
Kapasitas Industri Keramik RI 580 Juta M2, Tapi Produksi 65%
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
14 March 2019 18:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, siang tadi membuka pameranĀ industri keramik Keramika 2019 di Jakarta Convention Center (JCC).
Dalam sambutannya, Airlangga mengatakan industri keramik merupakan salah satu industri prioritas karena mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus ekspor.
Industri keramik nasional juga didukung ketersediaan bahan baku yang tersebar luas di tanah air seperti tanah liat (clay), feldspar, pasir silika, dolomite, limestone, dan batu granit.
Untuk mendorong daya saing industri keramik di dalam negeri, pemerintah telah menetapkan kebijakan safeguard (pengenaan Bea Masuk Tindak Pengamanan/BMTP) atas impor produk keramik sejak Oktober 2018 lalu.
Safeguard ini akan berlaku selama tiga tahun dengan besaran 23% di tahun pertama, 21% di tahun kedua, dan tahun ketiga sebesar 19%.
Selain itu, pemerintah telah menaikkan PPh impor (Pasal 22) komoditas keramik menjadi 75% sejak 12 September lalu.
"Keberpihakan pemerintah jelas. Jadi sekarang sudah tidak ada alasan lagi industri keramik tidak bisa meningkatkan produksinya," kata Airlangga, Kamis (14/3/2019).
Saat ini, kapasitas terpasang industri keramik nasional mencapai 580 juta m2, terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Brasil.
Kendati demikian, produksi keramik nasional tahun lalu baru sebesar 370-380 juta m2, sekitar 65,51% dari total kapasitas terpasang.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, mengungkapkan pihaknya meminta pemerintah memberlakukan safeguard setelah kapasitas produksi industri keramik nasional menyusut, akibat digempur produk keramik impor asal China dan India dalam 4 tahun terakhir.
Berdasarkan data Asaki, dalam lima tahun terakhir, impor keramik meningkat rata-rata 16,23% per tahun.
"Di 2014, kami masih bisa menempati posisi kelima dengan total produksi 430-440 juta m2. Tapi sejak 2017 kita turun di posisi ke-9. Bisa terlihat di Keramika tahun ini ada optimisme dan antusiasme baru dengan dihadiri lebih dari 35 perusahaan keramik dalam negeri. Tahun lalu dan dua tahun lalu lebih sepi," jelas Edy di tempat yang sama.
Tahun ini, berkat adanya safeguard dan kenaikan PPh impor keramik, Edy memproyeksi kapasitas produksi industri keramik Tanah Air dapat naik 7% ke level 420-440 juta m2.
Adapun pada tahun lalu industri keramik nasional tumbuh di kisaran 5%.
Ekspor Granit ke Australia
Pada kesempatan itu, Edy Suyanto menyampaikan, pihaknya menyambut terbukanya pasar ekspor baru ke Australia berkat ditandatanganinya Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Dia mengungkapkan, produk keramik berbahan granit (granit tile) adalah pangsa pasar keramik yang paling dibutuhkan Australia.
Adapun selama ini pasar Australia banyak diisi oleh produk keramik dari Malaysia dan China.
"Tapi secara geografis kita lebih dekat kan. Kami akan ambil peluang ini. Saya belum tahu persis kebutuhan pasar Australia, tapi kita biasa lihat dari jumlah penduduknya, berapa konsumsi keramik per kapitanya," kata Edy.
Edy meyakini, kapasitas produksi granite tile nasional saat ini sebesar 1 juta m2/tahun sangat memadai dan lebih dari cukup untuk masuk ke segmen pasar granite tile menengah ke atas di Negeri Kanguru.
Untuk bisa bersaing secara kompetitif dengan ekspor keramik dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, industri meminta adanya harga bahan baku energi, yakni gas alam (liquid natural gas/LNG) yang lebih murah, mengingat komponen biaya energi menyumbang 30-35% dari total biaya produksi keramik.
Saat ini, ekspor keramik RI hanya mencapai 10% dari total kapasitas produksi dengan negara tujuan ekspor antara lain Filipina, Myanmar, Laos dan Malaysia.
"Kalau harga gas bisa diturunkan ke level yang setara dengan Malaysia, yakni US$ 7,5/MMBTU, kami yakin pangsa ekspor keramik nasional bisa tembus di atas 30%," jelasnya.
