
Zaman Jokowi, Blok Migas Rp 288 T Mangkrak 20 Tahun Diteken!
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
13 June 2019 17:40

Jakarta, CNBC Indonesia- Masela bukan nama seorang wanita, tapi nama blok minyak dan gas (migas) yang perjalanan investasinya penuh drama. Terkatung-katung selama 20 tahun, akhirnya blok dengan potensi raksasa ini menemui titik cerah.
Riwayat Blok Masela
Drama Blok Masela dimulai pada 1998, saat operator blok tersebut yakni Inpex menerima kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) selama 30 tahun untuk sumber gas yang berada di perairan selatan Maluku ini.
Pada saat melakukan eksplorasi di tahun 2000, kontraktor kemudian menemukan ladang gas Abadi dengan potensi 6,97 triliun kaki kibuk (tcf) gas. Di blok itu juga terdapat Shell yang memiliki saham 35%.
Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan rancangan pengembangan atau PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang berganti nama jadi SKK Migas.
Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.
Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi LNG tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.
Di sinilah tarik ulur Masela terjadi, yang semula di PoD pertama fasilitas LNG ditempatkan di laut. Kemudian ada pendapat yang mengatakan lebih baik fasilitas LNG Masela ditempatkan di darat karena akan membawa dampak lebih luas ke masyarakat.
Perselisihan darat dan laut ini sempat membuat tegang hubungan Menteri ESDM yang saat itu dijabat oleh Sudirman Said dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Sudirman berkeras di laut sesuai PoD I, dan Rizal Ramli dengan rombongan alumni ITB atas nama Fortuga mendorong di darat.
Pada Maret 2016, keributan ini diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan mengatakan pengembangan proyek LNG Masela dilakukan onshore atau di darat. Tak lama, sang presiden melakukan perombakan kabinet dan mendepak dua menteri tersebut dari kursi menteri.
Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar.
Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
Syaratnya adalah;
1. Peningkatan kapasitas kilang dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMSCFD
2. Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun, mengingat banyak waktu terbuang dalam hal negosiasi yang membuat kontraktor tak bisa segera memasukkan investasi mereka
3. Inpex meminta besaran IRR 15%
4. Inpex dan Shell meminta pengembalian seluruh biaya yang telah dikucurkan mereka mulai dari eksplorasi hingga pembuatan POD Floating LNG sebesar US$ 1,6 miliar
5. Percepatan proses perizinan, agar bisa diproduksi mulai 2027.
Negosiasi Dikebut Tahun Ini
Poin-poin tersebut bolak-balik dinegosiasikan, biaya yang membengkak memang benar tak bisa dihindari. Sesuai prediksi 2016, investasi di blok ini bakal menelan biaya hingga US$ 20 miliar atau Rp 288 triliun.
Nah, biaya investasi ini memiliki risiko tersendiri mengingat skema bagi hasil yang digunakan masih menggunakan skema lama yakni cost recovery atau penggantian biaya. Biasanya bagi hasilnya adalah 40% kontraktor dan 60% pemerintah.
Kepastian datang dari Jepang sejak kedatangan Jonan Mei 2019 lalu ke negeri sakura tersebut. Mengingat skema masih cost recovery, SKK Migas pun mengawasi ketat proposal yang diajukan oleh Inpex agar semua biaya terpantau. Tak tanggung-tanggung, lembaga ini bahkan memanggil konsultan asing untuk ikut menilai dan mengawasi.
Kunjungan Menteri ESDM Ignasius Jonan ke Jepang pada 27 Mei berbuah solusi yang dinilai pemerintah "win-win", yakni dengan bagi hasil 50%-50%.
"Akhirnya Inpex dan SKK MIGAS sepakat atas pokok-pokok pengembangan Blok Masela sore ini di Tokyo," kata Jonan melalui pesan singkat, Senin.
"Nilai investasi antara US$18 miliar (Rp 259,1 triliun) - US$20 miliar (Rp 288 triliun) dengan pembagian yang fair bagi Negara RI dan kontraktor. Saya sampai terharu," lanjutnya.
Kelanjutan pertemuan ini adalah dengan penandatanganan Head of Agreement PoD Blok Masela di gelaran G20 pekan ini.
Hal ini diungkap oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto saat berbincang dengan CNBC Indonesia.
"Malam ini kami berangkat ke Jepang, penandatanganannya belum tahu pasti tapi jadwalnya untuk penandatanganan dari 15 sampai 17 Juni," kata Djoko, Kamis (13/6/2019).
Djoko hanya menjawab dengan senyum saat ditanya tentang apakah momen penandatanganan tersebut termasuk dengan perjanjian rencana pengembangan atau Plan of Development Masela. "Lihat saja nanti," jawabnya mantap.
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Sutjipto kemarin mengatakan bahwa memang sedang diupayakan agar ada penandatanganan Blok Masela di gelaran G20 di Jepang.
"Nanti Inpex akan ada nota penandatanganan tentang pokok-pokok kerja sama yang disebut Head of Agreement (HoA), mudah-mudahan bisa di pertengahan bulan ini kalau bisa. Semua effort maksimal, mudah-mudahan PoD-nya bisa di akhir bulan," ujar Dwi saat dijumpai di gedung Kementerian ESDM, Senin (10/6/2019).
