
Di Balik Rekor Buruk Defisit Dagang April 2019
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
16 May 2019 10:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan Indonesia sepanjang bulan April 2019 yang tercatat membukukan defisit sebesar US$ 2,5 miliar.
Tak tanggung-tanggung, ini merupakan defisit bulanan yang paling parah sepanjang sejarah RI. Sebelumnya, defisit paling parah hanya sebesar US$ 2,3 miliar yang terjadi pada bulan Juli 2013.
Penyebab utama pembengkakan defisit neraca dagang kali ini ada pada kinerja ekspor yang sangat memprihatinkan. Sepanjang bulan April, Indonesia hanya mampu mencetak ekspor senilai US$ 12,6 miliar, atau turun hingga 10,8% dibandingkan April 2018 (year-on-year/YoY).
Kinerja ekspor paling buruk ada pada sektor migas yang hanya mampu mengekspor US$ 740 juta, atau turun hingga 37,06% YoY.
Namun, sejatinya ekspor migas memang sudah seharusnya turun karena saat ini minyak jatah ekspor produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebagian besar dibeli oleh Pertamina. Selain itu ekspor migas hanya memiliki andil 5,89% terhadap total ekspor bulan lalu.
Seharusnya yang menjadi sorotan adalah kinerja ekspor non migas karena menyumbang hingga 94,11% dari total ekspor sepanjang bulan April. Parahnya, ekspor-non migas tercatat hanya sebesar US$ 11,86 miliar, atau turun hingga 10,96% YoY.
Sektor industri pengolahan, yang merupakan komponen terbesar penyusun non migas, kali ini amblas hingga 11,82% YoY menjadi tinggal US$ 9,42 miliar.
Harga-harga komoditas yang berjatuhan menjadi salah satu penyebab utama buruknya kinerja ekspor non-migas. Itulah yang menyebabkan nilai ekspor komoditas utama Indonesia anjlok. Bahkan berdasarkan data BPS, lima komoditas ekspor utama Indonesia pada bulan April 2019 mendapat rapor merah alias terkontraksi secara YoY.
Contohnya, ekspor golongan barang Bahan Bakar Mineral (HS 27) yang hanya mencapai US$ 7,58 miliar sepanjang Januari-April 2019 atau turun 6,82% secara YoY. Padahal, secara volume ekspor HS 27 masih mengalami peningkatan. Itu terjadi karena harga batu bara turun cukup tajam.
Sama halnya dengan ekspor Lemak dan Minyak Hewan/Nabati (HS 15), yang terkontraksi hingga 19,88% YoY menjadi hanya US$ 5,43 miliar sepanjang Januari-April. Harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang turun juga menjadi penyebab terjadinya hal itu. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, volume ekspor CPO masih mengalami peningkatan, namun karena harga anjlok alhasil nilai ekspor turun tajam.
"Nilai ekspor bahan bakar mineral turun karena adanya penurunan harga, begitu pula minyak nabati. Selama satu tahun memang harga CPO dan turunannya turun cukup tajam, 27,86%. Dan kalau lihat per negara, ekspor CPO ke China meningkat, sedangkan ke India menurun," kata Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (15/5/2019).
(dru) Next Article Impor RI Anjlok Tanda Industri Tak Berjalan Normal
Tak tanggung-tanggung, ini merupakan defisit bulanan yang paling parah sepanjang sejarah RI. Sebelumnya, defisit paling parah hanya sebesar US$ 2,3 miliar yang terjadi pada bulan Juli 2013.
Penyebab utama pembengkakan defisit neraca dagang kali ini ada pada kinerja ekspor yang sangat memprihatinkan. Sepanjang bulan April, Indonesia hanya mampu mencetak ekspor senilai US$ 12,6 miliar, atau turun hingga 10,8% dibandingkan April 2018 (year-on-year/YoY).
Namun, sejatinya ekspor migas memang sudah seharusnya turun karena saat ini minyak jatah ekspor produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebagian besar dibeli oleh Pertamina. Selain itu ekspor migas hanya memiliki andil 5,89% terhadap total ekspor bulan lalu.
Seharusnya yang menjadi sorotan adalah kinerja ekspor non migas karena menyumbang hingga 94,11% dari total ekspor sepanjang bulan April. Parahnya, ekspor-non migas tercatat hanya sebesar US$ 11,86 miliar, atau turun hingga 10,96% YoY.
Sektor industri pengolahan, yang merupakan komponen terbesar penyusun non migas, kali ini amblas hingga 11,82% YoY menjadi tinggal US$ 9,42 miliar.
Harga-harga komoditas yang berjatuhan menjadi salah satu penyebab utama buruknya kinerja ekspor non-migas. Itulah yang menyebabkan nilai ekspor komoditas utama Indonesia anjlok. Bahkan berdasarkan data BPS, lima komoditas ekspor utama Indonesia pada bulan April 2019 mendapat rapor merah alias terkontraksi secara YoY.
Contohnya, ekspor golongan barang Bahan Bakar Mineral (HS 27) yang hanya mencapai US$ 7,58 miliar sepanjang Januari-April 2019 atau turun 6,82% secara YoY. Padahal, secara volume ekspor HS 27 masih mengalami peningkatan. Itu terjadi karena harga batu bara turun cukup tajam.
Sama halnya dengan ekspor Lemak dan Minyak Hewan/Nabati (HS 15), yang terkontraksi hingga 19,88% YoY menjadi hanya US$ 5,43 miliar sepanjang Januari-April. Harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang turun juga menjadi penyebab terjadinya hal itu. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, volume ekspor CPO masih mengalami peningkatan, namun karena harga anjlok alhasil nilai ekspor turun tajam.
"Nilai ekspor bahan bakar mineral turun karena adanya penurunan harga, begitu pula minyak nabati. Selama satu tahun memang harga CPO dan turunannya turun cukup tajam, 27,86%. Dan kalau lihat per negara, ekspor CPO ke China meningkat, sedangkan ke India menurun," kata Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (15/5/2019).
(dru) Next Article Impor RI Anjlok Tanda Industri Tak Berjalan Normal
Most Popular