Buruh Sepak Bola Eropa Sejahtera? Tidak Juga!

Hidayat Setiaji & Roy Franedya, CNBC Indonesia
01 May 2019 19:35
Buruh Sepak Bola Eropa Sejahtera? Tidak Juga!
Lionel Messi (REUTERS/Albert Gea)
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggapan masyarakat awam terhadap pesepak bola profesional di Eropa tentu sangat wah. Profesi kelas atas, bergelimang harta dan kemewahan.  

Namun terkadang orang lupa, pesepak bola pun adalah buruh. Walau memiliki faktor produksi, yaitu tubuhnya sendiri, pesepak bola bekerja di sebuah perusahaan, dalam hal ini klub. Adalah klub yang menggaji mereka, memberi bonus, dan fasilitas-fasilitas lainnya. 

Pemain sepak bola dengan gaji terbesar di planet bumi adalah Lionel Messi. Dewa Sepak Bola asal Argentina ini menerima gaji US$ 84 juta (Rp 1,2 triliun dengan kurs saat ini) per tahun dari klub raksasa Spanyol, FC Barcelona.

Tidak cuma Messi, para pemain sepak bola yang bermain di klub-klub top Eropa juga dicitrakan sebagai para miliarder. Rumah besar, mobil mewah, jet pribadi, berkencan dengan super model top, menggelar pesta gila-gilaan, adalah gambaran betapa sejahteranya buruh sepak bola. 


Akan tetapi, tidak selamanya cerita kehidupan para pesepak bola seindah itu. Bahkan di Eropa, pesepak bola pun bisa terancam penghasilannya. Contoh yang paling gampang adalah gaji yang tidak dibayar. 

Ini kasus yang menerpa salah satu klub di Inggris, Bolton Wanderers. Bolton memang tidak pernah menjadi klub elit di Negeri Ratu Elizabeth, tetapi The Trotters sempat dikena sebagai kuda hitam yang merepotkan kekuatan-kekuatan mapan. 

Jay Jay Okocha (sehebat itu talenta si gelandang Nigeria sehingga namanya harus disebut dua kali), Ivan Campo, El Hadji Diouf, atau Jussi Jaaskelainen, adalah sejumlah nama tenar yang pernah membela Bolton. Kenangan terindah Bolton mungkin terjadi pada 14 Februari 2008. 

Pada Hari Kasih Sayang itu, Bolton berhasil menekuk Atletico Madrid (Spanyol) di babak 32 besar Piala UEFA (kini Liga Europa). Padahal Atletico bukan tim sembarangan, saat itu masih diperkuat oleh Jose Antonio Reyes, Maxi Rodriguez, Simao Sabrosa, sampai Sergio 'Kun Aguero. 

Namun kemenangan itu hanya memori masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kondisi Bolton yang sekarang. Kini Bolton adalah klub bermasalah yang terlilit utang dan tidak bisa membayar gaji para buruhnya. 

Manajemen Bolton gagal membayar gaji pemain periode Maret. Pemain pun murka, dan mogok bertanding. Akibatnya, laga Bolton vs Brentford di Divisi Championship (satu setrip di bawah Liga Primer) akhir pekan lalu ditunda. Jika Bolton tidak bisa menyiapkan skuat untuk bertanding sampai waktu yang sudah ditentukan, maka diputuskan walkout dan mendapat sanksi pengurangan 3 poin. 

"Kondisi keuangan klub menyebabkan gangguan psikologis, emosional, dan keuangan orang-orang di sini, walau itu bukan salah mereka. Juga menyebabkan kendala untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya," sebut keterangan tertulis para pemain Bolton, mengutip BBC. 

Bolton sendiri sudah resmi terdegradasi, dan musim depan akan bermain di League One. Hal ini semakin mempersulit keuangan klub, karena pemasukan tentu akan berkurang signifikan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sejak terlempar dari Liga Primer pada 2012, Bolton terus mengalami langkah mundur. Prestasi klub semakin merosot, dan puncaknya adalah musim ini di mana mereka sudah dipastikan terdegradasi sebelum musim berakhir. 

Tidak cuma dari sisi prestasi di lapangan, keuangan klub pun semakin morat-marit. Pada akhir 2015, Bolton tercatat memiliki utang GBP 172,9 juta (Rp 3,34 triliun). 

Masalah semakin pelik karena klub yang bermarkas di Reebok Stadium ini menunggak pajak. Pada 2015, Her Majesty's Revenue and Customs menegaskan bahwa Bolton punya utang pajak mencapai GBP 2,2 juta (Rp 41,07 miliar). 


Ken Anderson, pemilik Bolton, akhirnya melambaikan tangan ke kamera. Menyerah. Klub pun diberi label for sale. Namun proses pengambilalihan ini tidak begitu lancar.

Beberapa waktu lalu sempat ada kabar ketertarikan dari Laurence Bassini, eks pemilik Watford. Bassini bukan nama yang enak didengar di dunia sepak bola Negeri John Bull. Kala menjual Watford ke Gino Pozzo (pemilik klub Udinese di Italia) pada 2012, Watford menuding Bassini masih berutang GBP 1,5 juta (Rp 27,99 miliar) yang sampai sekarang belum jelas nasibnya. 

Terhadap Bolton pun Bassini terlihat memberi harapan palsu. Sikapnya yang maju-mundur membuat keuangan Bolton tidak terselamatkan dan akhirnya gagal membayar gaji. 

Mengutip keterangan resmi klub, Inner Circle Investment Ltd (pemilik Bolton, yang dikuasai oleh Anderson) dan Bassini sebenarnya sudah menyepakati kesepakatan formal seputar penjualan klub. Bagian dari kesepakatan itu adalah mewajibkan Bassini melakukan aksi kongkret.

Tidak disebutkan apa maksud dari aksi kongkret itu, tetapi pastinya adalah uang panjar. Uang muka untuk menunjukkan keseriusan dan komitmen Bassini. 

Semestinya uang ini sudah masuk pada 24 April lalu, sehingga bisa dipakai untuk membayar gaji pemain. Namun apa yang dinanti tidak kunjung tiba. Dengan alasan uang nyangkut di Metro Bank, janji itu tak tertepati alias wanprestasi. 

"Kesepakatan Inner Circle Investment dengan Tuan Bassini telah menyebabkan kerugian di sisi Tuan Anderson. Sayangnya, Inner Circle dan Ken Anderson sebagai satu-satunya direktur perusahaan memutuskan tidak bisa melanjutkan proses ini. Pemberitahuan selanjutnya akan dibuat jika sudah ada kesepakatan final," sebut keterangan tertulis Bolton. 

Well, akibatnya nasib para buruh di Bolton semakin tidak jelas. Jangankan THR, kapan gaji mereka dibayar pun belum terlihat 'hilalnya'. 

Hari Buruh kali ini menjadi simbol nestapa pekerja sepak bola di Bolton...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular