
Pindah ke Darat, Proyek Masela Masih Terkatung-Katung
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
19 February 2019 13:16

Jakarta, CNBC Indonesia- Pembahasan proyek Lapangan Abadi blok Masela masih terus bergulir. Sampai saat ini, proyek tersebut belum juga mendapat persetujuan rencana pengembangan dari Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, saat ini proyek tersebut tengah dievaluasi biaya investasinya oleh SKK Migas. Dia menuturkan, bisa saja nilainya lebih rendah.
"Sedang diproses sama SKK Migas, lagi dievaluasi cost-nya, bisa saja turun," ujar Djoko kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Sebelumnya, proyek Masela ini direncanakan mulai on stream pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) 9,5 juta ton per tahun dan gas 150 mmscfd. Biaya pengembangan proyek Lapangan Abadi diperkirakan sebesar US$ 16 miliar.
Kabar terakhir untuk proyek blok Masela ini, pemerintah sampai mendatangkan sejumlah pakar migas dari luar negeri. Para pakar tersebut didatangkan dari beberapa negara, salah satunya dari Amerika Serikat (AS). Konsultan tersebut yakni Energy World Coorporation (EWC).
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, para pakar tersebut dipanggil untuk memberikan masukan dalam penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) Blok Masela. Khususnya yang berkaitan dengan persoalan teknis.
Memang, seberapa rumitkah proyek Lapangan Abadi ini sampai pengerjaannya ikut abadi seperti namanya?
Guru Besar Ilmu Pertambangan dan Perminyakan ITB Tutuka Ariadji menilai, perubahan skema dari opsi offshore (laut) ke onshore (darat) menjadi penyebabnya. Selain itu, lanjutnya, ada juga evaluasi mengenai keekonomiannya sehingga perlu dilakukan komunikasi yang intensif antar pihak-pihak terkait bersama dengan pemerintah.
"Sebab, berbeda sekali desain fasilitas permukaannya dan transportasi gas ke onshore. Juga evaluasi keekonomiannya, sehingga lebih intensif komunikasi antara pemerintah dengan pihak lainnya yang terkait," kata Tutuka ketika dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (8/2/2019).
Kendati demikian, Dwi Soetjipto memastikan, skema yang dipakai pun masih tetap skema onshore, sebab skema itu yang paling sesuai.
"Jadi, nanti ada floating storage untuk pemisahan minyak dan gasnya. Sementara LNG-nya di onshore. Itu yang sedang didiskusikan karena berdampak pada cost-nya," pungkas Dwi.
Sebagai informasi, sejumlah target pengerjaan tahun ini untuk proyek yang dikerjakan Inpex Corporation ini telah dipasang, yakni memperoleh POD, melakukan konsultasi publik terkait analisis dampak lingkungan (Amdal), memasukkan kerangka acuan Amdal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta memulai survey baseline.
Saksikan Video soal investasi Qatar dan Exxon di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article RI Punya 1400 Sumur Migas Tua, Mau Diapain Nih?
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, saat ini proyek tersebut tengah dievaluasi biaya investasinya oleh SKK Migas. Dia menuturkan, bisa saja nilainya lebih rendah.
Sebelumnya, proyek Masela ini direncanakan mulai on stream pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) 9,5 juta ton per tahun dan gas 150 mmscfd. Biaya pengembangan proyek Lapangan Abadi diperkirakan sebesar US$ 16 miliar.
Kabar terakhir untuk proyek blok Masela ini, pemerintah sampai mendatangkan sejumlah pakar migas dari luar negeri. Para pakar tersebut didatangkan dari beberapa negara, salah satunya dari Amerika Serikat (AS). Konsultan tersebut yakni Energy World Coorporation (EWC).
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, para pakar tersebut dipanggil untuk memberikan masukan dalam penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) Blok Masela. Khususnya yang berkaitan dengan persoalan teknis.
Memang, seberapa rumitkah proyek Lapangan Abadi ini sampai pengerjaannya ikut abadi seperti namanya?
Guru Besar Ilmu Pertambangan dan Perminyakan ITB Tutuka Ariadji menilai, perubahan skema dari opsi offshore (laut) ke onshore (darat) menjadi penyebabnya. Selain itu, lanjutnya, ada juga evaluasi mengenai keekonomiannya sehingga perlu dilakukan komunikasi yang intensif antar pihak-pihak terkait bersama dengan pemerintah.
"Sebab, berbeda sekali desain fasilitas permukaannya dan transportasi gas ke onshore. Juga evaluasi keekonomiannya, sehingga lebih intensif komunikasi antara pemerintah dengan pihak lainnya yang terkait," kata Tutuka ketika dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (8/2/2019).
Kendati demikian, Dwi Soetjipto memastikan, skema yang dipakai pun masih tetap skema onshore, sebab skema itu yang paling sesuai.
"Jadi, nanti ada floating storage untuk pemisahan minyak dan gasnya. Sementara LNG-nya di onshore. Itu yang sedang didiskusikan karena berdampak pada cost-nya," pungkas Dwi.
Sebagai informasi, sejumlah target pengerjaan tahun ini untuk proyek yang dikerjakan Inpex Corporation ini telah dipasang, yakni memperoleh POD, melakukan konsultasi publik terkait analisis dampak lingkungan (Amdal), memasukkan kerangka acuan Amdal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta memulai survey baseline.
Saksikan Video soal investasi Qatar dan Exxon di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article RI Punya 1400 Sumur Migas Tua, Mau Diapain Nih?
Most Popular