.
Selain itu, dari sisi ekspor, Enggar menilai perang dagang ini justru akan menyebabkan inflasi dan penurunan daya beli di negara-negara yang terdampak kenaikan bea masuk. Multiplier effect ini akan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia yang selama ini pasar ekspornya ke negara yang kena dampak perang dagang.
"Bayangkan saja beberapa waktu lalu ada komoditi senilai US$ 260 miliar yang bea masuknya naik antar kedua negara itu. Berapa dampak inflasi dan pelemahan daya beli di masing-masing negara?" ujar Enggar.
Namun, menurut Enggar masih ada peluang untuk mendapatkan imbas positif adanya perang dagang. Ia bilang Indonesia bisa meningkatkan ekspor tekstil ke Amerika Serikat sebagai upaya mengisi kekosongan pasokan di negeri Paman Sam yang selama ini diimpor dari China.
Ia mengklaim kenaikan ekspor tekstil Indonesia ke AS,mencapai 25%. Importir AS juga meminta asosiasi tekstil Tanah Air untuk datang ke berbagai negara bagian AS.
"Waktu saya ke AS tahun lalu, saya negosiasi pembelian kapas dan kedelai mereka dengan produk tekstil kita. Makin banyak tekstil yang you beli dari saya, makin banyak kapas yang saya impor. Saya minta AS berikan pangsa pasar tekstil dan pakaian yang selama ini diimpor dari Vietnam dan China," jelas Enggar.
Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengaku pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan ekspor ke AS dan China secara signifikan. Menurut Oke, para eksportir Tanah Air nampaknya belum memanfaatkan peluang pengalihan dagang tersebut.
"Belum terlihat signifikan. Dari komoditas perdagangan yang dikenakan tarif itu, saya belum melihat eksportir kita memanfaatkan penuh [baik permintaan dari AS maupun China]," kata Oke dalam kesempatan yang sama.
"Lonjakan permintaan dari kedua negara itu belum ada. Pengalihan ekspor ini belum ada, buktinya kita masih terjadi defisit perdagangan," kata Oke.
(hoi) Next Article Inggris Ancam Organisasi yang Sembunyikan Koneksi ke Xinjiang
Most Popular