(wed/wed) Next Article Bikin Hancur Pabrik Lokal, Keramik Impor Vietnam 'Disikat' RI
Dalam sambutannya, Airlangga mengatakan industri keramik merupakan salah satu industri prioritas karena mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus ekspor.
Industri keramik nasional juga didukung ketersediaan bahan baku yang tersebar luas di tanah air seperti tanah liat (clay), feldspar, pasir silika, dolomite, limestone, dan batu granit.
Safeguard ini akan berlaku selama tiga tahun dengan besaran 23% di tahun pertama, 21% di tahun kedua, dan tahun ketiga sebesar 19%.
Selain itu, pemerintah telah menaikkan PPh impor (Pasal 22) komoditas keramik menjadi 75% sejak 12 September lalu.
"Keberpihakan pemerintah jelas. Jadi sekarang sudah tidak ada alasan lagi industri keramik tidak bisa meningkatkan produksinya," kata Airlangga, Kamis (14/3/2019).
Saat ini, kapasitas terpasang industri keramik nasional mencapai 580 juta m2, terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Brasil.
Kendati demikian, produksi keramik nasional tahun lalu baru sebesar 370-380 juta m2, sekitar 65,51% dari total kapasitas terpasang.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, mengungkapkan pihaknya meminta pemerintah memberlakukan safeguard setelah kapasitas produksi industri keramik nasional menyusut, akibat digempur produk keramik impor asal China dan India dalam 4 tahun terakhir.
Berdasarkan data Asaki, dalam lima tahun terakhir, impor keramik meningkat rata-rata 16,23% per tahun.
"Di 2014, kami masih bisa menempati posisi kelima dengan total produksi 430-440 juta m2. Tapi sejak 2017 kita turun di posisi ke-9. Bisa terlihat di Keramika tahun ini ada optimisme dan antusiasme baru dengan dihadiri lebih dari 35 perusahaan keramik dalam negeri. Tahun lalu dan dua tahun lalu lebih sepi," jelas Edy di tempat yang sama.
Tahun ini, berkat adanya safeguard dan kenaikan PPh impor keramik, Edy memproyeksi kapasitas produksi industri keramik Tanah Air dapat naik 7% ke level 420-440 juta m2.
Adapun pada tahun lalu industri keramik nasional tumbuh di kisaran 5%.
Ekspor Granit ke Australia
Pada kesempatan itu, Edy Suyanto menyampaikan, pihaknya menyambut terbukanya pasar ekspor baru ke Australia berkat ditandatanganinya Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Dia mengungkapkan, produk keramik berbahan granit (granit tile) adalah pangsa pasar keramik yang paling dibutuhkan Australia.
Adapun selama ini pasar Australia banyak diisi oleh produk keramik dari Malaysia dan China.
"Tapi secara geografis kita lebih dekat kan. Kami akan ambil peluang ini. Saya belum tahu persis kebutuhan pasar Australia, tapi kita biasa lihat dari jumlah penduduknya, berapa konsumsi keramik per kapitanya," kata Edy.
Edy meyakini, kapasitas produksi granite tile nasional saat ini sebesar 1 juta m2/tahun sangat memadai dan lebih dari cukup untuk masuk ke segmen pasar granite tile menengah ke atas di Negeri Kanguru.
Untuk bisa bersaing secara kompetitif dengan ekspor keramik dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, industri meminta adanya harga bahan baku energi, yakni gas alam (liquid natural gas/LNG) yang lebih murah, mengingat komponen biaya energi menyumbang 30-35% dari total biaya produksi keramik.
Saat ini, ekspor keramik RI hanya mencapai 10% dari total kapasitas produksi dengan negara tujuan ekspor antara lain Filipina, Myanmar, Laos dan Malaysia.
"Kalau harga gas bisa diturunkan ke level yang setara dengan Malaysia, yakni US$ 7,5/MMBTU, kami yakin pangsa ekspor keramik nasional bisa tembus di atas 30%," jelasnya.
(wed/wed) Next Article Bikin Hancur Pabrik Lokal, Keramik Impor Vietnam 'Disikat' RI
Most Popular