Saksikan video menanti akhir drama blok Masela di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus/hoi) Next Article Pindah ke Darat, Proyek Masela Masih Terkatung-Katung
Riwayat Blok Masela
Drama Blok Masela dimulai pada 1998, saat operator blok tersebut yakni Inpex menerima kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) selama 30 tahun untuk sumber gas yang berada di perairan selatan Maluku ini.
Pada saat melakukan eksplorasi di tahun 2000, kontraktor kemudian menemukan ladang gas Abadi dengan potensi 6,97 triliun kaki kibuk (tcf) gas. Di blok itu juga terdapat Shell yang memiliki saham 35%.
Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.
Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi LNG tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.
Di sinilah tarik ulur Masela terjadi, yang semula di PoD pertama fasilitas LNG ditempatkan di laut. Kemudian ada pendapat yang mengatakan lebih baik fasilitas LNG Masela ditempatkan di darat karena akan membawa dampak lebih luas ke masyarakat.
Perselisihan darat dan laut ini sempat membuat tegang hubungan Menteri ESDM yang saat itu dijabat oleh Sudirman Said dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Sudirman berkeras di laut sesuai PoD I, dan Rizal Ramli dengan rombongan alumni ITB atas nama Fortuga mendorong di darat.
Pada Maret 2016, keributan ini diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan mengatakan pengembangan proyek LNG Masela dilakukan onshore atau di darat. Tak lama, sang presiden melakukan perombakan kabinet dan mendepak dua menteri tersebut dari kursi menteri.
Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar.
Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
Syaratnya adalah;
1. Peningkatan kapasitas kilang dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMSCFD
2. Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun, mengingat banyak waktu terbuang dalam hal negosiasi yang membuat kontraktor tak bisa segera memasukkan investasi mereka
3. Inpex meminta besaran IRR 15%
4. Inpex dan Shell meminta pengembalian seluruh biaya yang telah dikucurkan mereka mulai dari eksplorasi hingga pembuatan POD Floating LNG sebesar US$ 1,6 miliar
5. Percepatan proses perizinan, agar bisa diproduksi mulai 2027.
Negosiasi Dikebut Tahun Ini
Poin-poin tersebut bolak-balik dinegosiasikan, biaya yang membengkak memang benar tak bisa dihindari. Sesuai prediksi 2016, investasi di blok ini bakal menelan biaya hingga US$ 20 miliar atau Rp 288 triliun.
Nah, biaya investasi ini memiliki risiko tersendiri mengingat skema bagi hasil yang digunakan masih menggunakan skema lama yakni cost recovery atau penggantian biaya. Biasanya bagi hasilnya adalah 40% kontraktor dan 60% pemerintah.
Kepastian datang dari Jepang sejak kedatangan Jonan Mei 2019 lalu ke negeri sakura tersebut. Mengingat skema masih cost recovery, SKK Migas pun mengawasi ketat proposal yang diajukan oleh Inpex agar semua biaya terpantau. Tak tanggung-tanggung, lembaga ini bahkan memanggil konsultan asing untuk ikut menilai dan mengawasi.
Kunjungan Menteri ESDM Ignasius Jonan ke Jepang pada 27 Mei berbuah solusi yang dinilai pemerintah "win-win", yakni dengan bagi hasil 50%-50%.
"Akhirnya Inpex dan SKK MIGAS sepakat atas pokok-pokok pengembangan Blok Masela sore ini di Tokyo," kata Jonan melalui pesan singkat, Senin.
"Nilai investasi antara US$18 miliar (Rp 259,1 triliun) - US$20 miliar (Rp 288 triliun) dengan pembagian yang fair bagi Negara RI dan kontraktor. Saya sampai terharu," lanjutnya.
Kelanjutan pertemuan ini adalah dengan penandatanganan Head of Agreement PoD Blok Masela di gelaran G20 pekan ini.
Hal ini diungkap oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto saat berbincang dengan CNBC Indonesia.
"Malam ini kami berangkat ke Jepang, penandatanganannya belum tahu pasti tapi jadwalnya untuk penandatanganan dari 15 sampai 17 Juni," kata Djoko, Kamis (13/6/2019).
Djoko hanya menjawab dengan senyum saat ditanya tentang apakah momen penandatanganan tersebut termasuk dengan perjanjian rencana pengembangan atau Plan of Development Masela. "Lihat saja nanti," jawabnya mantap.
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Sutjipto kemarin mengatakan bahwa memang sedang diupayakan agar ada penandatanganan Blok Masela di gelaran G20 di Jepang.
"Nanti Inpex akan ada nota penandatanganan tentang pokok-pokok kerja sama yang disebut Head of Agreement (HoA), mudah-mudahan bisa di pertengahan bulan ini kalau bisa. Semua effort maksimal, mudah-mudahan PoD-nya bisa di akhir bulan," ujar Dwi saat dijumpai di gedung Kementerian ESDM, Senin (10/6/2019).
Saksikan video menanti akhir drama blok Masela di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus/hoi) Next Article Pindah ke Darat, Proyek Masela Masih Terkatung-Katung
Most Popular