
Dampak Perang Dagang, China Relokasi Industri ke ASEAN?
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
12 June 2019 13:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan perang dagang antara AS dan China sangat berdampak bagi Indonesia. Banyak investor yang menilai berisiko untuk berinvestasi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Apalagi, sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda kesepakatan yang ditunjukkan oleh kedua negara adidaya tersebut untuk berdamai. Tentunya, ini akan membuat risiko berinvestasi di negara berkembang semakin tinggi.
"Di triwulan I, itu memang ada penurunan arus investasi portfolio ke Indonesia. Di triwulan IV tahun lalu, investasi ke Indonesia masuk US$10,5 miliar, di triwulan I tahun ini turun jadi US$5,4 miliar. Terutama karena ketidakpastian dampak dari pernah dagang," ujarnya di Ruang Rapat Banggar, Selasa (11/6/2019) malam.
Menurutnya, masih ada peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan investasi ke depannya. Apalagi, kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang memberikan sinyal tidak akan ada kenaikan suku bunga hingga akhir tahun ini. Terutama karena perekonomian AS yang turun menjadi 2,2% dan tahun depan diperkirakan hanya 1,9%.
"Dengan demikian, memang ini jadi peluang daya tarik portfolio ke negara berkembang, termasuk Indonesia, sepanjang imbal hasil menarik dan risiko ya terjaga," jelasnya.
Di bidang Penanaman Modal Asing (PMA), ia mengatakan ini akan sama dengan yang terjadi terhadap Jepang di tahun 80'an dulu. Dimana juga terjadi perang dagang antara Jepang dan AS.
Jepang bisa bangkit dari hal itu dengan melakukan relokasi industri ke kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya Jepang, Korea Selatan juga melakukan relokasi industri sejak mengalami krisis. Nah hal ini dinilai akan dilakukan juga oleh China.
"Kami lihat juga ada potensi relokasi industri dari China ke South East Asia, termasuk Indonesia. Yang sudah disampaikan Bu Menteri, bagaimana meningkatkan daya saing, perbaikan iklim investasi, manufaktur, itu kebijakan yang bagus karena ini jadi daya tarik untuk memanfaatkan peluang PMA," tegasnya.
(dru) Next Article Saat Bos BI Diving di Bali Sampai Lombok Promosi Pariwisata
Apalagi, sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda kesepakatan yang ditunjukkan oleh kedua negara adidaya tersebut untuk berdamai. Tentunya, ini akan membuat risiko berinvestasi di negara berkembang semakin tinggi.
"Di triwulan I, itu memang ada penurunan arus investasi portfolio ke Indonesia. Di triwulan IV tahun lalu, investasi ke Indonesia masuk US$10,5 miliar, di triwulan I tahun ini turun jadi US$5,4 miliar. Terutama karena ketidakpastian dampak dari pernah dagang," ujarnya di Ruang Rapat Banggar, Selasa (11/6/2019) malam.
![]() |
Menurutnya, masih ada peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan investasi ke depannya. Apalagi, kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang memberikan sinyal tidak akan ada kenaikan suku bunga hingga akhir tahun ini. Terutama karena perekonomian AS yang turun menjadi 2,2% dan tahun depan diperkirakan hanya 1,9%.
"Dengan demikian, memang ini jadi peluang daya tarik portfolio ke negara berkembang, termasuk Indonesia, sepanjang imbal hasil menarik dan risiko ya terjaga," jelasnya.
Di bidang Penanaman Modal Asing (PMA), ia mengatakan ini akan sama dengan yang terjadi terhadap Jepang di tahun 80'an dulu. Dimana juga terjadi perang dagang antara Jepang dan AS.
Jepang bisa bangkit dari hal itu dengan melakukan relokasi industri ke kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya Jepang, Korea Selatan juga melakukan relokasi industri sejak mengalami krisis. Nah hal ini dinilai akan dilakukan juga oleh China.
"Kami lihat juga ada potensi relokasi industri dari China ke South East Asia, termasuk Indonesia. Yang sudah disampaikan Bu Menteri, bagaimana meningkatkan daya saing, perbaikan iklim investasi, manufaktur, itu kebijakan yang bagus karena ini jadi daya tarik untuk memanfaatkan peluang PMA," tegasnya.
(dru) Next Article Saat Bos BI Diving di Bali Sampai Lombok Promosi Pariwisata
Most Popular